Qira'at Al-Qur'an
oleh
IRFAN ANSHORY
SUATU HAL yang sering dilupakan oleh umat Islam umumnya (atau mungkin memang belum banyak diketahui) adalah bahwa Allah SWT melalui Malaikat Jibril mengajarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. qira’at (cara membaca) Al-Qur’an yang tidak semacam, kemudian Rasulullah pun mengajarkan variasi bacaan tersebut kepada para sahabat beliau.
Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan. “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Perbedaan qira’at itu merupakan salah satu kehebatan dan keunggulan kitab suci umat Islam: bacaan bisa berbeda, tetapi tidak bertentangan, malahan saling memperkuat pemahaman makna ayat Al-Qur’an! Sebagai contoh, Rasulullah s.a.w. kepada sebagian sahabat mengajarkan bacaan maaliki yaumi d-diin (“Pemilik Hari Pembalasan”) dalam Surat Al-Fatihah 4, tetapi kepada sebagian sahabat yang lain beliau mengajarkan bacaan maliki yaumi d-diin (“Raja Hari Pembalasan”). Kedua bacaan ini sudah tentu sama-sama benar, sebab Allah memang satu-satunya Pemilik dan Raja.
Dalam Surat Ali Imran 81 ada dua variasi bacaan yang diajarkan Rasulullah: ataytukum min kitaab (“Aku memberi kamu kitab”) dan ataynaakum min kitaab (“Kami memberi kamu kitab”). Dua-duanya benar, sebab Allah SWT membahasakan diri ada kalanya dengan “Aku” untuk menyatakan keakraban-Nya dan ada kalanya dengan “Kami” untuk menyatakan kekuasaan-Nya.
Demikian juga dalam Surat Ar-Rahman 22 terdapat dua pilihan bacaan. Yang pertama yakhruju min humaa l-lu’lu’u wa l-marjaan (“keluar dari kedua lautan itu mutiara dan marjan”), sedangkan yang kedua memakai kata kerja pasif yukhraju (“dikeluarkan”). Kedua variasi bacaan ini berasal dari Rasulullah s.a.w. dan saling menerangkan satu sama lain.
Ada juga variasi bacaan Al-Qur’an berdasarkan dialek. Sebagai contoh, Surat Adh-Dhuha yang lazimnya kita baca wa dh-dhuhaa wa l-laili idzaa sajaa bisa juga dibaca wa dh-dhuhéé wa l-laili idzaa sajéé, sebab ada dialek Quraisy yang membaca alif maqshurah (alif di atas ya) dengan imalah (bunyi é seperti logat Betawi).
Pembakuan tulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman ibn Affan (23-35 H atau 644-656 M), yang dikenal sebagai Mushhaf `Utsmani, ternyata mampu mengakomodasi berbagai variasi bacaan tersebut, sebab pada masa itu tulisan Arab masih berwujud konsonantal murni yang belum diberi syakal (baris pembeda vokal dan huruf mati) dan i’jam (titik pembeda huruf).
Pemberian syakal kepada tulisan Al-Qur’an baru dilakukan oleh Abul-Aswad Ad-Du’ali (w.69 H / 688 M) atas perintah gubernur Basrah, Ziyad ibn Samiyah, pada masa Khalifah Mu`awiyah ibn Abi Sufyan (41-60 H atau 661-680 M). Adapun pemberian i’jam dilakukan dua orang murid Abul-Aswad, yaitu Nashr ibn Ashim (w.87 H / 708 M) dan Yahya ibn Ya’mur (w.130 H / 747 M), atas perintah gubernur Irak, Hajjaj ibn Yusuf, pada masa Khalifah Abdul-Malik ibn Marwan (65-86 H atau 685-705 M).
Al-Qur’an yang digunakan oleh sebagian besar umat Islam di dunia dewasa ini, termasuk kita di Indonesia, memakai qira’at HAFSH, yaitu bacaan Hafsh ibn Sulaiman Al-Kufi (90-180 H atau 709-796 M) dari Ashim ibn Abunnujud Al-Asadi (50-127 H atau 671-745 M), yang memperoleh bacaan itu dari 80-an tabi`in (generasi sesudah sahabat) yang belajar kepada sahabat-sahabat Rasulullah, antara lain Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas`ud, dan Zaid ibn Tsabit.
Akan tetapi saudara-saudara kita umat Islam di kawasan Afrika Utara dan Afrika Barat memakai Al-Qur’an qira’at WARSY, yaitu bacaan Warsy Utsman ibn Sa`id Al-Mishri (110-198 H atau 727-812 M) dari Nafi` ibn Abdurrahman Al-Madani (70-169 H atau 689-785 M), yang memperoleh bacaan itu dari 70 tabi`in yang belajar kepada sahabat-sahabat Rasulullah, antara lain Abdullah ibn Abbas, Abu Hurairah dan Ubay ibn Ka`b.
Al-Qur’an bacaan Warsy memiliki beberapa perbedaan dengan Al-Qur’an bacaan Hafsh. Oleh karena kita di Indonesia terbiasa dengan bacaan Hafsh, ada baiknya kita mengenali bacaan Warsy, supaya jangan kaget jika suatu saat kita berkesempatan membaca atau mendengarnya.
Pada bacaan Warsy, tidak ada hamzah mati di tengah kata, tetapi vokal sebelumnya dibuat panjang (madd). Sebagai contoh, mu’shadah dalam bacaan Hafsh menjadi muushadah dalam bacaan Warsy; ka`ashfim ma’kuul menjadi ka`ashfim maakuul; bi’tsa l-mashiir menjadi biitsa l-mashiir, dan sebagainya.
Huruf mati di ujung kata harus divokalkan jika bertemu dengan huruf alif pada kata berikutnya. Contoh, min aayaatinaa menjadi minaayaatinaa; qad aflaha menjadi qada aflaha; hal ataaka menjadi hala ataaka. Bacaan Hafsh sawaa’un `alaihim a’andzartahum am lam tundzirhum laa yu’minuun (Al-Baqarah 6 dan Yasin 10) menurut Warsy menjadi sawaa’un `alaihimuu a’andzartahumuu am lam tundzirhum laa yuuminuun.
Penomoran ayat-ayat Warsy tidak selalu sama dengan Hafsh. Sebagai contoh, pada Surat Al-Fatihah bismillaahi r-rahmaani r-rahiim tidak diberi nomor ayat, dan ayat pertama adalah al-hamdu lillaahi rabbi l-`aalamiin. Tetapi Al-Fatihah tetap tujuh ayat, sebab shiraatha l-ladziina an`amta `alaihim ayat tersendiri, dan ayat terakhirnya ghairi l-maghdhuubi `alaihim wa laa dh-dhaalliin.
Pada contoh-contoh di awal tulisan ini, bacaan yang disebut pertama kali adalah qira’at Hafsh, sedangkan bacaan yang disebut belakangan adalah qira’at Warsy. Masih banyak lagi bacaan Warsy yang berbeda dengan Hafsh, misalnya: yakdzibuun (Al-Baqarah 10) menjadi yukadzdzibuun; miikaal (Al-Baqarah 98) menjadi miika’iil; tha`aamu miskiin (Al-Baqarah 184) menjadi tha`aami masaakiin; hijju l-baiti (Ali Imran 98) menjadi hajju l-baiti; khaatama n-nabiyyiin (Al-Ahzab 40) menjadi khaatima n-nabiyyiin; lauhim mahfuuzhin (Al-Buruj 22) menjadi lauhim mahfuuzhun; yahsabu (Al-Humazah 3) menjadi yahsibu, dan sebagainya.
Perlu ditegaskan bahwa bacaan Hafsh dan Warsy sama-sama berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dengan sanad (rantai berita) yang sahih dan mutawatir, dan sama-sama menggunakan Mushhaf `Utsmani dalam tulisan konsonantalnya. Baik Hafsh maupun Warsy diproduksi besar-besaran di Percetakan Al-Qur’an milik Kerajaan Saudi Arabia di Madinah, untuk disebarluaskan ke seluruh Dunia Islam, sesuai dengan kawasan pemakainya masing-masing.
Pada era globalisasi sekarang, tidak mustahil ada orang Indonesia yang melancong ke Aljazair atau Nigeria lalu membaca Al-Qur’an qira’at Warsy di sana, kemudian salat berjamaah dengan imam dari Maroko atau Senegal yang bacaan ayatnya sedikit berbeda. Semoga bahasan ini memperluas wawasan kita mengenai variasi bacaan wahyu Allah SWT.***
5 Comments:
koreksi sedikit yaa...
khaatama n-nabiyyiin (Al-Ahzab 40) menjadi khaatima n-nabiyyiin;
yang benar:.....menjadi khaatima n-nabii-iin ....
alhamdulillah di rumah saya sudah punya 3 macam mushaf: Hafs, Duri Abu Amr, dan Warsy..dan saya sudah bisa membacanya.
pak imam,
dapat quran duri abu amr dari mana?
saya juga sedang belajar qiro'at sab'ah dan sudah punya quran warsy,
saya mencari-cari quran riwayat lainnya..
trims..
makasih infonya (fathulwahhab.blogspot.com)
Nice share :) Menambah wawasan untuk yang belum tahu.
mau punya yg qiraat warsy dan sab'ah,
area makassar bisa dpt di mna ya,,
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home