Benarkah di Surga Ada Bidadari?
o l e h
IRFAN ANSHORY
DALAM Kitab Suci Al-Qur’an terdapat keterangan bahwa orang-orang beriman dan beramal kebajikan di surga kelak akan memperoleh "azwaajun muthahharah" (Al-Baqarah 25; Alu Imran 15; An-Nisa’ 57) atau "huurun `iin" (Ad-Dukhan 54; Ath-Thur 20; Al-Waqi`ah 22). Barangkali karena kebanyakan penafsir kita laki-laki, maka dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Indonesia "azwaajun muthahharah" sering diterjemahkan “istri-istri yang suci”. Mungkin karena terpengaruh dongeng nenek moyang bahwa Arjuna pernah menikah di swargaloka dengan bidadari atau Jaka Tarub mencuri selendang bidadari kayangan yang turun mandi, maka banyak penafsir Al-Qur’an yang menerjemahkan "huurun `iin" menjadi “bidadari”, termasuk ahli-ahli tafsir Al-Qur’an dan Terjemahnya dari Departemen Agama Republik Indonesia.
Terjemahan yang berbau diskriminasi gender ini perlu segera mengalami reformasi, sebab dalam bahasa Arab istilah "azwaaj" (plural dari "zawj") tidak selalu harus berarti “istri”, melainkan dapat juga berarti “suami” atau “pasangan” atau “kelompok”, tergantung dari konteks masalahnya. Ada 70 ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata "zawj" atau "azwaaj" dengan segala derivasinya. Pada 41 ayat istilah itu berarti “pasangan”, pada 22 ayat berarti “istri”, pada 3 ayat berarti “suami”, dan pada 4 ayat berarti “kelompok”.
Kata "zawj" atau derivasinya harus kita terjemahkan “pasangan” dalam Al-Baqarah 25, 102; Alu Imran 15; An-Nisa’ 1, 57; Al-An`am 143; At-Taubah 24, Hud 40; Ar-Ra`d 3, 23; An-Nahl 72; Thaha 53; Al-Hajj 5; Al-Mu’minun 6, 27; An-Nur 6; Al-Furqan 74; Asy-Syu`ara’ 7; Ar-Rum 21; Luqman 10; Fathir 11; Yasin 36, 56; Ash-Shaffat 22; Az-Zumar 6; Al-Mu’min 8; Asy-Syura 11, 50; Az-Zukhruf 12, 70; Ad-Dukhan 54; Qaf 7; Adz-Dzariyat 49; Ath-Thur 20; An-Najm 45; Ar-Rahman 52; At-Taghabun 14; Al-Ma`arij 30; Al-Qiyamah 39; An-Naba’ 8, dan At-Takwir 7. Dalam ayat-ayat di atas, kata "zawj" atau derivasinya berarti pasangan suami-istri atau pasangan yang tidak ada hubungannya dengan manusia.
Kata "zawj" atau derivasinya kita terjemahkan “istri” hanya dalam Al-Baqarah 35, 234, 240; An-Nisa’ 12, 20; Al-An`am 139; Al-A`raf 19; Ar-Ra`d 38; Thaha 117; Al-Anbiya’ 90; Asy-Syu`ara’ 166; Al-Ahzab 4, 6, 28, 37, 50, 53, 59; Al-Mumtahanah 11, dan At-Tahrim 1, 3, 5. Ada tiga ayat di mana "zawj" atau derivasinya justru harus kita terjemahkan “suami”, yaitu Al-Baqarah 230, 232, dan Al-Mujadilah 1. Akhirnya, ada empat ayat yang menggunakan "zawj" atau derivasinya dalam arti “kelompok atau jenis” yang tidak ada hubungannya dengan gender, yaitu Al-Hijr 88, Thaha 131, Shad 58, dan Al-Waqi`ah 7.
Adapun kata "huur", yang sering diterjemahkan sebagai “bidadari”, berasal dari tiga huruf dasar ha-waw-ra yang berarti “teman setia”. Istilah ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, dan sama sekali tidak merujuk kepada gender tertentu, apalagi dengan konsep “bidadari” yang berasal dari pemikiran pra-Islam. Dari akar kata ha-waw-ra, muncul "huur", "hawariy" atau "huwaar", yang semuanya berarti “teman setia”, mungkin laki-laki dan mungkin juga perempuan. Teman-teman setia Nabi Isa Al-Masih a.s. disebut para hawariy (hawariyyuun) dalam Alu Imran 52, Al-Ma’idah 112 dan Ash-Shaff 14. Para hawariy ini berjumlah 12 orang dan semuanya laki-laki, tidak seorang pun yang perempuan! Derivasi lain dari akar kata ha-waw-ra adalah "yuhaawiru" (“bercakap dengan teman”) pada Al-Kahf 34, serta "tahaawura" (“berdiskusi dengan teman”) pada Al-Mujadilah 1. Jelas sekali bahwa sangat gegabah menerjemahkan huur menjadi “bidadari”, seolah-olah surga itu hanya untuk laki-laki!
Oleh karena menurut An-Nisa’ 124, An-Nahl 97 dan Al-Mu’min 40, kenikmatan surga akan diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman dan beramal kebajikan, maka "azwaajun muthahharah" dalam Al-Baqarah 25, Alu Imran 15 dan An-Nisa’ 57 harus kita terjemahkan “pasangan-pasangan yang suci”, dan sama sekali bukan “istri-istri yang suci”. Terjemahan dari "wa zawwajnaahum bi huurin `iin" dalam Ad-Dukhan 54 dan Ath-Thur 20 bukanlah “Dan Kami berikan kepada mereka bidadari” seperti dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya dari Departemen Agama, melainkan “Dan Kami pasangkan mereka dengan teman setia.”
Kemudian perlu kita hayati bahwa segala kenikmatan surga yang diuraikan Allah SWT dalam Al-Qur’an jangan kita fahami secara harfiah, sehingga kita menyamakannya dengan berbagai kenikmatan yang kita alami di dunia fana sekarang. Dan sudah tentu sangat naif jika azwaaj (“pasangan-pasangan”) atau huur (“teman setia”) dibayangkan sebagai sesuatu yang sensual dan dihubung-hubungkan dengan birahi duniawi. Kenikmatan surga merupakan sesuatu yang ghaib. Tidak ada lagi nafsu birahi duniawi di akhirat nanti! Kita hanya wajib mengimani adanya kenikmatan surga itu sebagai ganjaran dari iman dan amal kebajikan manusia, tanpa harus memikirkan wujud dan bentuknya.
Istilah yang banyak dipakai dalam Al-Qur’an untuk menyebutkan “surga” adalah "jannah" (pluralnya "jannaat"), yang secara harfiah berarti “taman” dan disebutkan 135 kali. Ada 11 ayat yang menyebutkan "jannaatu `adn" (dalam bahasa Inggris: "Gardens of Eden") atau “Taman Kebahagiaan”, yaitu At-Taubah 72, Ar-Ra`d 23, An-Nahl 31, Al-Kahf 31, Maryam 61, Thaha 76, Fathir 33, Shad 50, Al-Mu’min 8, Ash-Shaff 12, dan Al-Bayyinah 8. Juga istilah "firdaus" (diinggriskan menjadi "paradise") dipakai dua kali, yaitu dalam Al-Kahf 107 dan Al-Mu’minun 11. Hakikat kenikmatan jannah atau firdaus yang sesungguhnya tentu tidak dapat dijangkau oleh bahasa manusia.
Berbagai deskripsi Allah SWT dalam Al-Qur’an tentang kenikmatan surga berupa pasangan atau teman setia, buah-buahan dan minuman lezat, emas dan sutera, divan dan permadani, piala dan gelas kristal, naungan dan kesejukan, susu dan madu, dan sebagainya, semuanya itu hanyalah perumpamaan (matsal, parable), sebagaimana ditegaskan dalam Ar-Ra`d 35 dan Muhammad 15. Firman Allah SWT dalam Ar-Ra`d 35: “Perumpamaan surga yang dijanjikan bagi orang-orang taqwa adalah mengalir dari bawahnya sungai-sungai. Buah-buahannya terus-menerus, begitu pula naungannya”.
“Sungai-sungai mengalir” adalah ungkapan karunia Allah yang tiada putus-putusnya, sedangkan “buah-buahan” merupakan ungkapan dari kenikmatan hakiki. Para penghuni surga akan berada di bawah “naungan” (zhill atau pluralnya zhilaal) berupa perlindungan Ilahi, dan sama sekali bukanlah naungan dari terik matahari, sebab di surga tidak ada matahari! “Tidaklah mereka merasakan di dalamnya matahari dan tidak pula dingin mencekam”, demikian firman Allah dalam Al-Insan 13. Segala perumpamaan dalam Al-Qur’an bertujuan agar kita dapat membayangkan kenikmatan surga menurut kemampuan kita, padahal sesungguhnya jauh lebih indah dari segala perumpamaan itu.
Yang perlu kita perhatikan adalah firman Allah SWT dalam At-Taubah 72: “Dan Allah menjanjikan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan taman-taman surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan tempat-tempat kediaman yang indah di Taman Eden. Dan keridhaan dari Allah lebih besar! Itulah kemenangan yang agung”. Meskipun kenikmatan surga tidaklah terperi besarnya, ternyata ada kenikmatan yang lebih besar dari surga, yaitu keridhaan Allah. Seharusnya kita berbuat kebajikan di dunia ini bukanlah untuk mengharapkan surga semata-mata, apalagi untuk mencari muka atau balas jasa dari sesama manusia. Orientasi aktivitas orang-orang beriman adalah mardhaatil-Laah (keridhaan Ilahi), sebagaimana tercantum dalam Al-Baqarah 207. Hubungan mereka dengan Allah sudah menginjak hubungan cinta (hubb) yang dinyatakan dalam Al-Ma’idah 54: yuhibbuhum wa yuhibbuunah (“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai Dia”).
Mereka inilah orang-orang taqwa yang sejati, yang karakteristiknya dijelaskan oleh Al-Lail 18-21: “orang yang memberikan apa yang ada padanya untuk membersihkan diri, dan tidak seorang pun di sekitarnya yang dia harapkan nikmat balas-budi, melainkan semata-mata mencari Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi, dan kelak benar-benar Dia meridhai”. Mudah-mudahan kita tergolong ke dalam kelompok ini, yang pada Hari Perhitungan (yaum al-hisab) kelak akan diseru oleh Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Al-Fajr 27-30 dalam kalimat indah yang memakai kata-kata berstruktur feminin: “Wahai pribadi yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam kelompok para hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”.***
11 Comments:
terimakasih, tulisan anda mencerahkan saya, memberikan jawaban atas sedikit kegelisahan saya tentang 'para bidadari'ini ...
yakin usaha sampai ya pak !
Subhanallah Walhamdulillah,,Insya Allah catatn singkat bapak mampu menambah wawasan keIslam-an umat manusia..
This comment has been removed by the author.
Pembahasan yang mencerahkan...
Kunjungi...
BIDADARI, sebagai pilihan LINGKUNGAN SOSIAL ?
http://kanzunqalam.wordpress.com/2012/08/29/bidadari-sebagai-pilihan-lingkungan-sosial
Waallahualam. . .
Ijin share gan. . . :)
Terima Kasih. Saya tambah yakin bahwa Islamlah agama yang tidak diragukan kebenarannya. Alhamdulillah
This comment has been removed by the author.
Abdi sangat setuju dengan pernyataan ini...saya yakin Allah maha adil yg ini lah yang menyatakan keadilan Allah
Tafsir yang cerdas.
Harusnya banyak ahli tafsir seperti bapak. Terima kasih banyak pak. Saya tulus berterima kasih
Al Quran menggambarkan bidadari itu perawan cantik dan bermata jeli. Jelas itu jenis perempuan.
Tapi saya yakin syahwat libido sdh tdk ada di Syurga. Hanya ada di dunia fana agar manusia berkembang biak.
Kenikmatan syahwat libido ini diganti Allah dalam bentuk lain yg nikmatnya ribuan kali lipat.
Jadi bidadari ini melayani ahli Syurga baik laki atau perempuan tapi bukan urusan sex. Itulah sebabnya tdk ada bidadara...🙏
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home