Saturday, October 30, 2010

Modernisasi dan Integrasi Nusantara

MODERNISASI DAN INTEGRASI NUSANTARA

oleh
Irfan Anshory






MESKIPUN agama Islam telah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 atau ke-8, penyebaran Islam di tanah air kita yang sangat luas ini berlangsung secara berangsur-angsur. Dalam naskah Suma Oriental (Catatan Dunia Timur) yang ditulis Tome Pires, musafir Portugis yang berdiam di Malaka tahun 1512-1515, terdapat keterangan bahwa pada masa itu Islam baru tersebar di daerah jalur niaga: Semenanjung Malaka, pantai timur Sumatera dari Aceh sampai Palembang, pantai utara Jawa dari Cirebon sampai Surabaya, pantai utara Kalimantan di sekitar Brunai, dan Kepulauan Maluku. Dijelaskan oleh Tome Pires bahwa nama Maluku berasal dari Jazirat al-Muluk (Kepulauan Raja-Raja), istilah yang digunakan para pedagang Muslim. Daerah-daerah Nusantara selebihnya, kata Tome Pires, belum mengenal Islam, meskipun terdengar berita bahwa penduduk Minangkabau di Sumatera serta penduduk Sunda di Jawa sudah banyak yang tertarik kepada agama Muhammad. Lihat: Armando Cortesao (Ed.), The Suma Oriental of Tome Pires. An Account of the East, written in Malacca 1512-1515, translated from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.

Uraian Tome Pires di atas menunjukkan bahwa sampai akhir abad ke-15 penyebaran Islam di Nusantara sebagian besar berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan. Sejak abad ke-16 peranan para ulama menjadi lebih dominan dalam penyebaran Islam, dengan ditunjang kekuasaan politik dari kesultanan-kesultanan Demak (1481-1561), Banten (1552-1812), dan Aceh (1514-1910). Dari pusat-pusat Islam di Jawa dan Sumatera, Islam disebarkan ke seluruh Nusantara. Abad ke-16 boleh dikatakan sebagai Era Islamisasi Paripurna, sehingga pada abad ke-17 Islam telah menjadi kekuatan yang sangat dominan di tanah air kita. Lihat: Merle Calvin Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Palgrave, London, 2001.


Modernisasi Nusantara

Tersebarnya Islam di Nusantara membawa getaran dinamika baru yang belum pernah ada pada masa pra-Islam. Daerah-daerah yang pada zaman Hindu-Buddha masih merupakan terra incognita (wilayah tak dikenal) kini mulai memasuki era peradaban dan budaya modern dengan munculnya kota-kota Muslim yang kosmopolitan. Dinamika kota-kota Muslim di Nusantara digambarkan oleh Prof.Dr. Anthony Reid dari Australia dalam buku (kumpulan karangan) Indonesia: Australian Perspectives, Australian National University, Canberra, 1980.

Kota-kota Aceh, Banten dan Makassar pada awal abad ke-17 merupakan pusat perdagangan yang ramai dengan memiliki sekitar 100.000 penduduk, sementara penduduk London, Amsterdam dan Lissabon kurang dari 50.000. Di antara kota-kota di Eropa saat itu, hanya Paris dan Napoli yang berpenduduk di atas 100.000 jiwa.

Kesultanan-kesultanan di Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan kesultanan-kesultanan Usmani (Turki), Safawi (Persia) dan Mughal (India). Aceh dan Ternate mempelajari cara pembuatan meriam dan pengolahan mesiu dari Turki. Augustin de Beaulieu, musafir Perancis tahun 1664, melaporkan bahwa armada Aceh meliputi ratusan kapal besar, sepertiganya lebih besar dari kapal-kapal Eropa, sehingga Aceh dipandang sebagai ancaman terus-menerus bagi Portugis. Sir Francis Drake, orang Inggris pertama mengelilingi bumi yang singgah di Ternate tahun 1579, bercerita bahwa semua kapal Ternate dilengkapi mesiu “produksi dalam negeri”. Ludovico Varthema, pengembara Venesia akhir abad ke-16, juga menulis tentang pelayarannya dari Banjarmasin ke Tuban menumpang kapal Banten yang sudah menggunakan kompas.

Alexander de Rhodes yang berkunjung ke Makassar tahun 1658 menceritakan bahwa penguasa Makassar Karaeng Pattingaloang (mertua Sultan Hasanuddin) ternyata ahli matematika, memiliki peta dunia (mappa mundi) dengan deskripsi bahasa Latin, mengoleksi buku-buku berbahasa Spanyol, dan mahir berbahasa Portugis “sefasih orang Lissabon sendiri”. Sebuah teleskop yang diimpor dari Italia tiba di Makassar tahun 1654, hanya 45 tahun sesudah Galileo mengembangkan teropong jauh itu.

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa Islam membawa masyarakat Nusantara memasuki era modernisasi dan globalisasi. Akan tetapi yang paling signifikan adalah penanaman benih-benih integrasi di kalangan suku-suku di Nusantara, yang buahnya kita nikmati hari ini berupa “Persatuan Indonesia” yang sering kita banggakan. Setelah Islam tersebar di Nusantara, mulailah berlangsung persaudaraan dan pembauran antar suku yang belum pernah ada sebelumnya.



Integrasi Nusantara

Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”. Fatahillah dari Pasai menjadi panglima balatentara Demak, lalu mendirikan kota Jakarta. Ki Geding Suro dari Demak mendirikan Kesultanan Palembang. Syaikh Yusuf dari Makassar menjadi mufti Kesultanan Banten. Beberapa sultan Aceh adalah orang suku Melayu dan suku Bugis, bahkan ada yang keturunan Arab! Masih banyak lagi contoh yang lain. Pada zaman sebelum Islam hal ini belum pernah terjadi, sebab belum ada rasa persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung, tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!

Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali ditanamkan oleh Islam! Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu: Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-Maqashshari (Makassar), Syaikh Abdulkamil al-Jawi at-Tiduri (Tidore), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), dari suku mana pun dia berasal.

Berabad-abad sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan kita Jaza’ir al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. “Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”

Sangat menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut: Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan saya bangsa Jawa! Terus datang pertanyaan lagi: Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa Sunda, Jawa Bugis, Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa Meriki. Padahal orang-orang berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat memberikan jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada baru Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah kita bersaksi kepada sejarah, mari kita buka kartu sekarang: siapakah yang terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau bukan bangsa Indonesia yang beragama Islam? (Rubrik “Dari Hati ke Hati”, majalah Pandji Masjarakat, No.4, 20 November 1966).

Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya; huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.

Bahasa Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan Baabullah dari Ternate kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh kepada Ratu Elizabeth I di Inggris tahun 1601, dan surat Pangeran Aria Ranamanggala dari Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai bahasa Melayu. Itulah sebabnya Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya Itinerario tahun 1595, wanti-wanti berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan Hindia harus tahu bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van Linschoten, seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh penduduk Hindia sebagai bagian dari komunitas mereka.

Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.***



DISKUSI / TANYA JAWAB DI MASJID SALMAN ITB


Pertanyaan/Sanggahan (dari tiga hadirin)

(1) Saudara mengatakan di zaman Hindu/Buddha belum ada benih-benih persatuan Indonesia. Bukankah Majapahit pernah mempersatukan Nusantara?
(2) Istilah Nusantara dan Bhinneka Tunggal Ika yang sekarang kita pakai adalah warisan Majapahit.
(3) Adityawarman panglima Majapahit berasal dari Sumatera. Jadi Majapahit pun sudah menanamkan benih persatuan Indonesia.


Jawab

(1) Berita bahwa Majapahit pernah mempersatukan Indonesia hanya ada pada naskah Nagarakretagama karangan pujangga Prapanca, yang menulis dengan maksud memuji-muji rajanya, Hayam Wuruk. Itulah sebabnya para ahli sejarah banyak yang meragukan, apa betul keterangan Prapanca bahwa Majapahit pernah mempersatukan Indonesia. Faktanya, tidak ada satu prasasti pun atau sumber sejarah lain mengatakan begitu. Prasasti-prasasti zaman Majapahit serta naskah Pararaton yang sezaman dengan Nagarakretagama mengatakan bahwa kekuasaan Majapahit hanya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Jawa Barat (Sunda) tidak disebut-sebut sebagai wilayah Majapahit, apalagi luar Jawa.


(2) Istilah “Nusantara” di zaman Majapahit berbeda sekali artinya dengan “Nusantara” yang kita pakai sekarang. Yang disebut Nusantara oleh orang-orang Majapahit adalah “pulau-pulau di luar Jawa”. Bahasa Sansekerta: nusa = pulau; antara = luar, seberang. Jadi pada zaman Majapahit, Pulau Jawa bukan Nusantara! Nusantara adalah ‘daerah seberang’ yang ingin dikalahkan oleh Majapahit. Kita tentu ingat ucapan Gajah Mada dalam kitab Pararaton: Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa (“Jika telah kalah pulau-pulau seberang, saya baru akan istirahat”).
Pada tahun 1920-an Ernest Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi mempopulerkan kata Nusantara sebagai alternatif dari istilah Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Istilah Nusantara itu diberi arti baru, yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudera”, yang berbeda artinya dengan Nusantara zaman Majapahit. Jadi yang kita pakai sekarang "antara" bahasa Melayu, bukan "antara" bahasa Sansekerta.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika (“Berbeda itu, satu itu”) memang kita ambil dari Majapahit, tapi pengertiannya jauh berbeda. Pada masa Majapahit, istilah itu berarti persatuan Hindu dan Buddha (sinkretisme agama), sedangkan kita sekarang mengartikannya persatuan suku bangsa. Istilah-istilah sembahyang, puasa, surga, neraka, pahala, dosa, dsb. juga kita warisi dari masa pra-Islam, tapi sekarang kita beri pengertian baru yang islami dan tentu sangat jauh berbeda. Sekali lagi, yang kita pinjam hanya kata-katanya, sedangkan konsepnya sudah tidak lagi sama.

(3) Menurut Pararaton, Adiyawarman adalah sepupu Jayanagara raja Majapahit. Ibunya Adiyawarman bernama Dara Jingga, saudara kandung Dara Petak, ibunya Jayanagara. Kalau tidak ada hubungan famili, jangan harap “orang seberang” menjadi pejabat di Majapahit! Memang kita-kita ini bersaudara setelah memeluk agama Islam.***