Tuesday, August 28, 2007

Renungan Gerhana

RENUNGAN GERHANA
28 AGUSTUS 2007

oleh
IRFAN ANSHORY




GERHANA merupakan fenomena alam yang berkaitan dengan peredaran bulan dan peredaran bumi. Bulan senantiasa bertawaf mengelilingi bumi, lalu bumi dan bulan sebagai satu kesatuan senantiasa bertawaf mengelilingi matahari sebagai pusat tatasurya kita. Pada suatu saat, bumi terletak satu garis lurus di antara bulan dan matahari, sehingga bulan tertutup oleh bayangan bumi, ada kalanya tertutup total dan lebih sering tertutup sebagian. Itulah gerhana bulan, yang dalam bahasa Arab disebut khusuf (dari kata kerja khasafa yang artinya “tenggelam, menghilang”). Pada saat yang lain, bulan terletak satu garis lurus di antara bumi dan matahari, sehingga cahaya matahari ke bumi terhalang oleh bulan, ada kalanya terhalang total dan lebih sering terhalang sebagian. Itulah gerhana matahari, yang dalam bahasa Arab disebut kusuf (dari kata kerja kasafa yang artinya “menjadi gelap”).

Gerhana bulan (khusuf) selalu terjadi pada saat purnama, dan gerhana matahari (kusuf) selalu terjadi pada akhir bulan qamariyah. Gerhana bulan terlihat pada daerah yang cukup luas, sedangkan gerhana matahari cuma terlihat pada daerah yang sangat terbatas. Setiap tahun rata-rata terjadi dua kali gerhana bulan dan dua kali gerhana matahari, umumnya gerhana sebagian. Hanya saja tidak semua kawasan di muka bumi dapat menyaksikan setiap gerhana.

Yang langka terjadi adalah gerhana matahari total. Memang terjadi setiap dasawarsa, tetapi untuk kawasan tertentu cuma terlihat sekali dalam beberapa abad. Gerhana matahari total merupakan fenomena alam yang sangat spektakuler. Jarak bumi-matahari (150 juta km) = 400 kali jarak bumi-bulan (375 ribu km), sedangkan diameter matahari (1.393.200 km) = 400 kali diameter bulan (3475 km). Akibatnya, matahari dan bulan membentuk sudut pandang yang persis sama, sehingga bulan persis menutupi matahari, seolah-olah sama besar jika dilihat dari bumi. Inilah salah satu keteraturan ciptaan Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 5: Asy-syamsu wa l-qamaru bi husbaan (“Matahari dan bulan kedua-duanya dengan perhitungan”). Artinya, Allah telah mengatur ukuran, jarak, dan garis edar matahari dan bulan dengan sangat harmonis.


Shalat Gerhana

Di zaman purba, sebelum ilmu pengetahuan berkembang, masyarakat primitif menganggap peristiwa gerhana sebagai tanda kemurkaan para dewa atau akibat ulah ruh-ruh jahat yang mencoba menelan bulan atau matahari. Maka untuk menebus kemarahan para dewa atau mengusir ruh-ruh jahat, mereka membuat berbagai sesaji atau mengerjakan hal-hal yang aneh, seperti memukul kentongan, bersembunyi di kolong ranjang, ibu yang sedang hamil harus mandi tengah malam, dan sebagainya.

Pada tanggal 30 Shafar 9 Hijri (5 Juli 631 Masehi), putra Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama Ibrahim dan baru berusia 70 hari meninggal dunia. Tiba-tiba pada siang itu terjadi gerhana matahari total. Para penduduk Madinah segera menghubungkan gerhana itu dengan wafatnya Ibrahim. Mendengar hal itu, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Inna sy-syamsa wa l-qamara aayataani min aayaati l-Laah. Laa yakhsifaani li mauti ahadin wa laa li hayaatih. Fa idzaa ra’aytumuu humaa fa d`u l-Laaha wa shalluu. (“Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua ayat dari ayat-ayat Allah. Tidaklah mereka gerhana lantaran kematian ataupun kehidupan seseorang. Jika menyaksikan kedua gerhana itu, maka serulah nama Allah dan shalatlah kalian.”) Pada hadits yang lain ada tambahan wa tashaddaquu (“bersedekahlah kalian”).

Kemudian Rasulullah s.a.w. mengajak umat beliau untuk bertakbir mengagungkan nama Allah, lalu beliau memimpin shalat gerhana, sekaligus mencontohkan tatacaranya, yaitu dua raka`at dengan empat ruku` dan empat sujud. Setelah selesai shalat, Rasulullah s.a.w. memberikan khutbah yang menerangkan bahwa fenomena alam adalah ayat-ayat Allah dan jangan sampai umat beliau tergelincir kepada kemusyrikan dan kebodohan. Dalam khutbah shalat gerhana itu, Rasulullah s.a.w. mengutip Firman Allah dalam Surat Fushshilat ayat 37: Wa min aayaatihi l-lailu wa n-nahaaru wa sy-syamsu wa l-qamar. Laa tasjuduu li sy-syamsi wa laa li l-qamar. Wasjuduu li l-Laahi l-ladzii khalaqa hunna in kuntum iyyaahu ta`buduun. (“Dan sebagian dari ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kalian menyembah matahari, dan jangan pula menyembah bulan, tetapi menyembahlah kalian kepada Allah yang telah menciptakan mereka, jika kalian benar-benar hanya kepada-Nya mengabdi.”)


Luasnya Alam Semesta

Peristiwa gerhana menimbulkan stimulasi bagi kita untuk menafakkuri atau merenungi ayat-ayat Allah di jagad raya. Pertanyaan yang sering timbul dalam benak kita adalah, antara lain, seberapa luaskah alam semesta, serta sudah berapa lamakah usia jagad raya ciptaan Allah ini?

Alam Semesta (The Universe) yang diketahui manusia tersusun dari puluhan ADIGUGUS (SUPERKLUSTER), antara lain (sekadar menyebut beberapa nama) Adigugus Virgo, Adigugus Hydra, Adigugus Perseus, Adigugus Opiuchus, Adigugus Hercules.

Kita berada dalam ADIGUGUS VIRGO, yang berdiameter 100 juta tahun-cahaya (satu tahun-cahaya = 9 460 500 000 000 km atau hampir 10 triliun km!) dan meliputi ratusan GUGUS (KLUSTER), antara lain Gugus Lokal, Gugus Centaurus, Gugus Fornax, Gugus Puppis, Gugus Coma.

Kita berada dalam GUGUS LOKAL, yang berdiameter tiga juta tahun-cahaya dan meliputi sekitar 30-an GALAKSI, antara lain Galaksi Bimasakti (Milky Way), Galaksi Andromeda, Galaksi Awan Magellan, Galaksi Sagittarius, Galaksi Triangulum.

Kita berada dalam GALAKSI BIMASAKTI, galaksi spiral berdiameter 120 ribu tahun-cahaya dan terdiri atas 100 miliar bintang. Satu butir dari 100 miliar bintang di Galaksi Bimasakti itu bernama MATAHARI, yang menempati lengan Orion dan terletak 28 ribu tahun-cahaya dari pusat galaksi, bertawaf mengelilingi pusat galaksi dengan kecepatan 225 km per detik, sehingga sekali keliling memerlukan waktu 250 juta tahun.

Bintang-bintang tetangga Matahari di lengan Orion antara lain Alpha Centauri (bintang terdekat yang jauhnya 4,3 tahun-cahaya atau lebih dari 40 triliun km!), Barnard (6 tahun-cahaya), Sirius (8,7 tahun-cahaya), Altair (16 tahun-cahaya), Vega (25 tahun-cahaya), Capella (41 tahun-cahaya), Aldebaran (60 tahun-cahaya), Betelguese (500 tahun-cahaya), Rigel (815 tahun-cahaya). Selain Alpha Centauri dan Barnard, semua nama bintang yang disebutkan di atas berasal dari bahasa Arab.

Matahari berdiameter 1.393.200 km, memiliki pengikut 8 planet besar, 3 planet kecil, 166 bulan (data sampai Agustus 2007 dan diperkirakan terus akan bertambah) serta ribuan asteroid, meteorid dan komet. Planet-planet besar milik matahari adalah Merkurius, Venus (Kejora), Bumi (memiliki 1 bulan), Mars (2 bulan), Yupiter (63 bulan), Saturnus (56 bulan), Uranus (27 bulan), dan Neptunus (13 bulan). Ada juga tiga planet kecil, yaitu Ceres, Pluto (3 bulan), dan Eris (1 bulan).

BUMI kita yang kecil mungil ini berdiameter 12.756 km dengan keliling khatulistiwa 40.000 km, terletak 150 juta km (delapan menit-cahaya) dari matahari, bertawaf mengelilingi matahari dengan kecepatan 30 km per detik, sehingga sekali keliling memerlukan waktu 365,25 hari (satu tahun).

Matahari kita merupakan “gas raksasa” yang tersusun dari hidrogen dan helium. Setiap detik, 657 juta ton hidrogen diubah menjadi 653 juta ton helium. Empat juta ton massa yang hilang berubah menjadi energi, sesuai dengan Hukum Einstein, berupa sinar yang terpancar ke segenap penjuru tatasurya. Bumi kita hanya menerima seperdua miliar bagian dari total cahaya matahari, dan sebagian besar energi matahari yang sampai ke bumi itu belum dimanfaatkan oleh manusia.


Usia Alam Semesta

Kini telah diketahui oleh para ilmuwan bahwa alam semesta tercipta melalui peristiwa Big Bang (Dentuman Akbar). Bilakah peristiwa Big Bang itu terjadi? Atau, berapakah usia alam semesta sekarang? Untuk menjawabnya kita perlu menggunakan Tetapan Hubble (H), yaitu kecepatan galaksi-galaksi saling menjauh: 70 kilometer per detik per megaparsec. Satu megaparsec adalah 3,26 juta tahun-cahaya. Artinya galaksi-galaksi dengan jarak 3,26 juta tahun-cahaya saling menjauh dengan kecepatan 70 km/detik. Oleh karena kecepatan cahaya 300.000 km/detik, dan waktu adalah jarak dibagi kecepatan (jika Anda mengendarai mobil sejauh 300 km dengan kecepatan 60 km/jam, waktu yang Anda perlukan adalah 5 jam), maka usia alam semesta = 3,26 juta dikali 300.000 lalu dibagi 70, yaitu 13 970 000 000 tahun atau sekitar 14 miliar tahun.

Prof. Dr. Carl Sagan dari Universitas Cornell, dalam bukunya yang cukup populer, The Dragons of Eden (Random House, New York, 1977, cetak ulang 2006), mengemukakan bahwa jika sekiranya usia alam semesta kita kompres menjadi satu tahun cosmic year, maka
penciptaan alam semesta berlangsung tanggal 1 Januari,
galaksi Bimasakti baru terbentuk tanggal 1 Mei,
tatasurya kita muncul tanggal 9 September,
bumi kita yang kecil ini baru ada tanggal 14 September,
makhluk hidup pertama berupa mikroorganisme eksis tanggal 9 Oktober,
zaman dinosaurus berlangsung dari 24 sampai 28 Desember,
manusia baru tampil ke pentas sejarah pada tanggal 31 Desember pukul 23.00,
dan Nabi Isa Al-Masih a.s. lahir empat detik yang lalu.


Setelah kita menelusuri usia alam semesta, masihkah kita akan menunda-nunda untuk mengisi hidup yang sangat singkat ini dengan fastabiqu l-khairat, “berlomba-lomba berbuat kebajikan”? Setelah kita memahami bahwa bumi hanyalah sebutir pasir di jagad raya, akan sebesar debu apakah gerangan amal shaleh yang nanti kita banggakan di hadapan Allah lalu dengan tidak tahu malu menuntut surga-Nya sebagai ganti? Siapakah yang tidak akan tunduk bersujud di hadapan keagungan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sambil memohon ampun agar dibebaskan dari azab neraka-Nya?***

Sunday, August 26, 2007

Ayat-Ayat Misteri dalam Al-Qur'an

AYAT-AYAT MISTERI DALAM AL-QUR’AN

o l e h
Drs. H. Irfan Anshory



DALAM Kitab Suci Al-Qur’an, Allah SWT sering bersumpah dengan berbagai fenomena alam semesta dengan tujuan agar manusia memperhatikan dan menalari hal-hal yang disumpahkan-Nya itu. Ada beberapa “ayat misteri” yang menarik untuk dikaji sebab sampai kini belum jelas tafsiran dan pemahamannya, yaitu Surat An-Nazi`at 1–8; Al-`Adiyat 1–5; Adz-Dzariyat 1–6; dan Al-Mursalat 1–15. Kita menyadari bahwa ilmu yang diberikan Allah kepada manusia sangat sedikit (Al-Isra’ 85), tetapi ilmu pemberian Sang Khaliq harus kita gunakan semaksimal mungkin untuk menafakkuri alam semesta ciptaan-Nya (Ali Imran 190-191).


An-Nazi`at 1 – 8

Demi yang tercabut dahsyat! Demi energi yang energetik!” Allah bersumpah dengan penciptaan alam semesta yang dilukiskan sebagai sesuatu yang tercabut (nazi`at) dengan dahsyat (gharqan), melalui proses “Big Bang” (Dentuman Akbar) yang melibatkan energi (nasyith) yang luar biasa hebatnya. Hal ini dipertegas dalam Surat Al-Anbiya’ 30: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu lalu Kami pisahkan keduanya.”

Demi yang beredar di garis edar, lalu berlomba saling menjauhi!” Kemudian Allah memerintahkan kita untuk merenungi komponen alam semesta berupa galaksi-galaksi yang beredar (sabaha) pada orbitnya masing-masing serta saling menjauhi (sabaqa) satu sama lain sebagai konsekuensi dari proses Big Bang yang melahirkan alam semesta.

Demi yang mengatur Urusan!” Baru pada abad ke-20 para ilmuwan mengetahui bahwa seluruh urusan alam semesta ini diatur oleh Allah melalui empat macam interaksi:
Pertama, interaksi gravitasi yang bekerja pada seluruh partikel yang mempunyai massa, mengatur tarik-menarik benda-benda, mulai dari meneguhkan kita pada permukaan bumi sampai kepada pembentukan tatasurya dan galaksi.
Kedua, interaksi elektromagnetik yang bekerja pada seluruh partikel yang bermuatan listrik, mengatur seluruh reaksi kimia, mulai dari terbentuknya atom sampai kepada proses berpikir dalam otak manusia.
Ketiga, interaksi kuat yang mengikat partikel-partikel penyusun inti atom, agar atom-atom penyusun alam ini stabil.
Keempat, interaksi lemah yang mengatur perubahan suatu atom menjadi atom lain, agar terbentuk unsur-unsur yang beraneka jenisnya, mengatur perubahan hidrogen menjadi helium pada matahari dan bintang-bintang sehingga tetap memancarkan cahaya.

Masa tatkala bergetar sesuatu yang bergetar, lalu diikuti oleh masa pengganti, yaitu masa di saat hati berdebar-debar.” Seluruh partikel di alam semesta memiliki sifat gelombang atau getaran, yang dalam ilmu fisika disebut dualisme partikel-gelombang, sehingga masa dunia fana ini merupakan “masa tatkala bergetar sesuatu yang bergetar” (yauma tarjufu r-rajifah). Masa dunia fana ini akan diikuti oleh masa pengganti (radifah), yaitu kehidupan akhirat yang abadi, pada saat hati berdebar-debar menanti keputusan Pengadilan Ilahi atas kondite selama berada di dunia fana.



Al-`Adiyat 1 – 5

Demi yang berlawanan melesat cepat, lalu bunga-bunga api terpancar, lalu sesuatu yang lain (materi baru) terjadi”.

Ketika ilmu pengetahuan modern belum berkembang, benda yang paling mudah dikenali sebagai sesuatu yang melesat cepat (dhabhan) adalah kuda, sehingga `adiyat sering ditafsirkan "kuda", meskipun orang Arab tidak pernah menyebutkan hewan itu dengan istilah `adiyat.

Kata `adiyat berarti “yang berlawanan”, dari tiga huruf `ain-sin-alif, satu akar kata dengan `aduw (lawan), a`da’an (bersengketa), dan `udwan (permusuhan) yang juga dipakai dalam Al-Qur’an. Pada lima ayat pertama Surat Al-`Adiyat, Allah bukan membicarakan kuda, melainkan mewacanakan penciptaan alam semesta!

Pada mulanya alam semesta hanya berwujud energi. Lalu sebagian energi mengalami transformasi menjadi materi, sesuai dengan Persamaan Einstein, berupa partikel dan antipartikel (berlawanan muatan dengan partikel), yang pada gilirannya berdiferensiasi menjadi quark dan antiquark serta lepton dan antilepton. Setiap proses menghasilkan pasangan partikel dengan muatan yang berlawanan. Inilah partikel-partikel al-`adiyat yang saling berbenturan dengan kecepatan melesat (dhabhan), sehingga bunga-bunga api (al-muriyat), yaitu panas dan cahaya, terpancar (qad-han). Maka terjadilah (shubhan) partikel-partikel baru (al-mughirat, dari kata ghayara, “berubah”, atau ghair, “lain”), yaitu hadron-hadron, terutama proton dan netron, yang terbentuk dari quark-quark. Kemudian proton dan netron membentuk al-mughirat berikutnya berupa inti atom.

Maka berhamburan dengannya bagian yang kecil, lalu ke tengah dengannya bagian massa yang besar.”

Inti atom dan elektron-elektron (salah satu jenis lepton) membentuk atom yang menjadi partikel dasar seluruh materi jagat raya. Dalam pembentukan atom, elektron-elektron yang bermassa ringan (naq`an) berhamburan (atsar) menempati lintasan-lintasan tertentu, sedangkan inti atom sebagai kumpulan massa terbesar (jam`an) menempati posisi di tengah-tengah (wasath). Elektron-elektron yang bermuatan negatif senantiasa melakukan thawaf mengelilingi inti atom yang bermuatan positif.

Formulasi “fa atsarna bihi naq`an, fa wasathna bihi jam`an” ternyata merupakan pola grand design Allah dalam pembentukan struktur isi jagad raya. Sebagai contoh, pada pembentukan tatasurya planet-planet sebagai naq`an (komponen-komponen yang kecil) berhamburan menempati orbit-orbit tertentu dan harus melakukan thawaf mengelilingi matahari sebagai jam`an (kumpulan massa terbesar) yang menempati posisi di tengah-tengah tatasurya.

Jadi, alam semesta ini hanya eksis dan stabil lantaran gerakan thawaf! Itulah sebabnya para pengunjung Rumah Allah di Makkah wajib melakukan thawaf, meniru tingkah laku elektron-elektron dan planet-planet, sebagai simbol ketunduk-patuhan makhluk terhadap aturan-aturan Ilahi.


Adz-Dzariyat 1 – 6

Demi yang halus teramat halus, yang membawa beban, yang mengalir (bertransmisi) mudah, yang membagi-bagi Urusan!

Jika ayat-ayat Allah yang tertulis dalam kitab suci diwahyukan melalui para Rasul yang berupa manusia (al-mursalin, plural dalam bentuk maskulin atau mudzakkar), maka ayat-ayat Allah yang tidak tertulis (ayat-ayat Kauni di alam semesta) diwahyukan melalui para rasul yang berupa partikel (al-mursalat, plural dalam bentuk feminin atau mu’annats).

Keempat macam interaksi yang mengatur alam semesta ditransmisikan oleh partikel-partikel kuantum. Interaksi elektromagnetik ditransmisikan oleh foton, interaksi kuat oleh gluon, interaksi lemah oleh boson madya, dan interaksi gravitasi oleh graviton. Partikel-partikel kuantum pembawa interaksi ini merupakan ‘rasul-rasul’ yang mengemban ayat-ayat Kauni, dan dalam Al-Qur’an mereka disebut adz-dzariyat (“yang halus”, satu akar kata dengan dzarrah, “partikel”). Namun partikel-partikel kuantum yang sangat halus itu membawa beban yang berat berupa interaksi yang mengatur alam semesta. Mereka bertransmisi dengan mudah, serta membagi-bagi urusan dalam mengelola empat macam interaksi di jagat raya.

Sungguh, yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sungguh Keputusan itu pasti berlangsung!” Jika keempat partikel kuantum ini kelak “dipanggil pulang” oleh Allah, maka keempat macam interaksi di alam semesta dengan sendirinya tiada lagi, dan terjadilah Hari Yang Dijanjikan atau Hari Keputusan berupa kemusnahan alam semesta yang fana.


Al-Mursalat 1 – 15

Demi para rasul pembawa keteraturan, lalu melaju dengan sangat laju”. Para rasul (al-mursalat) itu adalah partikel-partikel kuantum yang mengatur interaksi di alam semesta. Mereka melaju dengan sangat laju, mengemban tugas Ilahi di jagad raya. Gluon membawa interaksi kuat, foton membawa interaksi elektromagnetik, boson madya membawa interaksi lemah, dan graviton membawa interaksi gravitasi.

Demi yang meluas seluas-luasnya, lalu berkelompok-kelompok”. Akibat penciptaan alam semesta melalui proses Big Bang, alam semesta sampai kini terus meluas atau berekspansi. Komponen-komponen alam semesta terbagi atas kelompok-kelompok, mulai dari planet, bintang, galaksi, superkluster, dan mungkin masih ada satuan kelompok lebih besar yang belum diketahui manusia.

Demi yang menyampaikan peringatan, memberikan alasan atau ancaman”. Sebagaimana alam semesta yang selalu tunduk-patuh kepada aturan Allah, manusia pun seharusnya tunduk-patuh kepada hukum Ilahi. Itulah sebabnya Allah mengutus para Rasul dari Nabi Adam a.s. sampai Nabi Muhammad s.a.w. untuk menyampaikan peringatan berupa alasan dan ancaman kepada umat manusia.

Sungguh yang dijanjikan padamu pasti berlangsung”. Para rasul yang berwujud partikel kuantum (al-mursalat) serta para Rasul dari kalangan manusia (al-mursalin) menyebarkan janji yang sama, yaitu Hari Kiamat (kemusnahan dunia fana) pasti akan berlangsung.

Ketika bintang dipadamkan”. Pada bintang-bintang (termasuk matahari kita) senantiasa berlangsung reaksi termonuklir, yaitu pengubahan atom hidrogen menjadi atom helium yang diatur oleh interaksi lemah. Jika interaksi lemah berhenti berfungsi, maka reaksi termonuklir pun terhenti, dan bintang-bintang (termasuk matahari kita) akan padam.

Ketika langit dikacaukan”. Interaksi yang meneguhkan benda-benda langit dalam orbit masing-masing adalah gravitasi. Jika gravitasi berhenti berfungsi, tentu langit menjadi kacau porak-poranda, sebab tidak ada lagi mekanisme tarik-menarik di antara benda-benda langit.

Ketika gunung dilumatkan”. Semua materi di jagad raya tanpa kecuali tersusun dari atom-atom. Inti atom dan elektron-elektron diteguhkan oleh interaksi elektromagnetik, sedangkan interaksi kuat meneguhkan proton dan netron dalam inti atom. Jika kedua interaksi ini berhenti berfungsi, maka atom apa saja akan “bubar”, terurai menjadi quark-quark dan lepton-lepton yang bebas. Akibatnya, seluruh materi (termasuk gunung yang tinggi perkasa itu) akan menjadi lumat.

Ketika para rasul sampai waktunya”. Keempat interaksi yang mengatur alam semesta ini akan berhenti berfungsi pada saat para rasul berupa partikel-partikel kuantum, yaitu gluon, foton, boson madya dan graviton, “dipanggil pulang” oleh Allah Sang Pencipta.

Sampai hari manakah mereka ditangguhkan? Sampai Hari Kepastian. Dan tahukah kamu tentang Hari Kepastian? Celaka pada Hari itu mereka yang mendustakan!”. Partikel-partikel kuantum (al-mursalat) masih diberi kesempatan oleh Allah untuk mengemban interaksi yang mengatur alam semesta sampai Hari Kepastian (yaum al-fashl), yaitu masa di mana para pendusta kebenaran Islam akan celaka!

“Apakah selain agama Allah yang mereka cari? Padahal kepada-Nya telah Islam (tunduk-patuh) segala yang di langit dan di bumi, dengan sukarela dan terpaksa, dan kepada-Nya semua akan dikembalikan” (Ali Imran 83).

Wallahu a`lam bi sh-shawab.

Tuesday, August 21, 2007

Mulla Nasruddin

THE STORIES OF MULLA NASRUDDIN
(706–786 AH/1306–1384 CE)

Compiled by
IRFAN ANSHORY





Nasruddin went to a shop to buy a trouser. Then he changed his mind and chose a cloak instead at the same price. Picking up the cloak he left the shop.
“You have not paid!” shouted the merchant.
“I left you the trouser which were of the same value as the cloak.”
“But you didn’t pay for the trouser either.”
“Of course not,” said the Mulla, “why should I pay for something that I didn’t want to buy?”


Nasruddin went to a tailor’s shop to buy a new shirt. The tailor measured him and said, “Come back in a week, and—if Allah wills—your shirt will be ready.”
A week later the Mulla went back to the shop. “There has been a delay,” said the tailor, “but—if Allah wills—your shirt will be ready tomorrow.”
The following day Nasruddin returned. “I’m sorry,” said the tailor, “it’s not quite finished. Try tomorrow, and—if Allah wills—it will be ready.”
“How long will it take,” asked the Mulla, “if you leave Allah out of it?”


Nasruddin was invited by the Sultan. The night before went to the court, he equerried that the Sultan would ask him how long he had lived, how long he had studied to become a Mulla, and whether he was happy about the taxation and the people’s welfare.
He memorized his answers, but in the court Sultan started with the second question.
“How long have you studied, Mulla?”
“Forty years, Your Majesty.”
“How old are you, then?”
“Twelve years.”
“This is impossible! Which of us is mad?”
“Both, Your Majesty.”


A group of men took eggs to a Turkish bath where Nasruddin was expected. When he came into the steam room, they said, “Let us imagine that we are chickens, and see whether we can lay eggs. The one who fails shall pay the bath fee for all.”
Nasruddin agreed.
After a little cackling, each one took an egg from behind and held it out. Then they asked the Mulla for his contribution.
“Among so many hens,” said Nasruddin, “there will surely be one cock!”


Every Thursday morning, Nasruddin arrived in a market town with an excellent donkey which he sold. The price which he asked was far below the value of the animal.
One day a rich donkey-merchant approached him. “I can’t understand how you do it, Mulla. I sell donkeys at the lowest possible price. My servants force farmers to give me fodder free. My slaves look after my donkeys without wages. But I can’t match your prices.”
“Quite simple,” said Nasruddin. “You steal fodder and labor. I merely steal donkey.”


A foreigner brought a duck as a gift for Nasruddin. The Mulla cooked the duck and shared it with the guest.
The following day another visitor came and said, “I’m a friend of the one who gave you the duck.” Nasruddin welcomed him and fed him too.
One day a stranger came and said, “I’m the friend of the friend of the man who brought you the duck.” The Mulla asked his wife to bring the soup. When the guest tasted it, it seemed to be nothing more than warm water.
“What kind of soup is this?” asked the guest.
“That’s the soup of the soup of the duck,” said Nasruddin.


A philosopher had an appointment to meet Nasruddin, but when he came to the Mulla’s house the door was closed. Infuriated, the philosopher wrote STUPID on the door.
When Nasruddin returned home and saw this, he rushed to the philosopher’s house and said to him, “I apologize, I really forgot. But I remembered the appointment as soon as I saw that you had left your name on my door.”


A philosopher asked Nasruddin, “How many stars are in the heavens?”
“As many as the hair on my donkey’s tail,” replied the Mulla.
“How many hairs are on the tail of your donkey?”
“As many as the hair in your beard.”
“And how can you prove that, Mulla?”
“Easy. If you have no objection, I’ll pull one hair from your beard for each hair you pull out of my donkey’s tail. If both hair are not the same, then I will admit to have been mistaken.”


Nasruddin entered the teahouse and said, “The Moon in fact is more useful than the Sun.”
“Why, Mulla?”
“We need the light more during the night than during the day.”


Nasruddin one day boasted in the teahouse, “I can see in the dark.”
“If that’s so, why do we often see you carrying the torch through the streets?”
“Only to prevent other people from colliding with me.”


Nasruddin went to a castle to collect for zakat. “Tell your master,” he said to the doorkeeper, “that Mulla Nasruddin is here and asks for money.”
The man went into the building, then came out again. “My master is out,” he said.
“Let me give you a message for him,” said Nasruddin. “Next time he goes out, he should not leave his head at the window. Someone might steal it!”


Nasruddin nearly fell into a pool when a man saved him. Every time the man met Nasruddin after that, he reminded the Mulla of the service which he had performed.
When this had happened several times, Nasruddin took him to the water, jumped in, stood with his head just above water and shouted, “Now I’m as wet as I would have been if you had not saved me. Leave me alone.”


Nasruddin and his wife came home one day to find the house burgled. Everything portable had been taken away. “It’s your fault,” said his wife, “for you should have made sure that our house was locked before we left.”
Their neighbors took up the chant. “You didn’t lock the windows,” said one. “Why did you not expect this?” said another. “The lock were faulty and you didn’t replace them,” said the third.
“Just a moment,” said Nasruddin, “surely I’m not the only one to blame.”
“And who should we blame?” they shouted.
“What about the thieves?” said the Mulla.


Nasruddin and a friend were thirsty and stopped at a cafe for a drink. They decided to share a glass of milk.
“You drink your half first,” said the friend, “because I have some sugar just enough for one. I shall add this to my share later.”
“Add it now,” said the Mulla, “and I will drink only my half.”
“Certainly not. There’s only enough sugar to sweeten half a glass of milk.”
Nasruddin went to the cafe’s owner, and came back with a packet of salt.
“I drink first as agreed,” he said, “and I want my milk with salt.”


A neighbor came to Nasruddin to borrow some wheat. He lamented that he had fifty pounds of wheat, but before he could use the wheat, the mice had eaten it.
“What a coincidence in reverse,” said the Mulla, “I had fifty pounds of wheat too, but I consumed the wheat before the mice could get it.”


A neighbor came to Nasruddin to borrow his donkey.
“I’m sorry,” said the Mulla, “I have already lent it out.”
Suddenly the sound of donkey came from Nasruddin’s stable.
“But Mulla, I can hear the donkey, in there!”
“A man who believes the word of a donkey than my word doesn’t deserve to be lent anything!” said the Mulla.


A neighbor came to Nasruddin. “My cow was gored by your bull. Do I get any compensation?”
“Certainly not,” said the Mulla, “how can a man be held responsible for what an animal does?”
“Just a moment,” said the neighbor, “what actually happened was that my bull gored your cow.”
“Ah,” said Nasruddin, “I shall look up the book of precedents, for there may be other factors involved which are relevant and which could alter the case.”


A man received a letter in Persian and he was unable to read it. He brought the letter to Nasruddin, but the Mulla said that he too couldn’t speak Persian.
The man said, “You wear such a turban of a learned man, but you can’t read a letter.”
Nasruddin took off his turban and said to the man, “If it’s skill of a turban, then put it and read your letter yourself.”


Nasruddin decided to learn the music. He went to a musician and asked, “How much do you charge to teach lute-playing?”
“Three silver pieces for the first month. After that, one silver piece a month.”
“Excellent!” said Nasruddin. “I shall begin with the second month.”


In a boat, a philosopher asked Nasruddin, “Have you ever learned philosophy?”
“No.”
“Then half of your life has been wasted.”
A few minutes later, Nasruddin asked the philosopher, “Have you ever learned how to swim?”
“No.”
“Then all your life is wasted. We are sinking!”


Nasruddin came to a banquet party. When the host saw the Mulla in ragged cloak, he seated him in the corner. Nobody came to serve him. The waiters were busy at serving the important people.
The Mulla went home to dressed himself with a beautiful cloak, and with a turban he returned to the feast. The host hailed Nasruddin and seated him to the place next to Emir. A dish of wonderful food was instantly placed before him. Soon Nasruddin took all the food and rubbed it into his cloak and his turban.
The host puzzled and said, “Your eating habit is really unusual, Mulla.”
“In fact my dress got me here. Surely my cloak and my turban deserve the food,” replied the Mulla.


Nasruddin borrowed a cauldron pot from a rich man. When the Mulla returned it, he took a tiny pot identical to the cauldron from his pocket and said to the rich man, “Your cauldron has given birth to this baby pot.”
“Oh, this little baby resembles his mother and he must be here with her,” exclaimed the rich man by handle the little pot and kept it in his house.
A few days later, Nasruddin came again to borrow the cauldron.
The next day Nasruddin rushed into the rich man with a frowning face and declared, “Effendi, what a bad news! Your pot has just passed away.”
“Nonsense! How can a pot die?”
“If a pot can conceive and deliver a little baby pot, why are you declining to accept that it could also die?” retorted the Mulla.


A learned man came to Nasruddin to test him. “Mulla, I have three questions for you. First, when is the best time to eat?”
“Anytime if you’re rich,” the Mulla answered, “but if you’re poor, whenever you can get hold of food.”
“Second, to which side we must turn when bathing in the sea?”
“To the side where your clothes are.”
“Last question, Mulla. Why a fish cannot talk in water?”
“Neither could you, if you’re under the water.”


When Nasruddin heard that his donkey was lost, he kept repeating, “Praise be to Allah. Praise be to Allah.”
The people asked, “Why are you thanking Allah, Mulla?”
The Mulla answered, “I’m grateful to Allah that I wasn’t on the donkey. Otherwise, I would be lost too.”


“Allah’s wisdom is infinite,” remarked Nasruddin.
The friends asked, “Can you explain it more detailed, Mulla?”
“Imagine if camels had wings and could fly, they would settle on people’s roofs and every house would be in ruins.”


Nasruddin was invited to give a discource to the inhabitants of a nearby village. He mounted the pulpit and began, “O people, do you know what I am about to tell you?”
The villagers shouted, “No.”
“In this case,” said Nasruddin, “I shall abstain from trying to instruct such an ignorant community.”
The following week, the villagers invited him again. He began, “O people, do you know what I am about to say?”
The villagers replied, “Yes.”
“In this case,” said the Mulla, “there is no need for me to say more.”
On a third occasion, he began again, “O people, do you know what I am about to tell you?”
Some of the villagers answered “Yes”, and some of them answered “No”.
“In this case,” said Nasruddin, “let those who know tell those who don’t.”


Nasruddin went to the mosque and sat down. His shirt was rather short and the man behind him pulled it lower, thinking it looked unseemly. Nasruddin immediately pulled on the shirt of the man in front of him.
“What are you doing?” asked the man in front.
“Don’t ask me. Ask the man behind—he started it.”


Nasruddin was praying in the mosque at the end of a row of the faithful. Suddenly one said, “I wonder whether I have left the fire burning at home.”
His neighbor said, “You’ve broken your prayer.”
“So have you,” said the next man.
“Praise be to Allah,” said the Mulla, “that I haven’t broken my prayer.”


Nasruddin supervised the building of his own tomb. At last, the mason came for his money.
“It’s not complete yet,” said the Mulla.
“Whatever more can be done with it?”
“We still have to supply the body.”


“When I die,” said Nasruddin, “have me buried in an old grave.”
“Why?” asked his relatives.
“Because when Munkar and Nakir come, they conclude that this grave has been counted already.”***

Friday, August 17, 2007

Wawancan Perjuangan

WAWANCAN PERJUANGAN 1949
(populer di daerah Talangpadang,
Marga Gunung Alip, Lampung,
awal tahun 1950-an
)



Riwayat Tanoh Lampung, perang lawan Belanda
Kuruk jak Telukbetung, di tahun ampat siwa
Masa sina tihitung, bulan Januari nama

Rani Sabtu sai ulung, tanggal satu sai nyata
Tanggal sina tipegung, tisirokkon di dada
Selingkung Tanoh Lampung, gegoh haga binasa

Penduduk jadi bingung, semapu di kehaga
Ya siap terus lijung, segok mit delom rimba
Apal bantal tiusung, bias mak dapok lupa

Gimbak seluruh Lampung, rakyat ngembila nyawa
Tandak jak Telukbetung, lapah pugapa-gapa
Pegawai kuruk kampung, lijung nutuk tentera

Di Panjang tum-ta-le-tum, timbakanni Belanda
Lamban lamon sai tutung, tisuwah tibinasa
Pelitik delom hitung, nyin dang disi Belanda

Rakyat pindah mit kampung, ngembatok sai kuasa
Kancah rayoh tiusung, alat hurik di rimba
Korban lamon tihitung, sai mati rik binasa

Ditawan rik digantung, dipukul rik digada
Pemuda sai dikurung, terus kuruk penjara
Kidang ya mawat urung, rakyat ngelawan juga

Sinalah gara-gara, Belanda mungkir janji
Kesalahanni nyata, melanggar Linggarjati
Naskah Renville binasa, batal sama sekali

Harta lamon binasa, rakyat lamon sai mati
Segok mit delom rimba, diunut debi pagi
Dihalu ram digada, ditali pakai huwi

Matti luwak Belanda, mak ngedok kasihanni
Mak dapok tungga jelma, culukni mak buhinti
Rasan keliwat sara, susah jarang bandingni

Lapah pucarda-carda, risok nihan kurang mi
Jak huma mit di huma, lapah ngunut rejeki
Ki tungga jelma suka, mengan ram radu kari

Kipak mak suwa iwa, ki muka suka hati
Unyin ram menderita, kenyin guai pengaji
Kekira bulan lima, mupakat delegasi

Rum-Royen tian ruwa, sina awal mulani
Persetujuan sai nyata, perang haga buhinti
Perletakan senjata, pangkal aman negeri

Ya mak beni jak sina, mupakat tipubiti
Sidang ngeliling mija, K.M.B. gelarni
Di negeri Belanda, kumpul do delegasi

Bung Hatta ram bicara, nyepok sai betik hani
Ram amankon dunia, nyin dang selisih lagi
Putusan awal mula, Republik ram kembali

Kembali mit di Jogja, sina ibu negeri
Tanggalni ram mak lupa, jatuh di enom Juni
Perletakan senjata, syarat penting sekali

Menurutkon sai nyata, perang yaddo buhinti
Pemerintah di Jogja, mulai bekerja lagi
Sipil jama tentera, rituk dawah debingi

Ngator segala kerja, pegawaini dicari
Kabinet sidang juga, KNIP-ni mak buhinti
Mulai jak bulan siwa, perang radu mak lagi

Ram tinggal nunggu masa, tahap penyelesaianni
Seluruh Indonesia, enom belas negeri
RIS bentuk negara, ikatan saunyinni

Sina mak jadi ngeba, asal satu maksudni
Ram satu cita-cita, merdika rik abadi
Kedaulatan sai nyata, mak ngedok syarat lagi

Lepas ram jak Belanda, ngator diri sendiri
Seluruh Indonesia, tinggal megung kemudi
Haga lapah mit dipa, ram jadi jeraganni

Tinggal ram berusaha, dang buhinti buhinti
Kenyin negara jaya, makmur sepanjang hari
Sai nanti ngerasa ya, ram saunyin-unyinni

Sampai munih berita, di tanggal dua tujuh
Desember radu nyata, ticatat sungguh-sungguh
Penyerahan Belanda, kedaulatan sai penuh

Tanggal rik rani sina, cakakni Handak-Suluh
Merah-Putih bendira, bekibar yaddo kukuh
Mulai jak waktu sina, merdika ram kak penuh

Jak tahun ampat siwa, hati ram dang ki ginjuh
Belanda mak kuasa, jak tahun lima puluh
Sampailah cita-cita, dengan tekad sai teguh

Cawani bapak kita, dang kuti hati rusuh
Bersatu rik sekata, musyawarat di tiuh
Sina pangkal bahagia, lamun tipegung kukuh

Ya mak mudah sekali, menuju cita-cita
Mak tantu bingi rani, bulan tahun rik masa
Sina mula kubiti, nyin ram buinda-inda

Pi’il bangsa ram hinji, haga ki senang ganta
Mula susah sekali, ngendidik bangsa kita
Titawai mak ngereti, insafni jaoh nana

RIS radu berdiri, hasil ram jama-jama
Dang kuti tinggi hati, kak nepuk-tepuk dada
Banguk ram ati-ati, mudah tunai ki cawa

Seia rik sehati, seasas cita-cita
Sina mula kubiti, sebab wat munih jelma
Cawa mak ati-ati, mak ngedok tata basa

Negara ram ji hani, hasil sikam berjuang
Lain hak ulih kuti, pertaymu mawat menang
Injuk delom hanipi, ya cawa sambil lalang

Pikir kuti puwari, sebab sapa ram menang
Hasil jak delegasi, ulih K.M.B. sidang
Sedongkon tiyan sudi, mak cawa sikam menang

Sebab urusan negeri, lain hak ulih lalang
Nyak harap jama kuti, ati-ati bubilang
Dang ngembalakkon diri, ulih ram lagi senang

Ana do RIS berdiri, dang kuti anggop gampang
Kemakmuran negeri, sina hasil berjuang
Pira jumlah korbanni, mawat sai dacok bilang

Pasal soal korupsi, sina negara halang
Dang kuti lunik hati, cawa jo nyata terang
Bekerja jaman sinji, lain mudah rik gampang

Dang kurang ati-ati, delom RIS ram berjuang
Nontong di kanan kiri, jaohkon sai dilarang
Pi’il sai ngeba rugi, payu ganta ram buang

Jaohkonlah korupsi, mencatut di jawatan
Pemimpin ram mak ngeni, kantu bang ram tulahan
Kantu ram kuruk buwi, barang jadi rampasan

Salamku jama kuti, betik-betik berjuang
Nawaitu delom hati, sina jadi pedoman
Hurik ram ji mak beni, ram musti pindah jengan

Pegawai musti tabah, ngerjakon administrasi
Disan sungi sai mudah, ngelakukon korupsi
Sanajin ya disumpah, kidang pagun mak bukti

Lah lawi matti payah, ki mak insaf di diri
Mawat rabai di tulah, asal nyak mansa hani
Mula nyak buginalah, kapan ram haga jadi

Semuga Insya Allah, sampai maksudni diri
Berjuang dang gelisah, tetop iman di hati
Kantu kerja ram salah, negara jadi rugi

Tantu pemimpin marah, taru goh niku hani
Jelma ji lagi nayah, mak guna niku lagi
Perbuatanmu na salah, ngerugikon negeri

Ana ya kupabalah, kenyin ram ati-ati
Delom RIS berjuanglah, dengan giat sekali
Nyin bangsa ram senanglah, di kemudian hari

Kisah haga kubalin, lain munih berita
Ki mansa kabar angin, pikir pai benor sina
Titilik penyin-penyin, nyin dang salah galipa

Negara berdisipelin, ngehormati sai tuha
Sai sanak ram tipimpin, sosial radu nyata
Negara radu balin, dijajah ram mak haga

Nasihatni pemimpin, ngaji pai Panca Sila
Tipaham rajin-rajin, Undang Dasar Negara
Tipelajari unyin, tujuanni merdika

Tikaji unyin-unyin, pekabaran berita
Cuba pikir perwatin, selama ram merdika
Makkung belajar unyin, sina mula binasa

Ulih ya kurang penyin, cutik-cutik merdika
Tipasalah pemimpin, tihina rik tiwada
Padahal Pak Pemimpin, lamon sai menderita

Kidang mak rena unyin, wat bilangni sai ruwa
Nyepok pemimpin tulin, susah jarang titungga
Lamon ngaku pemimpin, kidang sekadar cawa

Ana ya kupakicik, sejar guai kakira
Pahikni pil tikanik, nyin dang badan binasa
Guai pedoman hurik, ngisi jaman merdika

Masani ampai cutik, lima tahun sai nyata
Ki sanak lagi lunik, ki cawa lagi uba
Tanoman lagi renik, ampai ngembulung ruwa

Kapan haga tikanik, ki ram mak berusaha
Ram jaga betik-betik, kenyin negara jaya
Merdika terang bangik, liak pai lain bangsa

Ganta nyak balin kisah, di tentang persatuan
Dang kuti pecah belah, jejama ram buiman
Pikirkon kuti kidah, di saat perjuangan

Dinana ram na susah, bangkang unyinni lamban
Mak ngedok tanda ragah, unyinni kerabaian
Ya timbul alam wuwah, ram tapok selagaan

Mulani kupabalah, ngeliak kenyataan
Semarga pecah belah, mak niongkon alasan
Unyinni ngaku gagah, seucak di turunan

Ram unyin lagi salah, di tentangni hejongan
Kuharap pai berubah, ram radu balin jaman
Wa’tashimu bi hablillah, tigunakon pai Qur’an

Dang kuti pecah belah, kantu bang ram tulahan
Ngayun ram bersatulah, kenyin wat kekuatan
Pemimpin rik pasirah, rakyat ram kilu aman

Ki nyadang gila mudah, payah ram ki ngedandan
Agama tipabalah, dang mak ingok di Tuhan
Halal haram tipisah, dang nutuk daya sitan

Dunia radu gunjah, gudani mak ketahan
Ki iman ram mak tabah, kuruk dayani sitan
Antak ija pai kisah, wawancan perjuangan

Riwayat ram tamatlah, puput di antak hinji
Segala kupabalah, jak awal mit akhirni
Benorkon ki ya salah, adik bapak puwari.***

Sunday, August 5, 2007

Sajak Ilahiyah Udo Z.Karzi

SAJAK-SAJAK ILAHIYAH
DARI UDO Z.KARZI
(penyair puisi modern Lampung)



KUSEPOK

ngegapai-gapai nyakku
hehengap di hantara kehinaan
kenistaanni badan
kelop delom noda rik dusa
ngesesadak
ngerangkang
buincincut

kusepok cahaya di kekeloman
kusepok sinar di kemanoman
kusepok cerah di kemingkopan
kusepok handak di kekintolan
kesepok ... kusepok Niku
di keredopan samar
di kepelik'an lurung gemirok

dipa? dipa Niku?
dipa pudakMu
dipa alifMu
dipa arrasiMu
dipa? dipa?

ah, hara jaoh rang-Mu
sampai nyak mak dapok ngedakok
ngedakep nyium andes Niku

1989


KUCARI

menggapai-gapai aku
megap-megap di antara kehinaan
kenistaan diri
tenggelam dalam noda dan dosa
meraba-raba
merangkak
tertatih-tatih

kucari cahaya di kegelapan
kucari sinar di kesenjaan
kucari cerah di kemuraman
kucari putih di kepekatan
kucari ... kucari Engkau
di keredupan samar
di kesempitan lorong gerak

mana? di mana Engkau?
di mana wajahMu
di mana alifMu
di mana arrasiMu
mana? di mana?

ah, begitu jauhkah Kau berada
hingga aku tak mampu merangkul
mendekap mesra menciumMu

1989



BUNYI

1
samar-samar
kudengi bunyi sedi
ngalun di kejaohan
merdu
kidang hatiku sakik ulehni
lembut
kidang nyayat-nyayat kalbuku

2
bunyi seno
tambah terang kudengi
redik!
tambah redik
badanku jadi meginjor balak
mupanas delom hiting
hatiku serasa ngelayang

3
bunyi ...
bunyini api udi
nyak gegoran
bunyini sapa udi
kidang mak ngedok jawaban
atas kehingamanku


4
nyak gelisah!
tiba-tiba bunyi no
mangking langgar
tambah redik
ngerabai!
sampai nyak pingsan

5
pas sadar
bunyi di maseh ngalun
kidang hiran
bunyi di tanno
mak lagi sangar
malah mubangik nihan
ngihimbau!

6
tanno
nyak pandai
bunyi seno
bunyi kecah seno
bunyi kebenoran seno
yaddo de bunyi-Mu

1990


SUARA

1
samar-samar
kudengar suara itu
mengalun di kejauhan
merdu
tapi hatiku perih karenanya
lembut
tapi menyayat-nyayat kalbuku

2
suara itu
makin jelas kudengar
dekat!
semakin dekat
tubuhku jadi bergetar hebat
gerah dalam keringat
hatiku serasa melayang

3
suara ...
suara apa itu?
aku gemetar
suara siapa itu?
tapi tak ada jawaban
atas kebingunganku

4
aku gelisah!
tiba-tiba suara itu
melengking tinggi
dekat sekali
menakutkan!
hingga aku pingsan

5
ketika sadar
suara itu masih mengalun
tapi mengherankan
suara itu kini
tak lagi sangar
malah begitu akrab
menghimbau

6
kini
aku tahu
suara itu
suara suci itu
suara kebenaran itu
adalah suara-Mu

1990


DI MESIGIT

pudak nunduk. terus mit tuku
terus kuruk, nyusori lantai
ngitung pitak-pitak ubin, ngerika-rika dusa

mejong sila, gegoran
nahan biakni liyom keliwat relom jama Ya
liyom sai risok beubah ngererabai
ngeri!

mak sai dapok ditantang
nekuri lantai
ingkah pitak-pitak dusa

benda-benda sedi
sesai tembok rik kaligrafi
tihang penyangga rik lampu kristal
mihrab nunjuk
sunyinni ngedakwa, nuduh
sunyinni ngeni kesaksian
tentang nistani badan

1990


DI MASJID

wajah tertunduk, terus ke sudut
terus masuk, menyusuri lantai
menghitung petak-petak ubin, mereka-reka dosa

duduk bersimpuh, gemetar
menahan beban malu amat dalam pada-Nya
malu yang sering berubah menakutkan
mengerikan!

tak satu mampu ditentang
menekuri lantai
hanya petak-petak dosa

benda-benda itu
dinding tembok dan kaligrafi
tiang penyangga dan lampu kristal
mihrab menuding
semuanya mendakwa, menuduh
semuanya memberi kesaksian
tentang kenistaan diri

1990

Sumber: Udo Z. Karzi, Mak Dawah Mak Dibingi (Kumpulan 50 Puisi Lampung), Penerbit Matakata, Bandar Lampung, 2007.

Friday, August 3, 2007

Ngaran "Indonesia"

ARI NGARAN “INDONÉSIA” TÉH TI MANA?
Artikel tina Majalah CUPUMANIK No.49
Taun V no.1 sasih Agustus 2007

k u
IRFAN ANSHORY




BAHEULA kapuloan lemah cai urang dilandi bangsa-bangsa deungeun ku rupa-rupa ngaran. Ku bangsa Tionghoa wewengkon urang téh dingaranan Nan-hai (Kapuloan Sagara Kidul). Bangsa India mah nyebutna Dwipantara (Kapuloan Lemah Sabrang), tina kecap Sangsakerta dwipa (pulo) jeung antara (luar, sabrang). Dina lalakon Ramayana yasana bujangga Walmiki, lebah épisodeu ‘Kiskindhakanda’, kacaritakeun laskar Kiskindha milarian Sinta, garwana Rama nu diculik ku Rahwana téa, tepi ka Suwarnadwipa (Pulo Mas, nyaéta Sumatera ayeuna) di Kapuloan Dwipantara.

Ari bangsa Arab nyebut lemah cai urang téh Jaza’ir al-Jawi (Kapuloan Jawa). Dina basa Latén, menyan boga ngaran ilmiah benzoe, tina basa Arab luban jawi (menyan 'Jawa'), sabab para sudagar Arab abad pertengahan meunang menyan ti tangkal kai Styrax sumatrana nu baheula tuwuhna ngan di Sumatera. Apan tepi ka ayeuna jamaah haji urang remen dilandi ‘Jawa’ ku urang Arab. Kungsi ditétélakeun ka hiji padagang di Pasar Séng, Makkah, yén Indonésia mah lain Jawa wungkul. Hih, dasar Wan Abud, keukeuh manéhna nyebut Jawa ka urang. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi! (Sumatera, Sulawesi, Sunda, sakabéhna gé Jawa!),” pokna.

Bangsa-bangsa Éropa nu munggaran datang dina abad ka-16 boga anggapan yén buana Asia téh ngan ngawengku Arab, Pérsia, India tur Cina. Éta geura, wewengkon nu sakitu legana antara Pérsia jeung Cina sakabéhna disebut ‘Hindia’ baé. Samananjung Asia Kidul dilandi ‘Hindia Hareup’, tur daratan Asia Tenggara dilandi ‘Hindia Pengker’. Ari lemah cai urang mah dingaranan ‘Kapuloan Hindia’ (Indische Archipel; Indian Archipelago; l’Archipel Indien) atawa ‘Hindia Wétan’ (Oost Indie; East Indies; Indes Orientales). Ngaran séjén nu ogé dianggo nyaéta ‘Kapuloan Malayu’ (Maleische Archipel; Malay Archipelago; l’Archipel Malais).

Basa lemah cai urang kajajah ku Walanda, ngaran resmina nagara urang téh Nederlandsch-Indie (Hindia Walanda). Ari pamaréntah balatentara Jepang 1942–1945 mah maké istilah To-Indo (Hindia Wétan).

Éduard Douwes Dékker (1820–1887), nu sandiasmana Multatuli téa, kungsi ngusulkeun ngaran nu leuwih spésifik pikeun nyebutkeun lemah cai urang, nyaéta Insulinde, hartina ogé ‘Kapuloan Hindia’ (basa Latén: insula = pulo). Dina kaca ahir novél Max Havelaar nu ditulis Multatuli taun 1860, aya kalimah kieu: Insulinde dat zich daar slingert om den evenaar, als een gordel van smaragd (“Insulinde nu raranggeuyan di khatulistiwa, lir beubeur inten permata”). Tapi Insulinde jigana kurang populér. Ceuk urang Bandung mah, Insulinde téh ngaran toko buku nu kungsi aya di Jalan Otista!

Dina taun 1920-an Érnest Francois Eugene Douwes Dékker (1879–1950)—nyaéta Dr. Setiabudi téa, nu jadi ngaran jalan utama di Bandung Kalér (anjeunna téh putu ti rayina Multatuli)—mopulérkeun ngaran Nusantara, kénging nyandak Setiabudi tina Pararaton, naskah jaman Majapahit nu kapanggih di Bali abad ka-19 tuluy ditarjamahkeun ku Jan Laurens Andries Brandes tur dipedalkeun ku Nicholaas Johannes Krom dina taun 1920.

Ngan kadé ulah hilap, istilah Nusantara nu diusulkeun ku Setiabudi téh béda pisan hartina jeung istilah Nusantara jaman Majapahit. Ieu penting dipikanyaho ku urang, sabab loba jalma nu lalawora nyangka Nusantara téh konsép Majapahit. Padahal dina jaman Majapahit mah, istilah Nusantara téh dianggo pikeun nyebutkeun pulo-pulo di luar Jawa (kecap antara dina basa Sangsakerta hartina luar, sabrang) minangka lawan tina Jawadwipa (Pulo Jawa). Jadi Nusantara téh hartina “pulo-pulo sabrang”. Apan si Gajah Mada téa kungsi bébéja “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (“Lamun geus éléh pulo-pulo sabrang, kuring kakara salsé”), sakumaha kaunggel dina Pararaton.

Tah, ku Dr. Setiabudi kecap nusantara jaman Majapahit nu kacida jahiliyahna téh dibéré harti nu anyar tur nasionalistis. Tina kecap Malayu antara, istilah Nusantara ayeuna boga harti nu modéren nyaéta “nusa di antara dua buana (Asia tur Ustrali) jeung dua samudra (Hindia tur Pasifik)”, nu matak Pulo Jawa ogé kaasup dina définisi Nusantara nu modéren. Istilah Nusantara ti Setiabudi téh gancang nyebar dianggo tur dipopulérkeun ku nu sarakola minangka alternatif tina ngaran Hindia Walanda nu tangtu baé teu dipikaresep.

Lian ti ngawanohkeun istilah Nusantara nu modéren, Setiabudi dina taun 1912, nalika ngadegkeun Indische Partij di Bandung, ngawanohkeun istilah tanah air deuih, tarjamahan Setiabudi tina istilah asli Sunda “lemah cai”. Tepi ka awal abad ka-20 mah tacan aya istilah tanah air dina basa Malayu, sabab kakara Setiabudi nu mawa éta istilah ti basa Sunda ka basa Malayu. Taun 1920 Muhammad Yamin (1903-1962), urang Minang nu harita nganjrek di Bogor, mopulérkeun éta istilah Tanah Air jadi judul sajakna. Tétéla, najan jadi basa Malayu, istilah tanah air téh asalna ti basa Sunda, tur dipopulérkeun di Tatar Sunda deuih!

Tepi ka ayeuna istilah Nusantara tetep dianggo ku urang pikeun nyebutkeun wewengkon lemah cai ti Sabang ka Merauké. Tapi ngaran resmi bangsa jeung nagara urang mah INDONÉSIA. Tah, ayeuna hayu urang saliksik ti mana jolna éta ngaran nu sabenerna rada ahéng keur létah urang mah.


Ngaran Indonésia

Taun 1847 di Singapura medal majalah ilmiah taunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), nu dikokolakeun ku James Richardson Logan (1819–1869), urang Skotlandia sarjana hukum ti Universitas Edinburgh. Tuluy taun 1849 hiji ahli étnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813–1865), ngagabung minangka redaksi éta majalah.

Dina JIAEA Volume IV taun 1850, kaca 66-74, Earl nulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dina éta artikel Earl negeskeun yén rahayat Kapuloan Hindia atawa Kapuloan Malayu kudu boga ngaran nu husus (a distinctive name) pikeun istilah ilmiah, sabab ngaran “Hindia” téh teu luyu tur sering patukeur deuih jeung India nu asli. Earl ngusulkeun dua pilihan ngaran: Indunésia atawa Malayunésia (basa Yunani: nésos = pulo). Dina kaca 71 Earl nulis kieu: ... the inhabitants of the ‘Indian Archipelago’ or ‘Malayan Archipelago’ would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sorangan nétélakeun yén manéhna mah satuju ka ngaran Malayunésia (Kapuloan Malayu) batan Indunésia (Kapuloan Hindia), sabab Malayunésia luyu pisan kana étnis Malayu, ari Indunésia mah bisa ogé dilarapkeun kana Céylon (Srilangka) jeung Maldives (Maladéwa). Alesan nu séjén, ceuk Earl, apan basa Malayu téh diaranggo di sakumna ieu kapuloan. Dina éta artikel Earl nganggo istilah Malayunésia, teu nganggo istilah Indunésia.

Dina JIAEA Volume IV éta ogé, kaca 252-347, James Richardson Logan nulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Di awal tulisanana Logan gé negeskeun perelu pisan ngaran husus pikeun kapuloan lemah cai urang, sabab istilah ‘Indian Archipelago’ panjang teuing tur sering ngabingungkeun deuih: Indian nu mana? Apan pribumi asli Amérika gé disebutna Indian ku urang Éropa, tur Indian téh sawadina mah urang India nu ‘néhi-néhi’ téa. Ku kituna Logan mulung istilah Indunésia nu dipiceun ku Earl, tuluy huruf u diganti jeung huruf o ngarah leuwih merenah kadéngéna. Tah, ti rancagéna Logan téh jol wé istilah Indonésia.

Kecap atawa ngaran Indonésia téh mimiti babar ka dunya dina kaca 254 artikelna Logan. Unina kalimahna kieu: Mr Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Basa nyieun ngaran ‘Indonésia’ tangtu baé teu kapikir ku Logan yén engké dina abad ka-20 éta ngaran bakal dianggo jadi ngaran bangsa jeung nagara nu rahayatna nomer opat panglobana di beungeut bumi!

Wangkid ti harita Logan konsistén nganggo istilah ‘Indonésia’ dina tulisan-tulisan ilmiahna nu séjén, tuluy lila-lila éta istilah nyebar di kalangan para élmuwan widang étnologi tur géografi. Contona, taun 1877 Ernest Theodore Hamy nganggo kecap ‘Indonésia’ dina tulisanana di Bulletin de la Societe de Geographie di Paris. Tuluy taun 1880 kecap ‘Indonésia’ dianggo ku Augustus Henry Keane dina Journal of the Anthropological Institute di London. Saterusna taun 1882 William Edward Maxwell di Singapura nganggo istilah islands of Indonesia dina bukuna. Sakabéhna éta élmuwan nyebutkeun yén maranéhna mah nginjeum ngaran ‘Indonésia’ tina tulisan-tulisan Logan.

Dina taun 1884 gurubesar étnologi di Universitas Berlin nu ngaranna Adolf Bastian (1826–1905) medalkeun buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel lima volume, nu ngamuat hasil panalungtikanana basa ngumbara ka lemah cai urang taun 1864-1880. Tah, éta buku nu mopulérkeun istilah ‘Indonésia’ di kalangan élmuwan Walanda, nu matak kungsi aya pamadegan yén ngaran ‘Indonésia’ téh diciptakeunana ku Bastian. Padahal mah Bastian nyokot istilah ‘Indonésia’ tina tulisan-tulisan Logan.

Élmuwan Walanda nu munggaran nganggo istilah ‘Indonésia’ nyaéta Hendrik Kern dina majalah Bijdragen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (B.K.I.) taun 1885. Tuluy dianggo ogé ku Christiaan Snouck Hurgronje dina bukuna De Atjehers nu medal taun 1894.

Urang pribumi nu pangmimitina nganggo istilah ‘Indonésia’ téh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Déwantara). Basa dibuang ka Walanda taun 1913 anjeunna ngadegkeun biro pérs nu dingaranan Indonesische Pers-bureau.


Harti Politis

Dina dasawarsa 1920-an ngaran ‘Indonésia’ minangka istilah ilmiah dina étnologi tur géografi téh dicandak ku tokoh-tokoh pagerakan kamerdikaan lemah cai urang, nu matak ngaran ‘Indonésia’ ahirna boga harti politis, nyaéta idéntitas hiji bangsa nu hayang merdika! Atuh pamaréntah Walanda curiga tur waspada kana istilah ‘Indonésia’ téh.

Dina taun 1922 kalawan inisiatif Mohammad Hatta (1902-1980), mahasiswa Handels Hoogeschool (Sakola Luhur Ékonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar tur mahasiswa Hindia di Walanda (nu ngadeg taun 1908, ngaranna Indische Vereeniging) ganti ngaran jadi Indonesische Vereeniging atawa Perhimpoenan Indonésia. Majalah maranéhna, Hindia Poetra, ganti ngaran jadi Indonésia Merdéka.

Bung Hatta negeskeun dina tulisanana: “Nagara Indonésia Merdéka jaga (de toekomstige vrije Indonesische staat) pamohalan disebut ‘Hindia Walanda’. Ngaranna gé lain ‘Hindia’ baé deuih, sabab bisa patukeur jeung India nu asli. Ngaran Indonésia téh boga tujuan pulitik (een politiek doel), sabab ngalambangkeun tur nyita-citakeun hiji lemah cai ka payunna. Sangkan ngawujud, sakur urang Indonésia (Indonesier) badé narékahan kalayan sagala tanaga tur kamampuhna.”

Di lemah cai Dr.Sutomo ngadegkeun Indonesische Studie Club taun 1924, tuluy Perserikatan Komunis Hindia (lahir taun 1920) ganti ngaran jadi Partai Komunis Indonésia (PKI). Taun 1925 Jong Islamieten Bond nyieun kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Tah, éta tilu organisasi di lemah cai urang nu pangheulana nganggo ngaran ‘Indonésia’.

Dina taun 1926 di Jakarta lumangsung Kongrés Pemoeda Indonésia, tur ngadeg deuih organisasi Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonésia (PPPI). Taun hareupna Ir.Sukarno (1901-1970) ngadegkeun Perserikatan (tuluy jadi Partai) Nasional Indonésia (PNI). Ahirna ngaran ‘Indonésia’ téh dijeneng jadi ngaran lemah cai, bangsa tur basa persatuan dina Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonésia ping 28 Oktober 1928, nu ayeuna sok dilandi ‘Sumpah Pemuda’ téa.

Dina bulan Agustus 1939 tilu anggota Volksraad (Déwan Rakyat; DPR jaman Walanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo jeung Sutardjo Kartohadikusumo, nyieun mosi ka Pamaréntah Walanda, ngadongsok sangkan ngaran ‘Indonésia’ diresmikeun minangka gaganti ngaran ‘Nederlandsch-Indie’. Orokaya Walanda bedegong pisan, kéna-kéna kawasa. Éta mosi ditampik sapajodogan.

Ahirna mah horéng Walanda nu tideuha sorangan. Ukur heuleut tilu taun ti harita, Jepang asup ka lemah cai urang, atuh ngaran ‘Hindia Walanda’ téh les sirna salilana. Tuluy dina dinten Jumaah Manis ping 9 Ramadhan 1364 Hijriyah ninggang 17 Agustus 1945, kalayan rahmat Allah Nu Maha Kawasa, brol gumelar Républik Indonésia.***