Rancage dan Sastra Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hadiah Sastra Rancage 2009 tidak diberikan kepada penulis sastra bahasa Lampung. Pasalnya selama 2008 tidak ada buku sastra berbahasa Lampung yang diterbitkan.
"Batas penjurian, 25 Januari lalu, panitia tidak menerima buku sastra dari Lampung. Para juri tidak bisa menunggu lebih dari 25 Januari sehingga beranggapan tidak ada buku sastra berbahasa Lampung," kata Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage Hawe Setiawan, yang dihubungi melalui telepon, kemarin (3-2).
Menurut Hawe, jika memang ada karya sastra berbahasa Lampung yang diterbitkan pada 2008, akan diikutkan penjurian Hadiah Sastra Rancage tahun 2010. Hawe berharap kesalahan teknis ini tidak mengganggu kontinuitas penerbitan sastra Lampung. "Sangat disayangkan tidak ada penulis Lampung yang mendapat Hadiah Sastra Rancage 2009," kata dia.
Tahun sebelumnya, Yayasan Kebudayaan Rancage menganugerahkan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan Lampung Udo Z. Karzi. Udo mendapat Hadiah Sastra Rancage 2008 atas kumpulan sajaknya, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007).
Disesalkan
Budayawan Lampung Irfan Anshory menyesalkan terjadinya kesalahan teknis dalam pengiriman karya sastra Lampung ke panitia Hadiah Sastra Rancage. Kesalahan teknis tersebut mengakibatkan lepasnya Hadiah Sastra Rancage dari Lampung.
Menurut Irfan, ada dua karya sastra berbahasa Lampung yang terbit tahun 2008, yaitu kumpulan cerita pendek berjudul Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami dan kumpulan sajak berjudul Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya.
Irfan mengatakan agar kesalahan teknis tidak terulang tahun depan, penerbit jangan sampai terlambat menerbitkan buku sastra Lampung. Penerbitan buku harus dilakukan sebelum 31 Januari karena pada tanggal tersebut sudah diumumkan peraih Hadiah Sastra Rancage oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. "Penerbit juga jangan sampai terlambat mengirimkan karya sastra ke juri Hadiah Sastra Rancage," kata Irfan.
Irfan berharap Hadiah Sastra Rancage tahun 2010 dapat kembali diraih sastrawan Lampung.
Peraih Rancage 2009
Hadiah Sastra Rancage 2009 adalah ke-21 kali penghargaan itu diberikan. Pertama kali diberikan tahun 1989, khusus kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda.
Tetapi, sejak 1994 para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat Hadiah Sastra Rancage. Dan sejak 1997, para sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali. Tahun 2008 sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung juga mendapatkan Hadiah Sastra Rancage.
Penerima Hadiah Sastra Rancage 2009 sastrawan dan tokoh atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Etti R.S. dengan buku kumpulan sajak Serat Panineungan (untuk karya dalam bahasa Sunda) dan Nano S. atas jasanya mengembangkan bahasa Sunda, terutama melalui lagu-lagu karawitan ciptaannya.
Kemudian S. Danusubroto dengan buku roman berjudul Trah (untuk bahasa Jawa). Sedangkan tokohnya, Sunarko Budiman, penulis dan pengelola Sanggar Sastra Jawa Triwida.
Untuk sastra bahasa Bali, Hadiah Sastra Rancage diberikan kepada I Nyoman Tusthi Eddy atas buku kumpulan sajak berjudul Somah. Sedangkan yang terpilih untuk diberi Hadiah Sastra Rancage 2009 untuk jasa dalam bahasa dan sastra Bali adalah I Nengah Tinggen, penyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali dan telah menulis 40 judul buku dalam bahasa Bali.
Khusus untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Samsudi 2009 kepada Aan Merdeka Permana yang menulis buku Sasakala Bojongemas.
Setiap penerima Hadiah Sastra Rancage selain mendapat piagam juga uang Rp5 juta. Sedangkan Hadiah Samsudi berupa piagam dan uang Rp2,5 juta. Penyerahan hadiah dilaksanakan dalam suatu upacara khusus yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tempat dan waktunya akan ditetapkan kemudian.
Sumber: Lampung Post, Rabu, 4 Februari 2009
WACANA: RANCAGE, SASTRA DAN BUDAYA LAMPUNG
oleh Udo Z.Karzi
TAHUN yang lalu, Hadiah Sastra Rancage juga diberikan kepada sastrawan yang menerbitkan buku dalam bahasa Lampung. Ternyata seperti yang kami khawatirkan, usaha penerbitan dalam bahasa Lampung itu tidak dapat dilaksanakan secara kontinu. Dalam 2008, tak ada buku yang terbit dalam bahasa Lampung, sehingga untuk Hadiah Sastra Rancage 2009 hadiah untuk bahasa Lampung tidak dapat diberikan. Kekhawatiran seperti itu sebenarnya wajar karena penerbitan buku bahasa ibu dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali juga--walaupun ada saja yang terbit setiap tahun--bukanlah usaha yang menjanjikan hari depan secara bisnis. Karena itu ketika beberapa waktu yang lalu kami diberitahu bahwa ada buku yang terbit dalam bahasa Madura, kami tidak segera menyambutnya dengan menyediakan Hadiah Sastra Rancage buat pengarang dalam bahasa Madura. Kami khawatir terjadi lagi apa yang sudah terjadi dengan bahasa Lampung.
(Petikan Keputusan Hadiah Sastera Rancage 2009 yang ditandatangani Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi).
Dan, lonceng kematian (semoga sementara) itu berbunyi: Hadiah Sastra Rancage 2009 untuk Lampung tidak diberikan kepada pengarang Lampung. Saya sungguh terpukul dengan kabar buruk ini. Dalam bahasa Irfan Anshory, ulun Lampung yang kini tinggal di Bandung, "Malu kita!"
Untungnya Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage sedikit memberikan hiburan dengan mengatakan, jika ada terbitan buku sastra berbahasa Lampung terbit 2008, bisa diikutkan Rancage 2010. Dia berharap kesalahan teknis ini tidak mengganggu kontinuitas penerbitan sastra Lampung.
Lalu, saya pun tenggelam dalam dunia idealisasi bagaimana seharusnya mengembangkan sastra berbahasa Lampung. Buku Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) dan Hadiah Sastra Rancage 2008 sebenarnya hanyalah pintu masuk saja bagi sebuah upaya memperjuangkan keberadaan bahasa dan sastra Lampung. Setelah ini, para seniman (sastrawan) Lampung dalam arti sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreativitasnya, harus tetap berupaya melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. Minimal dua dalam setahun.
Saya sangat berharap setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada sastra Lampung, kehidupan sastra berbahasa Lampung semakin bertambah dinamis. Paling tidak, ada semacam kebangkitan sastra berbahasa Lampung seiring dengan tumbuhnya "kepercayaan diri" penutur bahasa Lampung bahwa ternyata bahasa Lampung bisa bergaya, bahasa Lampung bisa berdaya, dan bahasa Lampung bisa modern. Bahwa bahasa Lampung bisa menjadi media ekspresi imajinatif-kreatif, sehingga bisa melahirkan karya sastra sebagaimana bahasa-sastra Sunda, Jawa, dan Bali.
Sejak awal--katakanlah semenjak terbitnya buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia, Momentum (2002)--sebenarnya saya mengajak orang Lampung untuk menulis sastra dalam bahasa ibunya: bahasa Lampung. Tapi, betapa sulitnya karena kebanyakan orang Lampung (bersuku Lampung), terutama kaum muda justru sulit berbicara bahasa Lampung. Berbicara saja susah, apalagi hendak menjadi penulis sastra berbahasa Lampung.
Yang terjadi kemudian adalah betapa orang Lampung semakin gencar mementaskan sastra (tradisi) lisan Lampung. Berbagai proyek pun digelar semacam pelatihan sastra lisan Lampung. Saya sih setuju saja, tetapi saya hanya menyayangkan para seniman Lampung lebih asyik-masyuk dengan tradisi kelisanan itu. Ada juga yang mendokumentasikan sastra tradisi lisan itu dalam bentuk rekaman atau buku.
Namun, tradisi kepenulisan sastra berbahasa Lampung tak bergerak-gerak juga. Dengan latar itulah, saya menulis dengan bahasa Lampung. Setidaknya, ini sebuah upaya saja agar bahasa Lampung tak benar-benar terkubur.
Sebenarnya tidak ada kendala dalam menulis karya sastra Lampung. Masalahnya lebih terkait dengan masalah komitmen untuk--sebenar-benarnya--mengembangkan bahasa-sastra-budaya Lampung. Mana bisa membangun bahasa-sastra-budaya Lampung dengan sikap yang kelewat pragmatis, materialistis, serta penuh dengan perhitungan untung-rugi atau dengan mental "saya harus mendapatkan sesuatu kerja ini".
Wah, menerbitkan buku sastra berbahasa Lampung itu dijamin rugi. Tapi, dalam jangka panjang buku sastra Lampung itu mempunyai nilai strategis bagi perjalanan bahasa-budaya Lampung itu. Tapi, kebanyakan kita tidak mau berpikir ke arah sana.
Saya berharap bahasa Lampung tetap eksis, berkembang, dan mampu menjadi bahasa kreasi bagi penuturnya. Saya yakin bisa asal ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga, melestarikan, memberdayagunakan, dan membuat bahasa Lampung lebih bergengsi. Sebab, bahasa Lampung adalah penopang utama kebudayaan Lampung. Kalau bahasa Lampung punah jelas pula yang disebut kebudayaan Lampung kiamat.
Yayasan Kebudayaan Rancage memutuskan memberikan penghargaan kepada sastra Lampung tahun 2008 dengan harapan agar kehidupan sastra (berbahasa) Lampung menjadi lebih dinamis. Setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada Mak Dawah Mak Dibingi, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal dua buku satu tahun. Tidak boleh putus.
Karena itu, pemda, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!
Saya masih berharap masih ada "orang gila" dalam arti mau menerbitkan buku sastra Lampung dengan segala risikonya. Saya tengah menanti!*
Udo Z. Karzi, buku puisinya Mak Dawah Mak Dibingi (2007) menerima Hadiah Sastra Rancage 2008
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2009
PEMDA KURANG DUKUNG SASTRA LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kalangan sastrawan Lampung menilai lepasnya Hadiah Sastra Rancage tahun 2009 disebabkan kurangnya dukungan pemerintah daerah terhadap sastra berbahasa Lampung.
Sastrawan Lampung Y. Wibowo mengatakan lepasnya Hadiah Sastra Rancage tahun 2009 karena masih rendahnya dukungan pemerintah daerah melalui dinas terkait terhadap perkembangan sastra Lampung. Pemerintah daerah belum mau mengangkat sastra Lampung untuk dipromosikan ke tingkat nasional.
"Pemerintah daerah mestinya mendorong sastrawan dan budayawan Lampung untuk terus berkarya bagi perkembangan sastra Lampung," kata Direktur BE Press, penerbit yang konsen dengan khazanah lokal Lampung.
Wibowo menilai karya sastra berbahasa Lampung yang dihasilkan sastrawan Lampung selama tahun 2009 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Penghargaan Rancage 2008 untuk sastrawan Lampung ternyata mampu memotivasi sastrawan lain untuk terus berkarya.
Tidak diperolahnya Rancage 2009 disebabkan keterlambatan mengirimkan karya sastra berbahasa Lampung. Selama 2008 dan awal 2009, ada dua karya sastra berbahasa Lampung yang sudah diterbitkan. Namun, karena kesalahan teknis, Panitia Hadiah Sastra Rancage tidak menerima terbitan karya sastra berbahasa Lampung.
Menurut Wibowo, Hadiah Sastra Rancage tahun 2008 yang diraih sastrawan Lampung Udo Z. Karzi merupakan sebuah prestasi penting. Selama lebih dari 20 tahun Hadiah Sastra Rancage diadakan, Lampung merupakan daerah pertama yang mendapat hadiah sastra tersebut di luar Jawa dan Bali.
Wibowo juga mengatakan kalangan sastrawan juga harus terus mewacanakan pentingnya sastra dan budaya bagi sebuah daerah. Para pengambil kebijakan harus terus didorong untuk peduli dan perhatian kepada sastra dan budaya Lampung. "Para pengambil kebijakan harus disadarkan agar peduli pada perkembangan sastra dan budaya," ujarnya.
Penyair Lampung, Panji Utama, mengatakan pemerintah sudah seharusnya berperan aktif dalam melestarikan sastra dan budaya Lampung dengan menerbitkan sastra berbahasa Lampung. Panji menilai perhatian pemda terhadap sastra dan budaya masih sangat kurang. Selain kurangnya perhatian pemda, kata Panji, sudah seharusnya Lampung memiliki penerbit yang secara berkelanjutan menerbitkan sastra berbahasa Lampung. "Para penerbit belum tertarik untuk menerbitkan karya sastra berbahasa Lampung," ujarnya.
Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo juga menilai Pemerintah Provinsi Lampung belum berperan optimal dalam pengembangan sastra dan budaya Lampung. Pemprov tidak mau membantu sastrawan dalam menerbitkan karya sastra berbahasa Lampung.
Menurut Christian, adanya penghargaan Hadiah Sastra Rancage seharusnya membuat pemerintah daerah berusaha agar penghargaan tersebut jatuh ke Lampung. Panitia Hadiah Sastra Rancage telah melirik sastra Lampung. Namun, pemerintah daerah belum menempatkan sastra dan budaya Lampung sebagai sebuah potensi.
"Pemerintah Provinsi Lampung terlalu sibuk dengan program Visit Lampung Year. Tapi, tidak ada hal nyata yang dilakukan untuk melestarikan sastra dan budaya Lampung," kata Christian.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 Februari 2009
SASTRAWAN LAMPUNG HARUS BERSATU
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sastrawan Lampung harus duduk bersama dan bersatu agar sastra dan budaya Lampung menjadi terangkat ke pentas nasional. Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komite Tradisi Dewan Kesenian Lampung Syapril Yamin menanggapi kegagalan Lampung mendapat Hadiah Sastra Rancage 2009.
Syapril mengatakan Lampung banyak memiliki sastrawan daerah dan nasional. Para sastrawan Lampung harus duduk bersama membahas bagaimana sastra dan budaya Lampung ke depan. Akan dibawa ke mana sastra dan budaya daerah Lampung.
Syapril masih melihat para sastrawan Lampung tidak bersatu dan masih jalan sendiri-sendiri. "DKL, Unila, dan komunitas sastra lain masih jalan masing-masing." Menurut Syapril, tidak ada harmonisasi antar sastrawan Lampung. Masih ada istilah "tok nyak kidang dang niku", yang artinya "bukan saya tapi jangan kamu", di kalangan sastrawan Lampung. Masih kentalnya egoisme di kalangan sastrawan membuat tidak adanya rasa saling dukung. Sikap seperti itu harus dihilangkan di benak sastrawan. "Jika ada seorang sastrawan maju mewakili nama Lampung harusnya didukung, bukan dijatuhkan," kata Syapril.
Semangat Jangan Kendur
Pengamat sastra Lampung Kuswinarto, saat dihubungi melalui telepon, mengatakan lepasnya Hadiah Sastra Rancage tahun 2009 yang disebabkan kesalahan teknis harusnya tidak memengaruhi semangat sastrawan Lampung untuk terus berkarya. Semangat terus berkarya dalam bahasa Lampung jangan sampai kendur.
Kuswinarto mengaku sangat menyayangkan lepasnya Hadiah Sastra Rancage 2009 disebabkan kesalahan teknis. "Harus dipertanyakan apakah panitia terlambat menerima karya sastra berbahasa Lampung atau memang karya sastra berbahsa Lampung tidak dipublikasikan secara luas." Dia menilai adanya Hadiah Sastra Rancage belum membuat sastrawan Lampung aktif berkarya dengan bahasa daerahnya. Hal itu bisa disebabkan tidak adanya media khusus yang memublikasikan karya sastra berbahasa Lampung.
Keberadaan media publikasi ini sangat penting. Adanya media yang mewadahi kreativitas sastrawan Lampung diharapkan bisa menggenjot produktivitas karya berbahasa daerah. "Harus ada upaya untuk membuat media publikasi sehingga mampu menarik sastrawan untuk menulis karya berbahasa Lampung," kata dia.
Upaya lain yang harus dilakukan, kata Kuswinarto, adalah mengoptimalkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Lampung di sekolah-sekolah. Melalui muatan lokal Bahasa Lampung, para siswa dapat belajar menulis dan berbahasa daerah. Pelajaran muatan lokal harus dimanfaatkan dengan baik untuk membudayakan kembali bahasa Lampung.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 13 Februari 2009
MENANGISI RANCAGE YANG LEPAS
oleh
Agus Sri Danardana
Kita memang pantas menangisi Rancage yang lepas. Namun, kita akan lebih tersedu jika sastra Lampung tidak memiliki pembaca.
BERITA tentang tidak diberikannya hadiah sastra Rancage kepada sastrawan Lampung tahun 2009 telah menimbulkan keprihatinan mendalam banyak pihak. Tidak terkecuali Udo Z. Karzi dan Y. Wibowo (masing-masing penulis dan direktur penerbit Mak Dawah Mak Dibingi, kumpulan puisi berbahasa Lampung penerima hadiah sastra Rancage tahun 2008) serta Panji Utama dan Christian Heru Cahyo pun melontarkan keprihatinannya. Menurut mereka, penyebab utama lepasnya hadiah sastra Rancage untuk sastrawan Lampung pada tahun 2009 ini adalah ketiadaan dukungan pemerintah daerah dalam penerbitan buku-buku sastra Lampung (Lampung Post, 8 dan 10 Februari 2009).
Ketiadaan dukungan pemerintah daerah dalam penerbitan buku-buku sastra Lampung itu, jika benar, memang pantas disayangkan. Apalagi hadiah sastra Rancage memang diberikan hanya untuk sastrawan yang telah memublikasikan karyanya dalam bentuk buku sehingga dalam konteks ini penerbitan buku menjadi sangat penting dan menentukan: Tiada buku, tiada Rancage.
Terlepas dari hal itu, menurut saya, ada hal lain yang lebih penting daripada sekadar menerbitkan buku: Menumbuhkan tradisi baca-tulis masyarakat. Saya khawatir, jika tradisi baca-tulis masyarakat belum terbentuk, penerbitan buku (yang mendapat hadiah [seperti Rancage] sekalipun, tidak akan memiliki makna yang berarti.
Tanpa bermaksud jelek (negatif), saya bercuriga, jangan-jangan buku Udo Z. Karzi, Mak Dawah Mak Dibingi, yang mendapat hadiah sastra Rancage itu, di samping tidak dibaca, juga tidak dikenal oleh banyak orang. Penyebabnya jelas bukan karena buku itu belum terbit atau tidak bermutu, melainkan karena tradisi baca-tulis masyarakat (Lampung) masih rendah.
Rendahnya tradisi baca-tulis sebenarnya tidak hanya terjadi di Lampung. Daerah lain yang masyarakatnya relatif masih setia menggunakan bahasa daerahnya, seperti Sunda, Jawa, dan Bali, pun mengalaminya. Bedanya, mungkin di daerah lain tradisi baca-tulis itu sudah (pernah) terwujud, sedangkan di Lampung tradisi baca-tulis itu belum terwujud. Barangkali itulah sebabnya sastra Sunda, Jawa, dan Bali selalu diterbitkan: Bukan semata-mata dimaksudkan untuk memperoleh hadiah sastra Rancage, melainkan memang dibutuhkan masyarakat untuk dibaca.
***
Salah satu penyebab rendahnya tradisi baca-tulis bahasa Lampung adalah ketiadaan media. Dalam hal ini sebenarnya Lampung bisa mencontoh Sunda, Jawa, dan Bali. Setidaknya ada empat media (majalah) berbahasa Sunda: Mangle, Cupumanik, Balebat, dan Salaka; empat media berbahasa Jawa: Panyebar Semangat, Jaya Baya, Damarjati, dan Parikesit; serta dua media berbahasa Bali: Canang Sari dan Buratwangi yang masih terbit hingga kini. Dulu, bahkan pernah terbit pula surat kabar Dharma Kandha dan Dharma Nyata serta majalah Djoko Lodhang dan Mekar Sari di Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan, beberapa sekolah, kampus, yayasan, dan pemkab/pemkot di ketiga daerah itu juga memiliki buletin berbahasa daerah.
Di samping itu, masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali secara periodik juga masih mau menggelar berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraan daerah. Media-media itulah yang membuktikan bahwa bahasa Sunda, Jawa, dan Bali masih digunakan secara intensif, baik lisan maupun tulisan, oleh masyarakatnya.
Bagaimana dengan bahasa Lampung? Di sinilah masalahnya. Hingga kini tak satu pun media berbahasa Lampung terbit. Di harian Lampung Post dulu pernah ada rubrik Pah Bubasa Lappung, tetapi entah apa penyebabnya rubrik itu pun mati beberapa saat setelah Program Studi Bahasa Lampung di Unila ditutup. Kini satu-satunya publikasi (ber)bahasa Lampung adalah melalui RRI Bandar Lampung, yang tentu saja tidak dapat secara signifikan mendorong tumbuhnya tradisi baca-tulis.
Untuk mengatasi masalah ini sebenarnya pemda (baik pemprov, pemkab, maupun pemkot) memiliki peluang besar. Di samping sudah ada Permendagri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah, Lampung juga sudah memiliki Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung.
Artinya, pemda memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan pelestarian dan pengembangan bahasa daerah (dalam hal ini menumbuhkan tradisi baca-tulis bahasa Lampung), baik dari segi kebijakan maupun penganggaran. Misalnya, sebagai langkah awal, pemda dapat mendorong dan/atau mengintruksi semua media massa cetak di Lampung untuk membuka rubrik (ber)bahasa Lampung seperti yang pernah dilakukan Lampung Post.
Media massa cetak di Lampung sebenarnya juga teruntungkan jika kebijakan ini dilakukan. Di samping dapat turut serta menumbuhkan tradisi baca-tulis masyarakat (Lampung), media massa juga dapat mengolah rubriknya menjadi salah satu bentuk promosi untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Meskipun belum terbukti, saya yakin masyarakat Lampung akan menyambut baik adanya rubrik itu. Khusus untuk Lampung Post, kesempatan ini jangan disia-siakan. Insyaallah suplemen (ber)bahasa Lampung akan mendapat sambutan hangat masyarakat Lampung.
Begitulah, kita memang pantas menangisi Rancage yang lepas karena pada tahun 2008 tidak (belum) ada sastra Lampung yang ditulis dan diterbitkan. Namun, saya yakin, kita akan lebih tersedu jika sastra Lampung tidak memiliki pembaca.*
Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2009
2 Comments:
bang, saya sedang riset mengenai sejarah, budaya, atau apapun terkait way kanan. informasi yang ada sangat minim sekali. saya ingin merintis studi etnografi way kanan.
mohon dibantu data-data yang abang punya. dapat dikirim via email.
salam,
masmpep.wordpress.com
febrie_fisip@yahoo.com
ass. dalam kesempatan ini saya mohon informasi seandainya abang memiliki informasi mengenai silsilah Buay Teregak baik yang berasal dari penelitian ilmiah, tambo atau apapun juga , ini sangat berguna bagi penulisan buku yang sedang saya rintis.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home