Megapolitan Jakarta
RABU 30 AGUSTUS 2006:
HATI-HATI DENGAN MEGAPOLITAN !
Oleh
IRFAN ANSHORY
SETELAH cukup lama menghilang dari wacana di media massa, tiba-tiba masalah Megapolitan Jakarta dimunculkan lagi oleh Gubernur DKI Sutiyoso pada Seminar di ITB hari Sabtu 26 Agustus 2006. Sutiyoso mengatakan bahwa konsep megapolitan harus diimplementasikan sebelum Pilkada Gubernur DKI Juni 2007. Dikatakan juga oleh Sutiyoso bahwa Gubernur Jawa Barat sudah menyetujui konsep tersebut (Pikiran Rakyat, Minggu 27 Agustus 2006).
Marilah kita bercermin pada sejarah agar kita tidak "pareumeun obor". Tidak dapat dinafikan bahwa Jakarta sejak zaman purba merupakan bagian dari Tatar Sunda. Namanya juga Sunda Kalapa! Barangkali Sungai Candrabhaga yang diperbaiki salurannya oleh Raja Purnawarman dari Tarumanagara abad ke-5 adalah Ciliwung sekarang, sebab prasasti yang menceritakan hal ini ditemukan di desa Tugu, sebelah timur muara Ciliwung. Sampai abad ke-16, Sunda Kalapa merupakan pelabuhan utama milik Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran.
Pada tahun 1527 Fatahillah, menantu Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, memimpin laskar Demak menghancurkan armada Portugis di pelabuhan Sunda Kalapa, lalu mendirikan kota yang diberi nama Jayakarta (“Kemenangan Nyata”), terjemahan dari "fathan mubinan" dalam Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 1. Peristiwa ini berlangsung tanggal 22 Juni 1527, yang sekarang diperingati sebagai hari lahir Kota Jakarta. Meskipun sudah bernama Jayakarta, penguasa dan rakyatnya tetap urang Sunda yang sudah beragama Islam. Termasyhurlah nama-nama Tubagus Angke dan Pangeran Jayawikarta.
Pada tahun 1619 laskar VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Nama ini eksis selama tiga abad, yang oleh lidah pribumi disebut Betawi, sampai Desember 1942 tatkala pemerintah pendudukan Jepang meresmikan pemakaian kembali nama Jakarta. Ketika Jakarta dikuasai Belanda, kota ini menjadi melting pot berbagai suku di Nusantara, yang berbaur dengan pribumi Sunda, sehingga melahirkan hybrid society suku Betawi.
Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa ibukota Nederlandsch-Indie tidak mungkin dipisahkan dari "Soendalanden". Ketika tahun 1925 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga propinsi (West-Java, Midden-Java, dan Oost-Java), Batavia tetap merupakan bagian dari Provincie West-Java. Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1925 muncul istilah “Jawa Barat” yang belum pernah ada sebelumnya.
Setelah masa kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat tertanggal 4 Juli 1950. Dalam UU ini dinyatakan bahwa Propinsi Jawa Barat meliputi Keresidenan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon, serta beribukota di Bandung. Kemudian dalam UU Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Kabupaten dalam Propinsi Jawa Barat tertanggal 8 Agustus 1950, Jakarta dimasukkan ke Kabupaten Tangerang. Saat itu Jakarta belum mencakup Jatinegara yang merupakan bagian Kabupaten Bekasi.
Data di atas menunjukkan bahwa Propinsi DKI Jakarta sekarang adalah anak kandung Propinsi Jawa Barat. Tiba-tiba kini sang anak mengeluarkan konsep megapolitan yang pada mulanya secara sepihak tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan orang tuanya. Syukurlah sekarang telah terjadi komunikasi dan sharing pemikiran antara Pemprop DKI Jakarta dengan Pemprop Jawa Barat. Undang-Undang tentang Ibukota Negara kini sedang dibahas di DPR. Meskipun Gubernur DKI Sutiyoso menjamin tidak akan ada pencaplokan wilayah, konsep megapolitan atau apa pun istilahnya yang akan diatur melalui suatu undang-undang harus kita waspadai!
Jawa Barat memang laksana "mojang geulis" yang mempunyai daya tarik tinggi bagi banyak pihak. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab. Pertama, posisi geografisnya sangat strategis karena berbatasan dengan ibukota negara. Kedua, tersedianya sumber daya dan prasarana yang sangat memadai. Ketiga, berkembangnya Jawa Barat menjadi daerah industri yang membuka banyak kesempatan kerja. Faktor-faktor ini menjadikan Jawa Barat sebagai daerah tujuan utama migrasi. Data pada tahun 2000 menyatakan bahwa 52% dari migran yang masuk ke Jawa Barat ternyata menuju kawasan Bogor dan Bekasi, 28% menuju Kabupaten dan Kota Bandung, dan 20% sisanya menuju kabupaten dan kota lainnya. Berdasarkan daerah asal, 48% berasal dari DKI Jakarta, 20% dari Jawa Tengah, 15% dari Sumatera, dan 17% dari daerah-daerah lain.
Angka-angka statistik ini menunjukkan bahwa yang membuat Jawa Barat bertambah "heurin" adalah orang-orang dari DKI Jakarta. Kondisi ini berimplikasi terhadap makin meningkatnya penggunaan lahan di Jawa Barat dan makin bertumpuknya berbagai masalah, baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Kenyataannya, banyak terjadi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan kurang mempertimbangkan daya dukung sumber daya alam. Setidak-tidaknya Jawa Barat memperoleh dampak negatif dalam tiga hal: berkurangnya kawasan yang berfungsi lindung, terjadi konversi lahan sawah untuk kegiatan lain, serta kerusakan lingkungan hidup.
Sekarang pun, tanpa konsep megapolitan, Jawa Barat sudah banyak menanggung beban, terus-menerus berkorban menjadi “daerah penyangga ibukota negara”. Industri-industri bertebaran di Jawa Barat, tetapi yang menikmati hasilnya adalah pemerintah pusat. Jawa Barat cuma kebagian pajak bumi dan bangunan yang tidak seberapa, dan yang jelas menanggung dampak negatif berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Itulah sebabnya pada era reformasi ini Propinsi Jawa Barat menegaskan visinya untuk tidak lagi menjadi “daerah penyangga”, melainkan harus menjadi “mitra terdepan ibukota negara”. Visi Jawa Barat ini harus diejawantahkan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan atas dasar kesetaraan antara Propinsi Jawa Barat dan Propinsi DKI Jakarta. Kerjasama tersebut tidak perlu diatur melalui undang-undang dari pemerintah pusat, apalagi judulnya Undang-Undang tentang Ibukota Negara, yang tentu tidak berhak untuk mengatur daerah di luar DKI Jakarta.
Untuk kerjasama antar propinsi, kita sudah mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Barat tertanggal 13 Januari 2003. Selain berfungsi sebagai pedoman bagi kebijakan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendaliannya) di seluruh kabupaten/kota se-Jawa Barat, RTRWP Jawa Barat juga berfungsi sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan dengan propinsi lain yang berdekatan.
Dua dari delapan Kawasan Andalan yang telah kita rumuskan dalam RTRWP memiliki relevansi yang sangat signifikan dalam kerjasama dengan DKI Jakarta, yaitu Kawasan Bogor-Depok-Bekasi (Bodebek) dan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Selain merupakan Kawasan Andalan, Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi kita rencanakan juga sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN), di samping Metropolitan Bandung dan Metropolitan Cirebon. Gubernur DKI Sutiyoso harus membaca dan memahami RTRWP kita, sebelum dia menyusun konsep yang aneh-aneh mengenai megapolitan.
Kenyataan menunjukkan bahwa kota-kota seperti Depok, Bekasi, Bogor, Pondok Gede, Cikarang, dan Cikampek lebih condong berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi yang ada di wilayah DKI Jakarta. Muncul kawasan-kawasan pemukiman yang mengarah pada terbentuknya kota-kota baru seperti Parung, Cileungsi, Cibinong, Tambun, Jonggol, dan Karawang. Kondisi ini menggambarkan kecenderungan makin luasnya cakupan Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi. Kendala jarak sekarang menjadi tidak berarti dengan ketersediaan dan kemudahan sarana dan prasarana transportasi. Ratusan ribu, mungkin jutaan, orang pada siang hari mencari nafkah di Jakarta lalu pada malam hari tidur di Jawa Barat.
Fakta-fakta ini menyebabkan kerjasama Propinsi Jawa Barat dengan Propinsi DKI Jakarta memang mutlak diperlukan. Tetapi sekali lagi, janganlah kita terlena dengan konsep megapolitan dan janji-janji muluk. Kita tidak menolak adanya Undang-Undang tentang Ibukota Negara. Silakan DPR membuatnya, itu memang hak legislasi DPR, cuma pasal-pasal tentang megapolitan harus di-drop atau dihapuskan. Jika konsep megapolitan yang belum jelas itu dipaksakan masuk dalam undang-undang, kita bukannya su’uzhan tetapi bisa saja nanti pasal-pasal megapolitan itu disalahtafsirkan atau dijabarkan menjadi peraturan pemerintah yang belum tentu menguntungkan Propinsi Jawa Barat. Kudu ati-ati, ulah lalawora!
Penulis mantan sekretaris Pansus Perda No.2/2003 tentang RTRWP Jawa Barat.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home