Memahami "Nabi yang Ummi"
o l e h
IRFAN ANSHORY
DALAM Kitab Suci Al-Qur’an, Surat al-A`raf ayat 157, Allah SWT menyatakan Rasulullah Muhammad SAW sebagai an-nabiyy al-ummiy (Nabi yang “Ummi”). Sudah menjadi pemahaman umum di kalangan umat Islam bahwa “ummi” artinya buta huruf, tuna aksara, tidak tahu membaca dan menulis. Anggapan yang salah kaprah ini harus segera diperbaiki, sebab ternyata istilah ummiy (dengan plural ummiyyuun atau ummiyyiin) dalam Al-Qur’an sama sekali bukanlah bermakna seperti itu.
Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan mata rantai terakhir dari agama Nabi-Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa al-Masih, dan Nabi-Nabi Allah lainnya (`alaihimus-salaam). Kebanyakan para Nabi itu berasal dari kalangan Bani Israil, keturunan Nabi Ibrahim melalui putranya Nabi Ishaq. Bani Israil telah banyak menerima Kitab Allah, seperti Taurat, Zabur dan Injil. Adapun orang-orang Arab, keturunan Nabi Ibrahim melalui putranya Nabi Ismail, sebelum Al-Qur’an diwahyukan tidak pernah menerima Kitab Allah. Itulah sebabnya orang-orang Arab disebut kaum ummiyyuun atau ummiyyiin, artinya “kaum yang belum pernah membaca atau menulis Kitab Allah”, sebagai lawan dari kaum al-ladziina uutu l-kitaab, “kaum yang sudah menerima Kitab Allah”, sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 20.
Orang-orang Yahudi semasa Rasulullah SAW sering merendahkan orang-orang Arab yang mereka anggap tidak mempunyai Kitab. Ejekan orang Yahudi itu antara lain direkam oleh Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 75: “Tiada yang patut disalahkan bagi kami atas kaum ummiyyiin”. Maka Allah SWT menyindir bahwa di kalangan Yahudi sendiri banyak juga yang ummiy, tidak memahami Taurat, sebagaimana tercantum dalam Surat al-Baqarah ayat 78: “Dan sebagian mereka ummiyyuun, tidak mengetahui Kitab.”
Dari kalangan orang Arab yang merupakan kaum ummiyyuun itu Allah SWT mengutus Nabi dan Rasul Terakhir Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Jumu`ah ayat 2: “Dia yang membangkitkan pada kaum ummiyyiin seorang Rasul dari kalangan mereka, membacakan atas mereka ayat-ayat-Nya.” Akan tetapi Nabi Muhammad SAW bukanlah diutus kepada kaum ummiyyuun saja, melainkan diutus kepada seluruh umat manusia. Allah SWT menginstruksikan Nabi Muhammad SAW untuk mendakwahkan Islam baik kepada kaum al-ladziina uutu l-kitaab maupun kepada kaum ummiyyuun. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 20: Wa qul li l-ladziina uutu l-kitaaba wa l-ummiyyiina a aslamtum (“Dan katakanlah kepada kaum yang telah menerima Kitab dan kepada kaum yang belum menerima Kitab: apakah kamu bersedia memeluk Islam?”).
Istilah an-nabiyy al-ummiy pada Surat al-A`raf ayat 157 berhubungan dengan kaum Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memeluk agama Islam. Kalimatnya berbunyi: Al-ladziina yattabi`uuna r-rasuulan-nabiyya l-ummiya l-ladzii yajiduunahuu maktuuban `indahum fii t-tawraati wa l-injiil (“Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi, yang mereka dapati tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil”). Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa meskipun Muhammad SAW itu Nabi yang Ummi, artinya berasal dari kaum ummiyyuun, kaum Ahlul-Kitab seharusnya memeluk agama Islam, sebab kedatangan Nabi Muhammad SAW sudah diberitakan dalam Kitab Taurat dan Injil.
Istilah an-nabiyy al-ummiy juga sekaligus berarti bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca atau menuliskan Kitab-Kitab Allah sebelumnya, sehingga seluruh isi Al-Qur’an betul-betul langsung beliau terima dari Allah SWT, bukan hasil jiplakan atau salinan dari Taurat dan Injil seperti tuduhan kaum Ahlul-Kitab kepada beliau. Hal ini dipertegas oleh Allah SWT dalam Surat Al-`Ankabut ayat 48: “Dan engkau tidak pernah membaca Kitab sebelum Al-Qur’an dan tidak pernah menuliskannya dengan tangan kananmu. Seandainya demikian tentu makin ragu kaum penganut kebathilan.”
Masyarakat Arab sebelum Islam telah mengenal sastra tulisan baik natsar (prosa) maupun sya`ir (puisi). Setiap tahun orang-orang Quraisy menyelenggarakan festival (pekan raya) di Ukazh. Di sana diperlombakan pembacaan prosa dan puisi, lalu naskah yang dipandang bagus mendapat kehormatan untuk ditempelkan di dinding Ka`bah. Fakta ini membuktikan bahwa masyarakat Arab waktu itu, termasuk suku Quraisy, mahir membaca dan menulis, sehingga istilah ummiyyuun bukanlah berarti “masyarakat buta huruf”. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah seorang pelaku bisnis yang handal di masa muda beliau sebelum menjadi Rasul. Kesuksesan beliau dalam melakukan transaksi niaga merupakan indikasi bahwa beliau mampu membaca dan menulis, sehingga istilah an-nabiyy al-ummiy dalam Al-Qur’an bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”.
Kisah turunnya wahyu yang pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat bahwa beliau mampu membaca. Ketika Rasulullah SAW bertafakur menyendiri di Gua Hira’ bukit Jabal Nur, maka pada malam Senin tanggal 17 Ramadhan, yang bertepatan dengan 10 Agustus 610 Masehi, datanglah malaikat Jibril kepada beliau seraya berkata, “Iqra’ (Bacalah).” Nabi menjawab, “Maa aqra’ (Apa yang saya baca?)” Tiga kali Jibril menyuruh Iqra’, dan Rasulullah SAW menjawab serupa pula. Lalu Jibril membacakan lima ayat pertama dari Surat al-`Alaq sebagai wahyu Allah yang paling awal.
Ketika Rasulullah SAW membuat perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin Makkah yang diwakili Suhail ibn Amr di Hudaibiyah bulan Dzulqa`dah tahun 6 Hijriyah atau April 628 Masehi, naskah perjanjian dituliskan oleh Ali ibn Abi Thalib dan didiktekan oleh Rasulullah SAW: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail ibn Amr.” Suhail protes atas kalimat tersebut dan mengusulkan agar Muhammad Rasulullah diganti menjadi Muhammad ibn Abdillah. Ali ibn Abi Thalib tidak mau menghapus kata rasulullah itu, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri yang menghapusnya dengan tangan beliau untuk diganti menjadi seperti yang diusulkan Suhail.
Dari seluruh uraian yang telah kita bahas, baik analisis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun analisis terhadap beberapa episode riwayat hidup Rasulullah SAW, jelaslah bahwa istilah an-nabiyy al-ummiy bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”, melainkan berarti “nabi yang tidak pernah membaca Kitab Allah sebelum Al-Qur’an” atau “nabi dari kalangan ummiyyuun yang belum pernah menerima Kitab Allah sebelum Al-Qur’an”. Jadi terjemahan “ummi” dalam bahasa Indonesia bukanlah “buta huruf”, melainkan “buta kitab”. Oleh para ulama abad pertengahan dikembangkan pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar tidak dapat membaca dan menulis, mungkin dengan tujuan agar umat Islam makin yakin bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Nabi. Padahal, meskipun Rasulullah SAW mampu membaca dan menulis, sama sekali tidaklah berkurang sedikit pun keimanan kita bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu Allah SWT.
Alangkah banyaknya aspek yang membuktikan kewahyuan Al-Qur’an, baik dari segi keindahan bahasa maupun dari segi isi Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya, banyak sekali fakta ilmiah tentang fenomena alam dalam Al-Qur’an yang baru dapat dipahami sekarang setelah ilmu pengetahuan modern berkembang. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Al-Qur’an memang berasal dari Pemilik Alam Semesta yaitu Allah SWT, dan kita tidak perlu merekayasa atau bahkan secara tidak sengaja membuat semacam pelecehan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad SAW buta huruf. Alangkah teganya kita selama ini menyangka junjungan yang kita cintai, manusia paling mulia di muka bumi, Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang yang tidak bisa tulis-baca. Subhana l-Laah!
Wal-Laahu a`lam bi sh-shawaab.
2 Comments:
Salam
I do agree with your stand. There is no way that the prophet is an illiterate. However still too many of us are accepting the opposite.
senang membaca artikelnya
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home