Isra' Mi`raj Nabi Muhammad s.a.w.
Memahami Makna Isra’ Nabi Muhammad S.A.W.
o l e h
IRFAN ANSHORY
Maha Suci Dia yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Tempat Sujud Yang Suci (Masjid al-Haram) ke Tempat Sujud Yang Lebih Jauh (Masjid al-Aqsha) yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Al-Isra’(17):1
DENGAN TIDAK TERASA perjalanan sang kala membawa kita kembali memasuki bulan Rajab. Sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam setiap tanggal 27 Rajab memperingati peristiwa Isra’ (perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dari Makkah ke Jerusalem) dan Mi`raj (perjalanan beliau ke Sidrat al-Muntaha untuk menerima kewajiban shalat lima waktu dari Allah SWT). Firman Allah dalam Surat Al-Isra’(17):1 di atas biasanya dikutip dan dibahas oleh para muballigh dalam ceramah-ceramah rajaban. Dalam artikel ini kita akan membicarakan beberapa aspek religius-historis dari peristiwa agung yang dialami Nabi Muhammad s.a.w. itu.
Istilah masjid dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan ketika Rasulullah s.a.w. berada di Makkah (ayat-ayat Makkiyah), seperti dalam Surat Al-Isra’(17):1, janganlah diartikan sebagai bangunan mesjid yang kita kenal sekarang, sebab Nabi kita bersama para sahabat baru mendirikan bangunan mesjid setelah hijrah ke Madinah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mesjid pertama dalam sejarah Islam adalah Masjid Quba’, yang didirikan Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau akan memasuki kota Madinah. Jadi, istilah masjid sebelum peristiwa hijrah harus kita artikan secara harfiah, yaitu “tempat sujud”. Yang dimaksudkan dengan Masjid al-Haram (“Tempat Sujud Yang Suci”) pada Surat Al-Isra’(17):1 adalah Baitullah (Rumah Allah) berbentuk kubus (Ka`bah) di Makkah beserta lapangan tempat bertawaf di sekeliling Ka`bah tersebut. Sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah(2):127 dan Surat Al-Hajj(22):26, Baitullah di Makkah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putra beliau Nabi Isma`il a.s.
Adapun yang dimaksudkan dengan Masjid al-Aqsha (“Tempat Sujud Yang Lebih Jauh”) pada Surat Al-Isra’ adalah Rumah Allah di Jerusalem yang disebut Bait al-Maqdis dalam bahasa Arab atau Beth ha-Maqdesh dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Rumah Yang Disucikan”. Bait al-Maqdis didirikan Nabi Sulaiman a.s. (bertahta sekitar tahun 970–930 SM) dan merupakan pelaksanaan cita-cita ayah beliau, Nabi Daud a.s. (bertahta sekitar tahun 1000–970 SM), sebagaimana diterangkan dalam kitab Dibre Hayyamim (Tawarikh) 22:6-10. Rumah Allah (Beth Elohim) ini dirobohkan Nebukadnezzar pada tahun 586 SM, ketika raja Babilonia itu menaklukkan Jerusalem. Yang tersisa hanyalah tiang-tiang serta dinding sebelah barat yang kini disebut Dinding Ratapan. Tatkala Nabi Muhammad s.a.w. mengalami peristiwa Isra’ pada malam Senin 27 Februari 621 (27 Rajab delapan belas bulan sebelum Hijrah), Bait al-Maqdis tinggal pelatarannya saja.
Pada tahun 638 (17 Hijri), masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634–644), umat Islam membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Romawi. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah Abdul-Malik ibn Marwan (685–705) dari Dinasti Bani Umayyah, di atas puing-puing bangunan Nabi Sulaiman a.s. didirikan monumen indah yang dinamai Qubbat as-Sakhra (Dome of the Rock), dan di sebelah selatannya didirikan mesjid megah yang tentu saja dinamai Masjid al-Aqsha. Kompleks ini merupakan tanah suci (Al-Haram asy-Syarif) ketiga bagi umat Islam sesudah Makkah dan Madinah.
Peristiwa Isra’ merupakan penegasan dari Allah SWT bahwa syari`at-syari`at Nabi Muhammad s.a.w., seperti sembahyang (shalat) dan haji (hajj), merupakan kelanjutan dari syari`at para Nabi dari Bani Isra’il. Nabi Daud a.s. melakukan shalat tiga waktu sehari, yaitu petang, pagi dan tengah hari (Tehillim/Zabur 55:17-18), dengan tatacara lengkap seperti ruku` dan sujud (Tehillim 95:6). Nabi Sulaiman a.s. menegaskan bahwa di mana pun umatnya berada hendaklah shalat dengan menghadap kiblat Bait al-Maqdis (Dibre Hayyamim 35:34-40). Ketika Bani Isra’il mengalami pembuangan di Babilonia (586–539 SM), mereka tetap shalat dengan menghadap ke arah Jerusalem.
Syari`at Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. melestarikan ajaran para Nabi Allah yang terdahulu. Dalam Al-Qur’an disebutkan tiga waktu shalat (Al-Isra’ (17):78), tetapi pelaksanaannya dijabarkan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi lima waktu. Jika melakukan perjalanan jauh (musafir), Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan umatnya shalat tiga waktu sehari, dengan menggabungkan (jama`) zuhur-asar serta magrib-isya. Sampai tahun 623 (2 Hijri), Nabi Muhammad s.a.w. serta para sahabat shalat dengan menghadap Bait al-Maqdis di Yerusalem. Baru setelah turun perintah Allah pada Surat Al-Baqarah(2):144-150, umat Islam shalat menghadap Baitullah yang lebih tua dan paling terdahulu (awwalu bait), yaitu Masjid al-Haram atau Ka`bah di Makkah yang didirikan Nabi Ibrahim a.s.
Ibadah mengunjungi Baitullah disebut hajj dalam bahasa Arab serta hagg dalam bahasa Ibrani (huruf Arab ha dan jim identik dengan huruf Ibrani heth dan gimel), yang secara harfiah berarti “berkunjung ke rumah Tuhan”. Istilah hagg dipergunakan dalam kitab We’elleh Shemoth/Exodus 23:14, Shofetim/Hakim-Hakim 21:19, dan Melakim/Raja-Raja 8:65. Ada Nabi dari Bani Isra’il yang dinamai Haggai, sebab dilahirkan ketika ibunya menunaikan haji (hagg) ke Bait al-Maqdis di Jerusalem.
Tetapi ibadah haji yang sejati adalah mengunjungi Baitullah di Makkah, sesuai dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hajj(22):27, yaitu wa adzdzin fi n-nasi bi l-hajj (“Serulah manusia untuk berhaji”). Kata “labbaik” (identik dengan “here I am” bahasa Inggris atau “kulan” bahasa Sunda) yang diucapkan jemaah haji untuk menjawab panggilan Allah adalah ucapan Nabi Ibrahim a.s. (Bereshith/Genesis 22:1) serta Nabi Musa a.s. (We’elleh Shemoth 3:4). Meskipun di tanah Kana’an (Palestina sekarang) Nabi Ibrahim a.s. sempat membuat “tempat berdiri menghadap Allah” (magom dalam bahasa Ibrani) seperti tercantum dalam Bereshith 19:27, kenyataannya yang diabadikan Allah adalah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. (maqam dalam bahasa Arab) di depan Ka`bah di Makkah seperti tercantum dalam Surat Ali Imran(3):97.
Dahulu Bani Isra’il pun ikut serta dengan saudara-saudara mereka Bani Isma`il, menunaikan ibadah haji ke Makkah, sebagai sesama keturunan Nabi Ibrahim a.s. Dalam Tehillim/Zabur 84:6-7 tersurat kerinduan kepada Baitullah: “Sungguh diberkati mereka yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berteguh hati menunaikan haji. Dan ketika tiba di Lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air.” Sampai sekarang para ulama Yahudi masih memperdebatkan di manakah lokasi Lembah Baka. Padahal, menurut Surat Ali Imran(3):96, Bakkah adalah nama purba dari Makkah! Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: “lembah air mata” atau “pohon balsam”. Kedua arti ini semuanya sangat cocok untuk Makkah. Suasana ibadah haji yang penuh haru dan syahdu menyebabkan air mata sering tidak terbendung, dan di Makkah memang banyak tumbuh pohon balsam (genus Commiphora), penghasil gom yang dalam berbagai farmakope internasional disebut Meccan balsam.
Demikianlah peristiwa Isra’ dari Makkah ke Jerusalem yang dialami Nabi Muhammad s.a.w. merupakan salah satu ayat Allah yang menegaskan kesinambungan ajaran Nabi Terakhir dengan ajaran para Nabi sebelumnya yang sebagian besar merupakan keluarga Bani Isra`il, antara lain Nabi Musa a.s., Nabi Daud a.s., dan Nabi Isa al-Masih a.s.
Wallahu a`lam bi sh-shawab, wa ilahi l-marji`u wa l-ma`ab.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home