Friday, April 20, 2007

Resensi Buku di Majalah TEMPO

Kumpulan Resensi Buku di Majalah TEMPO
oleh Nia Kurnia Sholihat Irfan:

TEMPO, 21 Juni 1980

BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT:
ISLAM INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Harry Jundrich Benda (terjemahan Daniel Dhakidae)
Pustaka Jaya, Jakarta, 1980, 344 halaman

SEJARAH Islam Indonesia relatif tidak mendapat perhatian, bahkan tidak jarang para sarjana memberikan tempat lebih kecil kepada gerakan-gerakan Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Demikian konstatasi Prof. Dr. Harry Jundrich Benda dalam pengantar bukunya The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague, 1958), yang terjemahannya kini kita bicarakan.

Prof.Benda yang wafat tahun 1972 pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Yale, Amerika Serikat. Karyanya ini merupakan sumbangan sangat berharga bagi penulisan sejarah Indonesia terutama periode mutakhir. Bagian Pertama, "Warisan Kolonial" (tiga bab), merupakan uraian situasi Indonesia, khususnya umat Islam, pada masa-masa terakhir kekuasaan Belanda. Pokok permasalahan diuraikan pada Bagian Kedua, "Pendudukan Jepang" (lima bab).

Dalam Bab Satu, "Dasar-dasar Politik Belanda terhadap Islam", Prof.Benda mengklasifikasi masyarakat Islam Indonesia dalam tiga kelompok yang disarankan Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java (Chicago, 1955), yaitu abangan, priyayi, dan santri. Dia juga menguraikan ulasan politik Belanda terhadap Islam yang dirumuskan Christiaan Snouck Hurgronye. Meskipun klasifikasi Geertz mengandung kelemahan dan mengundang kritik (antara lain Harsya Wardana Bachtiar, “The Religion of Java: A Commentary”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, V(1), 1973), kenyataannya kelompok priyayi perlu ditinjau secara khusus, setidak-tidaknya dalam pembahasan mengenai pandangan Snouck tentang Islam. Snouck merekomendasikan bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priyayi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya (geemancipeerd van het Islam stelsel).

Prof.Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik (h. 44). Sebenarnya Snouck melihat Islam memiliki tiga aspek: sebagai religi (godsdienstig), sebagai sistem sosial kemasyarakatan (maatschappelijk), dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig). Dalam rekomendasinya kepada pemerintah Belanda Snouck menyarankan agar terhadap yang pertama pemerintah bersikap netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang kedua, pemerintah memberikan kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai upaya ‘mengambil hati umat Islam’. Tetapi terhadap yang ketiga, Snouck mengharap pemerintah jangan sekali-kali memberikan toleransi dan harus selalu siaga untuk menumpasnya. Kenyataannya, buah fikiran Snouck ini turut mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan ‘politik etis’.

Pemisahan yang dilakukan Snouck antara agama dan politik dalam Islam, menurut Prof. Benda tidak realistis, bahkan tidak mencerminkan sifat universal agama ini. Pemisahan agama dan politik, kata Prof. Benda, hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam masa kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat berlangsung lama (hh. 50-51).

Ketidaktepatan tafsiran Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua, "Renesans Islam Indonesia". Pengarang menguraikan kebangkitan Islam yang dinamis, sehingga pada awal abad ke-20 Islam Indonesia tumbuh lebih luas daripada batasan abad ke-19 yang menjadi dasar analisis dan rekomendasi Snouck. Gema pemikiran para reformis Islam di Timur Tengah, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Pada gilirannya gerakan-gerakan reformis ini menimbulkan reaksi baru dalam bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang dipelopori Nahdatul Ulama.

Sesungguhnya sejak tahun 1930-an sudah muncul peringatan-peringatan terhadap politik Belanda. Misalnya Prof. George Henri Bousquet dari Perancis, yang menilai pemerintah Belanda terlalu lemah menghadapi Islam dan meremehkan ‘bahaya politik’ yang dikandung gerakan sosio-religius seperti Muhammadiyah (lihat: M. Natsir, “Oleh-oleh dari Algiers”, Capita Selecta, Vol.1, 1955). Namun api telah terlalu menjalar sehingga sukar dipadamkan. “Kekurangpahaman tentang gerakan pembaharuan Islam menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam menjadi impoten,” komentar Prof. Dr. W. F. Wertheim yang turut memberikan Kata Pengantar dalam buku Prof. Benda ini. Juga perlu kita garisbawahi bahwa Jong Islamieten Bond yang didirikan H. Agus Salim dan kawan-kawannya tahun 1925 memberikan fenomena baru yang barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu munculnya para modernis Islam dari kalangan priyayi!

Dalam Bab Tiga, "Tantangan dan Jawaban", Prof. Benda mengungkapkan bertambah mantapnya gerakan Islam, dengan bersatunya kelompok modernis dan kelompok tradisionalis dalam wadah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada bulan September 1937. Dibayangi ketakutan perang melawan Jepang, Belanda mulai menyadari kebutuhan memperoleh sekutu di kalangan Islam. Hal ini ditandai dengan membuka Sekolah Penghulu di Jawa Barat, subsidi yang cukup besar bagi jemaah haji, serta perangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah. Namun keharusan sejarah agaknya tak dapat ditahan. “Matahari Terbit” melanda Nusantara dan menghapuskan Hindia Belanda.

Bagian Kedua karya Prof. Benda, terdiri atas lima bab, membahas masa pendudukan Jepang, sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini dicatat dari sumber tangan pertama, terutama dari harian berbahasa Indonesia dan dari berkala tahun-tahun tersebut. Masuknya Jepang ke Indonesia membuka era baru dalam tingkah laku politisi Indonsia. Jika di zaman Belanda penjara dan pembuangan merupakan hukuman paling kejam, di zaman Jepang penyiksaan dan kematian dijatuhkan bagi mereka yang dicurigai tidak taat. Jika di zaman Belanda dikenal istilah 'kooperasi dan non-kooperasi', di zaman Jepang perbendaharaan istilah politik bertambah dengan 'kolaborasi'. Dan rupanya Jepang telah merumuskan politiknya terhadap Islam jauh hari sebelumnya.

Sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. Pada November 1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di Tokyo dan Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera seusai kongres, seorang ahli Islam, Prof. Kanaya, berangkat ke Indonesia untuk memperkuat ikatan umat Islam kedua bangsa. Sesudah Jepang menduduki Indonesia, pendekatan terhadap Islam Indonesia terus gencar: menekankan persamaan Shinto dan Islam mengenai konsep hakkoichiu (‘persaudaraan sejagad’), silaturahmi dengan para pemuka MIAI, membuka Kantor Urusan Agama (Shumubu), menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des Indes yang mewah, dan menampilkan ‘haji-haji Tokyo’ seperti Abdulhamid Ono, Abdulmunim Inada, Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf Saze. Bahkan ada tentara Jepang yang ikut bersembahyang di mesjid-mesjid! Jika organisasi lain tak diizinkan membuat majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943 diizinkan terbit.

Para tokoh Islam mempunyai senjata moral dengan mengemukakan prasyarat kerjasama dengan ‘penyembah berhala’ itu: asalkan agama Islam tidak diganggu. Maka terjadilah permainan ‘kucing-kucingan’ para tokoh Islam yang mencoba mengambil manfaat dari ‘kerjasama’ itu. Prof. Benda mengemukakan bahwa pada zaman Jepang elite Islam memperoleh bagian yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh pada zaman Belanda (h.169). Kaum Muslimin juga berperan dalam pembentukan tentara lokal. Pada Juli 1943 para kiai dilatih kemiliteran di Jakarta, dan latihan korps perwira Indonesia, Oktober 1943, melibatkan jumlah kiai yang cukup besar.

Menurut Prof. Benda, kelompok Islam mendapat dukungan yang jauh lebih besar di desa-desa dibandingkan dengan kaum nasionalis ‘sekuler’. Itulah sebabnya ketika mendirikan angkatan bersenjata Indonesia yang pertama, penguasa Jepang memalingkan muka kepada Islam. Bendera Peta bukanlah Merah-Putih, melainkan Bulan-Sabit di atas Matahari-Terbit, melukiskan perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis Barat yang Kristen (hh. 174-175).

Sangat menarik mengikuti bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI. Shumubu sering melangkahi MIAI dalam mendekati para ulama. Usaha para pemimpin MIAI untuk mengadakan rapat umum tidak diizinkan. Meskipun MIAI berhasil mengusahakan berdirinya Baitul-Mal, organisasi itu terus dikuras sehingga yang tinggal hanya kantor pusatnya di Jakarta. Akhirnya, September 1943, pemerintah pendudukan Jepang memberikan status hukum kepada Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama beserta cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan kemudian MIAI terpaksa bubar.

Sebagai pengganti MIAI, dibentuk wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia, dengan singkatan Masyumi yang mirip-mirip nama Jepang, dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai tulang punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi mempunyai keanggotaan yang meyakinkan di seluruh Jawa. Menurut Prof. Benda, Jepang tetap mengharapkan penggalangan kaum Muslimin demi tujuannya (h. 216). Pendekatan Jepang ini dimanfaatkan pula oleh Masyumi untuk membentuk pasukan Hizbullah (Laskar Allah) pada bulan Januari 1945.

Bahkan sampai saat-saat terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha menarik Bulan Sabit ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945 Gunseikan memutuskan hari Jumat libur setengah hari bagi kantor pemerintah. Pada 11 Juni, Al-Qur’an dicetak pertama kalinya di bumi Indonesia. Dan pada 8 Juli, Universitas Islam Indonesia didirikan dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua. Setelah proklamasi kemerdekaan, universitas ini dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.

Sayang sekali kita tidak menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli 1945 dengan cukup mendetil dalam buku ini. Padahal, bulan-bulan itu penuh dengan kejadian yang menentukan ‘posisi’ Islam dalam zaman Indonesia merdeka. Betapa gigihnya para tokoh Islam dalam Dokuritsu Junbi Cosakai memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para tokoh nasionalis ‘sekuler’ menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai titik kesepakatan.

Kekurangan buku Prof. Benda ini adalah hanya membahas perkembangan Islam di Jawa. Terhadap terjemahan Daniel Dhakidae patut kita acungkan jempol. Sayangnya penerjemah tidak sedikit pun memberikan informasi siapa Prof. Dr. Harry Jundrich Benda. Dan alangkah baiknya jika buku ini dilengkapi dengan indeks.

Akhirnya, ada baiknya kita merenungkan kata pengantar W. F. Wertheim dalam permulaan buku ini. Kekuatan-kekuatan yang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan politiknya, tulis guru besar Universitas Amsterdam itu, pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan kekuatan tersebut. Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun!***


TEMPO, 25 April 1981

KUNTALA, SRIWIJAYA DAN SUWARNABHUMI
Prof.Dr.Slametmulyana
Idayu, Jakarta, 1981, 356 halaman

KERAJAAN Sriwijaya kebanggaan masa silam Indonesia. Kekuasaannya melampaui batas geografis tanah air kita, berabad-abad mendominasi pelayaran dan perdagangan antarbangsa, satu-satunya negara Asia Tenggara abad tengah yang banyak diberitakan kronik Arab dan Cina. Namun penyusunan sejarahnya belum tuntas. Maklum Sriwijaya baru dikenal dalam historiografi modern pada tahun 1918, berkat tulisan George Coedes, Le Royaume de Crivijaya.

Kronik Cina abad ke-7 dan ke-8 memberitakan negeri atau kerajaan di ‘laut selatan’ bernama Shih-li-fo-shih. Kronik abad ke-9 sampai ke-14 memberitakan negeri San-fo-tsi. Berdasarkan beberapa prasasti yang menyebut nama ‘Sriwijaya’, Coedes mengidentifikasi Sriwijaya sebagai nama negeri dan kerajaan yang ditransliterasikan menjadi Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi. Dan lahirlah teori: Kerajaan Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 sampai ke-14.

Buku terbaru Prof.Dr.Slametmulyana ini, bekas dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, banyak memberikan sumbangan berharga bagi penyusunan sejarah Sriwijaya. Karya filolog terkemuka ini diharapkan dapat merangsang pemikiran baru.

Dengan argumentasi meyakinkan, pengarang melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan Malayu.

Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.

Ini perlu ditegaskan karena para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II, Zaman Kuna) —buku standar dari Dep. P&K— terlalu gegabah menjatuhkan vonis: ibukota Sriwijaya bukan di Palembang. Mereka kiranya wajib meruntuhkan argumentasi Prof. Slametmulyana.

Pengarang juga menguraikan perluasan wilayah Sriwijaya berdasarkan prasasti-prasasti dan uraian I-tsing. Akhir abad ke-7, raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaklukkan Bangka, Lampung, Malayu (Jambi), Sumatera Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti Kota Kapur (Bangka) menyebutkan pada 686 tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Jawa. Menurut pengarang, yang ditaklukkan adalah Jawa Barat, terbukti dari adanya prasasti berbahasa Melayu di Bogor. Prasasti Sriwijaya memang berbahasa Melayu, dan tak mungkin raja Jawa atau Sunda mengeluarkan prasasti dengan bahasa itu. Tapi mengapakah pengarang ragu menyimpulkan bahwa Jawa Tengah pun pernah dikuasai Sriwijaya?

Di Jawa Tengah banyak prasasti berbahasa Melayu: Sojomerto, Gandasuli, Dieng, Bukateja, Candi Sewu. Prasasti Sojomerto (ditemukan tahun 1963) menyebut Dapunta Selendra, pendiri Wangsa Sailendra. Gelar ini sama dengan gelar raja Sriwijaya, Dapunta Hyang. Prasasti Gandasuli menyebut pembesar Sailendra bergelar Sida, gelar yang tak dimiliki pembesar Jawa. Yang jelas, itu adalah gelar pembesar Sriwijaya seperti tercantum pada prasasti di Palembang (J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II, 1956, h.5). Pengarang mengatakan Dapunta Selendra berasal dari Sumatera Selatan (h.148). Seharusnya pengarang lebih tegas mengatakannya dari Sriwijaya. Tumbuhnya Wangsa Sailendra di Jawa Tengah abad ke-8 berkat penaklukan daerah ini oleh Sriwijaya. Tidak mustahil, Dapunta Selendra adalah salah seorang keturunan Dapunta Hyang yang diberi daerah kekuasaan di Jawa Tengah.

Prasasti Nalanda (860) menyebutkan bahwa Balaputradewa raja Suwarnadwipa adalah keturunan Sailendra dari Jawa. Dari prasasti Siwagreha (856) diketahui bahwa Balaputra mengungsi dari Jawa lantaran kalah perang melawan Wangsa Sanjaya. Sangat mustahil seorang pengungsi dari Jawa diterima orang Sriwijaya menjadi raja jika tak ada hubungan famili! Para ahli sejarah seperti George Coedes, F.D.K. Bosch, Muhammad Yamin, Oliver W. Wolters, menduga ibu Balaputra adalah putri Sriwijaya. Tapi tak ada sumber sejarah mengatakan demikian. Kiranya alasan yang tepat adalah bahwa Wangsa Sailendra berasal dari Sriwijaya. Jadi Balaputradewa kembali ke daerah nenek moyangnya. Wajar jika ia memiliki hak atas tahta Sriwijaya.

Tapi Prof. Slamet membuat ‘teori baru’ dalam bukunya ini. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-8 karena ditaklukkan Wangsa Sailendra. Lalu Balaputradewa mendirikan kerajaan baru pada abad ke-9 di Jambi bernama Suwarnadwipa. Nama ini bersinonim dengan Suwarnabhumi yang ditransliterasikan San-fo-tsi dalam kronik Cina.

Teori Prof. Slamet bertentangan dengan sumber sejarah yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya masih ada pada abad ke-11. Prasasti di India yang dikenal dengan Piagam Leiden menyebutkan raja Sriwijaya tahun 1006 bernama Sri Marawijayatunggawarman, putra raja Sri Cudamaniwarman keluarga Sailendra. Sudah tentu raja ini keturunan Balaputradewa. Konsekuensinya, Suwarnadwipa pada prasasti Nalanda adalah Kerajaan Sriwijaya. Kedua nama raja Sriwijaya dalam Piagam Leiden cocok dengan nama-nama raja San-fo-tsi, Se-li-chu-la-wu-ni dan Se-li-ma-la-pi, dalam kronik Sung-shih (Sejarah Dinasti Sung). Tahunnya pun cocok. Jadi San-fo-tsi yang diberitakan kronik Sung-shih adalah Kerajaan Sriwijaya.

Untuk menutupi kelemahan teorinya, pengarang mengatakan Piagam Leiden itu menyesatkan karena, katanya, bertentangan dengan berita Al-Mas`udi bahwa Sriwijaya merupakan negeri bawahan (h.182). Entah buku Al-Mas`udi mana yang dibaca pengarang. Yang jelas, Abu Hasan Al-Mas`udi dalam catatannya Murujuz-Zahab wa Ma’adinul-Jawhar (943) tak pernah mengatakan demikian. Justru dari keterangan Al-Mas`udi dan musafir-musafir Arab lainnya kita mengetahui bahwa negeri paling utama di Asia Tenggara abad ke-10 adalah Sriwijaya.

Namun saya sependapat dengan pengarang bahwa San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi (Catatan Negeri Asing, ditulis oleh Chau Ju-kua pada 1225) bukanlah Kerajaan Sriwijaya-Palembang, melainkan Kerajaan Malayu-Jambi (hh.188-189). Chu-fan-chi mengatakan Palembang sebagai negeri bawahan San-fo-tsi. Uraian Chu-fan-chi tentang pelabuhan San-fo-tsi sama dengan uraian I-tsing tentang Malayu dan cocok dengan penelitian geomorfologi tentang Jambi.

Jadi ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau Sumatera bernama Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, artinya ‘pulau emas’. Kiranya Prof. Slamet benar ketika mengidentifikasi nama San-fo-tsi dengan Suwarnabhumi. Tapi beliau lupa bahwa itu nama pulau. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut San-fo-tsi karena memang terletak di Sumatera. Seperti halnya kerajaan-kerajaan di Jawa disebut She-po (transliterasi dari nama Jawa).

Adapun runtuhnya Sriwijaya bisa dilacak sebagai berikut. Setelah kerajaan itu lumpuh akibat serangan Cola pada 1025 (prasasti Tanjore), negeri Malayu yang sejak abad ke-7 menjadi bawahannya bangkit kembali. Kronik Ling-wai-tai-ta mencatat utusan Jambi ke Cina pada 1079, 1082, 1088. Sepanjang abad ke-12 kiranya Malayu merebut banyak daerah dari tangan Sriwijaya yang kian lemah. Pada 1183 kekuasaan Malayu telah sampai ke Semenanjung Malaka (prasasti Grahi). Menurut Sung-shih, utusan terakhir Sriwijaya ke Cina datang pada 1178. Tiba-tiba kronik Chu-fan-chi tahun 1225 mencatat Palembang sebagai bawahan Malayu. Boleh dipastikan, Kerajaan Sriwijaya runtuh akhir abad ke-12 atau sekitar tahun 1200 (antara 1178 dan 1225) karena ditaklukkan oleh Kerajaan Malayu! Ini merupakan antitesis terhadap teori Prof. Slamet yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-8. Sekaligus antitesis terhadap pendapat umum ahli sejarah yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-14.

Jadi yang disebut San-fo-tsi abad ke-13 dan ke-14 adalah Kerajaan Malayu. Kitab Nagarakretagama (1365) pupuh XIII menyebutkan seluruh daerah di Sumatera sebagai ‘Bhumi Malayu’. Selama ini ahli sejarah menganggap San-fo-tsi sinonim dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Akibatnya kebesaran Kerajaan Malayu tidak mendapat tempat dalam buku sejarah. Malayu yang jaya abad ke-13 disangka Sriwijaya.

Prof. Sukmono melokasikan Sriwijaya di Jambi lantaran banyak berita San-fo-tsi yang cocok untuk Jambi (Tentang Lokalisasi Sriwijaya, 1958). Prof. George Coedes yang melokasikan Sriwijaya di Palembang masih perlu menulis: Whether it had its center at Palembang or at Jambi... (The Indianized States of Southeast Asia, 1968, h.179). Prof. O.W. Wolters dalam dua bukunya, Early Indonesian Commerce (1967) dan The Fall of Srivijaya (1970), menduga ibukota Sriwijaya mula-mula di Palembang lalu pindah ke Jambi. San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi diartikannya ‘Srivijaya, now meaning Malayu-Jambi’. Kalimat Wolters ini jelas aneh, sebab bagaimanapun Sriwijaya dan Malayu dua kerajaan yang berbeda, tak boleh disamakan begitu saja. Semua kesimpangsiuran di atas lantaran satu sebab: mereka menganggap berita-berita San-fo-tsi selalu menyatakan Sriwijaya.

Sejarah Dinasti Ming abad ke-14 mengatakan ‘San-fo-tsi dahulu disebut Kan-to-li’. Kan-to-li adalah negeri abad ke-5 sebelum Malayu dan Sriwijaya. Karena San-fo-tsi zaman Ming adalah Malayu, lokasi Kan-to-li tentu di Jambi. Perlu dicatat, banyak nama tempat yang berasal dari nama tempat di India. Huruf prasasti di Asia Tenggara serupa dengan di Kuntala, dekat Mysore (J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, 1975, h.13). Pendapat Prof. Slamet sungguh menarik dan patut dipertimbangkan: nama Kuntala (Kuntali) diambil sebagai nama negeri di Jambi abad ke-5 yang ditransliterasikan Kan-to-li. Lama-kelamaan nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi.***


TEMPO, 27 November 1982

A HISTORY OF MODERN INDONESIA
Merle Calvin Ricklefs
Macmillan, London, 1981, 335 halaman


PENULISAN sejarah Indonesia memasuki perspektif baru tatkala Jacob Cornelis van Leur (1908-1942), dalam disertasi doktoralnya di Leiden tahun 1934, mengkritik pandangan Eropa-sentris dalam penyusunan sejarah. Pada tahun 1939, dikecamnya pula buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie susunan F.W. Stapel, yang memandang Indonesia semata-mata “dari dek kapal, jendela loji dan anjungan rumah dagang” (J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, 1955).

Sejak itu para ahli sejarah menyadari pentingnya rekonstruksi historiografi tanah air kita dengan menekankan aspek-aspek bangsa Indonesia sendiri, sehingga sejarah Indonesia tidak identik dengan kisah kegiatan kolonial (Willem Philippus Coolhaas, A Critical Survey of Studies on Dutch Colonial History, 1960). Dewasa ini bermunculan buah pena sejarawan Barat dengan wajah Indonesia-sentris. Misalnya, John David Legge, Indonesia, edisi ke-3, 1980; Bernhard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century, 1971, serta buku karya M.C. Ricklefs yang kini dibicarakan.

Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs, guru besar sejarah Universitas Monash, Australia, meraih Ph.D. di Universitas Cornell tahun 1973 dengan tesis Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (diterbitkan Oxford University Press, 1974). Semasa mengajar di School of Oriental and African Studies, London, Ricklefs menyusun katalog manuskrip Nusantara bersama Petrus Voorhoeve tahun 1977. Dia menulis buku Modern Javanese Historical Tradition (1977), dan menguraikan islamisasi Jawa dalam buku Nehemia Levtzion (Ed.), Conversion to Islam (1979). Pengetahuannya yang mendalam tentang Indonsia menyebabkan Ricklefs dipercayai Prof. Dr. Daniel George Edward Hall (1891-1979) untuk menyempurnakan buku A History of South-East Asia, edisi ke-4, 1981.

Dalam menulis A History of Modern Indonesia, Ricklefs memakai gaya bercerita (narasi). Uraiannya enak dibaca tanpa diganggu catatan kaki. Isi buku dibagi menjadi enam bagian: The Emergence of the Modern Era (5 Bab), Struggles for Hegemony (4 Bab), The Creation of the Colonial State (3 Bab), The Emergence of the Idea of Indonesia (3 Bab), The Destruction of the Colonial State (2 Bab), dan Independent Indonesia (3 Bab).

Ricklefs mengawali uraiannya dari kedatangan Islam. Di kebanyakan daerah di Indonesia, agama ini disebarkan oleh orang Indonesia sendiri. Perdagangan merupakan unsur penting dalam penyebaran itu. Tak lupa dibahasnya peranan tasawuf. Islam memasuki kehidupan rakyat dengan cara damai. Memang ada juga perang, tapi ditegaskan Ricklefs bahwa hal itu lebih bermotifkan persoalan dinasti, strategi dan ekonomi. Setelah membahas pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, dari Aceh sampai Maluku, pengarang juga menguraikan berbagai aspek budaya, sastra dan tradisi keagamaan.

Kemudian pengarang kontak-kontak pertama bangsa Indonesia dengan Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Meski datang belakangan, pengaruh Belanda cepat menggeser pengaruh Portugis. Sebab utamanya, kata Ricklefs, Portugis gagal membuat tempat berpijak yang permanen di Jawa. Tapi Portugis banyak mempengaruhi jalannya sejarah: perubahan jalur niaga akibat jatuhnya Malaka, dan penyebaran agama Nasrani di bagian timur Indonesia. Musik keroncong merupakan pembastaran musik Portugis. Kata-kata Portugis telah memperkaya bahasa kita: kemeja, saku, pita, beludru, renda, bantal, peniti, sepatu, lemari, pigura, bendera, lentera, jendela, meja, garpu, mentega, keju, terigu, bolu, kaldu, kantin, ronda, armada, serdadu, peluru, meriam, rantai, algojo, mandor, onar, bola, biola, boneka, dadu, gereja, padri, sekolah, bangku, pena, tinta, tempo, minggu, roda, sepeda, kereta, pesiar, pesta, nona, permisi, serutu, lelang, antero, sisa, palsu, tembakau.

Abad ke-17 dan ke-18 merupakan era pertarungan hegemoni antara Belanda dan kerajaan-kerajaan Islam. Bangsa Indonesia ternyata cukup alot, sehingga pembentukan suatu negara kolonial baru dimulai pada abad ke-19! Sampai saat ini anak didik kita di sekolah-sekolah masih disuguhi mitos palsu “350 tahun dijajah Belanda”. Padahal kenyataannya, pada tahun 1800 (awal abad ke-19) Belanda baru berkuasa di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Makassar dan Ambon. Seluruh Jawa baru dikuasai Belanda tahun 1830, akhir Perang Diponegoro.

Pada dasawarsa 1830-1840 Belanda mulai memalingkan perhatian ke daerah luar Jawa. Perkembangan industri di Eropa menyebabkan Belanda mengincar sumber bahan baku mineral dan minyak bumi. Ricklefs merinci perluasan pengaruh dan kekuasaan Belanda di seluruh tanah air kita pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Negara kolonial Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru tercapai pada tahun 1910. Agaknya Ricklefs mengambil tahun itu, sebab pada tahun 1910 Belanda mulai memberlakukan Hukum Kekawulaan Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap) yang menyeragamkan hukum dan aturan di seluruh Hindia Belanda. Lihat: G.J. Resink, Indonesia’s History between the Myths (1968), serta Soedjatmoko, An Approach to Indonesian History towards an Open Future (1960).

Gerakan-gerakan nasional awal abad ke-20, baik yang berdasarkan Islam maupun ‘sekular’, diuraikan cukup mendetail, sebelum Ricklefs membahas masa akhir ‘zaman Belanda’ yang disusul kisah pendudukan Jepang. Sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan dikelompokkannya ke dalam empat periode: revolusi (1945-1949); eksperimen demokrasi (1950-1957); demokrasi terpimpin (1958-1965); Orde Baru (sejak 1966).

Yang menarik, uraian Ricklefs tak hanya berkisar pada masalah politik, melainkan juga ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lain masyarakat Indonesia. Misalnya, dari 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat empat kali, teh hampir sebelas kali. Sejak tahun 1860 minyak bumi ditemukan di Langkat, dan diproduksi mulai tahun 1892. Pada tahun 1901 minyak bumi mulai dieksploitasi di Kalimantan. Tahun 1900 jenis karet Havea brasiliensis diimpor untuk mengimbangi jenis karet asli Ficus elastica yang mulai diusahakan sejak tahun 1864. Pada tahun 1930 Indonesia mensuplai separoh karet dunia.

Indonesia merupakan negara kedua di Asia yang mengenal kereta api sesudah India. Pembangunan rel kereta api pertama pada tahun 1867 sepanjang 25 km di seluruh Indonesia meningkat menjadi 7425 km pada tahun 1930. Areal persawahan meluas 18 kali di tahun 1930 dibandingkan dengan tahun 1885. Populasi rakyat Indonesia 35,7 juta ditahun 1905; 48,3 (1920); 59,1 (1930), lalu meningkat 70 juta tahun 1939; 77,2 (1950); 85,4 (1955); 97,02 (1961) dan 118,4 juta tahun 1971.

Lebih menarik lagi, dalam buku Ricklefs ini tergambar warna Islam yang lebih nyata dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan bahwa era ‘Indonesia modern’ dimulai sejak kedatangan Islam, yang membuat Nusantara menjadi satu kesatuan sejarah yang padu (a coherent historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam menjadi simbol identitas pribumi dan pembangkit daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof.Dr. George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952) serta Prof.Dr. Harry Jundrich Benda (The Crescent and the Rising Sun, 1958). Kebangkitan nasional awal abad ke-20 dipelopori Sarekat Islam yang menggema di seantero kepulauan, bukan oleh Budi Utomo yang hanya terbatas di Jawa saja.

Dengan membaca buku karya Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs ini, semoga kita terstimulasi untuk lebih membenahi penulisan sejarah tanah air kita.***


TEMPO, 1 OKTOBER 1983

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN
Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat
Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman

DAERAH-DAERAH Nusantara dan Asia Tenggara umumnya memiliki kronik sejarah lokal dengan berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makassar), prawatsat (Thai), bangsawatar (Kamboja), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih sahih.

Namun tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan. Jadi babad atau hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta sejarah yang pernah terjadi. Adalah tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya.

Naskah Sajarah Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat, merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara pada Universitas Leiden tahun 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof.Dr.Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV).

Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada pembaca. Padahal generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu bahwa kaum bumiputra mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi kesempatan.

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van Indie (semacam dewan penasehat) di zaman Belanda, serta kepala Shumubu (semacam departemen agama) di zaman Jepang. Dia merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, dia menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan Prof. Hoesein tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda dan uraian tentang Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958.

Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab Pertama diuraikan isi Sajarah Banten. Bab Kedua menganalisis bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab Ketiga mengupas bagian yang berupa legenda. Dalam Bab Keempat Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan sejarah Jawa.

Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.

Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.

Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Banten—bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).

Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.

Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.

Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit?

Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda R.A. Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.

Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.

Terlepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein Djajadiningrat ini layak dibaca oleh mereka yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Hampir setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan yang sejenis dengan Sajarah Banten, yang menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita.***

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home