Modernisme Islam di Indonesia
TAHUN KE-87 No.8, 16-30 APRIL 2002:
MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
o l e h
DRS. H. IRFAN ANSHORY
DALAM AL-QUR’AN terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih). Janji Allah di atas terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama empat belas abad diwarnai oleh kisah ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang. Meskipun pusat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan agama ini di Rusia, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul (Mongol) di India dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol pada akhir abad ke-15, muncul kesultanan Turki yang menguasai seluruh Semenanjung Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup pada abad ke-17, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan pantai timur Afrika.
Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tokoh semacam Ibn Taimiyyah ini dalam terminologi umat Islam disebut "mujaddid" (pembaharu, reformis), dan gerakan atau pemikiran yang dicanangkannya dinamakan "tajdid" (pembaharuan, reformasi). Istilah-istilah tersebut dijabarkan dari sebuah hadits yang memberitakan isyarat Nabi Muhammad SAW bahwa akan muncul orang-orang yang memperbaharui (yujaddidu) agama Islam “pada setiap pangkal seratus tahun” (`alaa kulli ra’si mi’ati sanah). Nama Ibn Taimiyyah sengaja kita sebutkan karena hampir semua tokoh pembaharu yang datang belakangan mengaku sebagai penerus gagasan Ibn Taimiyyah.
Gelombang reformasi atau tajdid yang berdampak luas ke segenap penjuru Dunia Islam, dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, mulai berlangsung pada abad ke-18, tatkala umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran, akibat tertutupnya pintu ijtihad oleh institusi-institusi keagamaan yang sudah mapan. Maka bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad ibn Abdul-Wahhab (1703–1792) di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703–1762) di India, dan Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara. Sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah lima abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 itu memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan “kebekuan internal” yaitu memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas hal-hal yang dianggap bid`ah. Adapun masalah “ancaman eksternal” tidaklah menjadi fokus pemikiran, sebab sebagian besar Dunia Islam belum tersentuh oleh hegemoni kelompok non-Muslim. Meskipun sejak abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa Barat sudah berdatangan sebagai pedagang, penyebar Injil atau prajurit (gold, gospel, glory atau mercenary, missionary, military), kehadiran mereka sampai akhir abad ke-18 tidaklah menggoyahkan tatanan peradaban umat Islam.
Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.
Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.
Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.
Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka) mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-Qur’an itu tidak lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.
Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijuluki kelompok modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernisme Islam.
Awal Modernisme Islam
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Singapura
Pembukaan Terusan Suez tahun 1869 menyebabkan rute pelayaran antara Eropa dan Asia Tenggara tidak lagi melalui ujung selatan Afrika melainkan beralih melalui Laut Merah. Akibatnya, kaum Muslimin di Asia Tenggara makin mudah menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Jeddah. Jika pada tahun 1850-an jemaah haji Indonesia rata-rata cuma 1600 orang per tahun, maka jumlah ini menjadi tiga kali lipat pada dasawarsa 1880-an, lalu meningkat menjadi lebih dari 7000 jemaah per tahun pada awal abad ke-20. Selama berada di tanah suci banyak jemaah haji yang berkenalan dan mempelajari gagasan modernisasi Islam, kemudian membawanya pulang untuk disebarkan di kampung halaman.
Sebagian besar jemaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci melalui Singapura, kota pelabuhan yang didirikan Thomas Stamford Raffles tahun 1819. Selain karena di Singapura jumlah kapal ke Jeddah lebih banyak dan ongkosnya lebih murah, banyak calon haji yang menetap dahulu di Singapura untuk bekerja mencukupkan biaya ke tanah suci. Memang tidak semuanya berhasil, sehingga timbul sebutan “Haji Singapura” bagi orang-orang yang gagal pergi ke Makkah. Faktor lain yang menyebabkan calon haji Indonesia pergi dari Singapura adalah karena pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat membatasi hubungan umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah.
Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Timur Tengah sangat berperan dalam membangkitkan perlawanan ulama-ulama Islam terhadap kolonial Belanda sepanjang abad ke-19. Perang Paderi (1821–1837) di Minangkabau timbul setelah para haji pulang dari Makkah dengan membawa ide pembaharuan Wahhabi. Pengaruh Turki sangat jelas pada Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dalam mengobarkan Perang Jawa (1825–1830). Pemberontakan rakyat Cilegon tahun 1888 dipimpin oleh para haji. Dan yang paling berat dihadapi Belanda adalah Perang Aceh (1873–1904) yang sangat diwarnai semangat keislaman melawan kaum kafir. Semua ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memperketat persyaratan haji, sehingga para calon haji banyak memilih Singapura sebagai tempat transit.
Pada awal abad ke-20 Singapura menjadi pusat jaringan komunikasi gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara. Meskipun kaum Muslimin di kota metropolitan itu hanya seperlima jumlah penduduk (mayoritas penduduknya adalah Tionghoa), suasana urban dengan segala fasilitasnya, terutama penerbitan buku-buku dan media massa, sangat menunjang tersebarnya faham modernisme Islam yang dicanangkan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Apalagi kaum Muslimin di Singapura itu merupakan perpaduan berbagai etnis dari Sumatera, Semenanjung, Jawa, Bugis, Hindustan, dan Hadramaut. Dari Singapura ide-ide pembaharuan Islam tersebar baik melalui para haji yang singgah maupun melalui buku dan majalah yang diterbitkan di kota itu.
Minangkabau
Dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Indonesia, tidaklah dapat diabaikan peranan orang-orang Minangkabau. Di samping karena Minangkabau telah mengenal ide pembaharuan Islam sejak masa Perang Paderi, suku Minangkabau memiliki watak seperti suku Quraisy, yaitu senang mengembara (rihlata sy-syitaa’i wa sh-shaif), sehingga mereka terbiasa mengadakan kontak dengan dunia luar dan terbuka kepada ide-ide baru.
Menjelang akhir abad ke-19, seorang putra Minangkabau menjadi imam Masjid al-Haram di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Jawi al-Minankabawi (1840–1916). Dia banyak mempunyai murid yang datang dari tanah air, antara lain Ahmad Dahlan (1868–1923) yang kelak mendirikan Muhammadiyah serta Hasyim Asy`ari (1871–1947) yang kelak mendirikan Nahdlatul-`Ulama’.
Meskipun memegang teguh mazhab Syafi`i, Syaikh Ahmad Khatib tidaklah melarang para muridnya mempelajari ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin, Abduh, dan Rasyid Ridha. Salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib adalah sepupunya, Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869–1957), yang pada tahun 1893 sampai 1897 kuliah di Universitas Al-Azhar di Kairo dan menjadi sahabat akrab Rasyid Ridha. Ketika Rasyid Ridha menerbitkan Al-Manar tahun 1898, dia ikut menyumbangkan artikelnya. Syaikh Tahir pulang ke tanah air tahun 1899 dengan tekad menerbitkan majalah seperti Al-Manar di kawasan Asia Tenggara, agar gagasan modernisasi Islam lebih cepat tersiar di kalangan masyarakat.
Maka pada bulan Juli 1906 di Singapura terbitlah majalah bulanan berbahasa Melayu dengan nama Al-Imam: Majalah Pelajaran Pengetahuan Perkhabaran. Dengan Syaikh Tahir Jalaluddin sebagai pemimpin redaksi, majalah itu memuat artikel-artikel yang mengajak umat Islam untuk membuka pintu ijtihad dan mempelajari ilmu-ilmu modern, serta terjemahan artikel-artikel dari majalah Al-Manar. Majalah ini terbit sebanyak 31 nomor dan berhenti tahun 1909 lantaran kehabisan dana. Gagasan modernisasi Islam yang disebarkan Al-Imam ternyata lebih bergaung di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, daripada di Malaysia. Hal ini disebabkan pengaruh para sultan dan mufti kerajaan sangat kuat di Malaysia, sehingga ide-ide pembaharuan yang dianggap menggoyahkan kedudukan mereka sulit untuk tersebar.
Sementara itu beberapa orang murid Syaikh Ahmad Khatib di tanah suci pulang ke Minangkabau, yaitu Muhammad Jamil Jambek (1860–1947), Muhammad Thaib Umar (1874–1920), Abdullah Ahmad (1878–1933), dan Abdulkarim Amrullah (1879–1945). Setelah majalah Al-Imam berhenti terbit, timbul niat di kalangan mereka berempat untuk menerbitkan majalah semacam itu di Minangkabau. Maka pada tanggal 1 April 1911 terbit majalah Al-Munir di Padang, dengan Abdullah Ahmad sebagai pemimpin redaksi. Inilah majalah modernisasi Islam yang pertama di Indonesia. Sebingkai sya’ir yang ditulis Muhammad Thaib Umar dalam Al-Munir mencerminkan tujuan majalah ini: "Satu dua tiga dan empat, hendaklah pelajari segera cepat, membaca buku supaya sempat, ilmu pengetahuan banyak didapat. Jangan seperti orang tua kita, menuntut ilmu hanya suatu mata, fiqh saja yang lebih dicinta, kepada yang lain matanya buta".
Selama lima tahun usianya majalah Al-Munir beredar di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Artikel-artikel majalah ini mengeritik praktek-praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta menganjurkan umat Islam menata metode dan sarana pendidikan. Tidaklah mengherankan jika daerah Minangkabau mempelopori sekolah-sekolah agama yang menerapkan sistem kurikulum modern. Pada tahun 1909 Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah di Padang, lalu Abdulkarim Amrullah mendirikan Surau Jembatan Besi tahun 1914 di Padang Panjang. Setahun kemudian Padang Panjang juga memiliki Sekolah Diniyah Putri yang didirikan oleh Zainuddin Labai (1890–1924) dan adiknya, Rahmah al-Yunusiyah (1900–1969). Kemudian Surau Jembatan Besi bergabung dengan Surau Parabek, yang didirikan tahun 1908 oleh Ibrahim Musa (1882–1963), menghasilkan sekolah Sumatera Thawalib tahun 1918.
Masyarakat Arab
Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911.
Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.
Muhammadiyah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
Pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi, yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi.
Maka pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti “penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah! Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal. Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah: (1) memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta (2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menetapkan garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da`wah, sosial, dan pendidikan. Dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” serta “siapa menanam dia mengetam”, Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak; penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan; shalat hari raya di lapangan; pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban kepada fakir miskin; pemberian khutbah dalam bahasa yang difahami jemaah; pelaksanaan shalat Jum`at dan tarawih yang sesuai dengan cara Nabi; penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah; serta masih banyak lagi usaha-usaha Muhammadiyah yang mengembalikan umat Islam kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932.
Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Demikianlah akhirnya Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara, sehingga dalam Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang bulan Juni 1933 dengan bangga Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) melaporkan bahwa “Moehammadijah-lah persjarikatan jang pertama-tama banjak tjabang dan groepnja, tersiar moelai dari Sabang sampai Merauke dan dari Teloekbetoeng sampai Manado dan Ternate”.
Muhammadiyah merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis “ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah “meniru Belanda” terpaksa didirikan orang juga. Kepanduan yang dahulu dianggap “tasyabbuh” (menyerupai orang kafir) di mana-mana telah tumbuh. Golongan-golongan yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali meniru jejak Muhammadiyah.
Sejak mulai berdiri Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. “Tidak mencampuri politik”, itulah politiknya! Ia semata-mata gerakan da`wah. Akan tetapi tidaklah dapat dinafikan pengaruh Muhammadiyah dalam perjuangan bangsa. Sebagai satu-satunya organisasi di zaman kolonial yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, maka kongres-kongres Muhammadiyah yang berlangsung setiap tahun sangat berperan dalam membina persatuan nasional. Apalagi bahasa Melayu selalu digunakan dalam kongres-kongres tersebut, meskipun bahasa Melayu saat itu belum dikukuhkan sebagai Bahasa Indonesia. Perjuangan di bidang politik banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah sebagai organisasi tidak berpolitik praktis. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Republik Indonesia lahir tahun 1945 jabatan-jabatan strategis di negara ini dipegang oleh “orang Muhammadiyah”, yaitu Presiden Sukarno, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, serta Menteri Agama Muhammad Rasyidi. Beberapa tokoh Muhammadiyah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan, Nyi Haji Siti Walidah Ahmad Dahlan, Kyai Haji Fachruddin, dan Kyai Haji Mas Mansur.
Persatuan Islam
Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat “cabe rawit”: kecil tetapi pedas! Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai” (wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi “tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-jama`ah).
Tokoh Persatuan Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887–1958). Lahir dan besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Dia banyak menulis artikel mengenai keharusan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah ke Surabaya, daerah asal ibunya. Di sini dia menjadi akrab dengan Ahmad Surkati. Kemudian pada tahun 1925 Ahmad Hassan pindah ke Bandung, menjadi anggota Persatuan Islam tahun 1926, dan segera menjadi tokoh yang mewarnai corak dan gaya organisasi itu, yaitu keras, konsisten, dan tidak mengenal kompromi.
Ahmad Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis di Indonesia, terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri buku Soe’al Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 1940 Ahmad Hassan pindah ke Bangil sampai ia wafat tahun 1958, meskipun pusat Persatuan Islam tetap di Bandung. Ahmad Hassan banyak meninggalkan karya berupa buku-buku yang sampai kini terus dicetak ulang, misalnya Tafsir Al-Furqan, Pengajaran Shalat dan terjemahan Bulughul-Maram. Murid-murid Ahmad Hassan tersebar di mana-mana. Salah seorang muridnya yang cemerlang adalah Mohammad Natsir (1908–1993), siswa AMS di Bandung yang menjadi aktivis Persatuan Islam, dan kelak menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia serta tokoh yang terkenal di Dunia Islam. Bahkan Bung Karno pun mengaku sebagai murid Ahmad Hassan, sebagaimana tertulis pada “Surat-surat Islam dari Ende” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam masalah tasawuf. Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
Fa aina tadzhabun ?
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama yang selama ini dianggap baku.
Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.
Nasrun mina l-laah wa fat-hun qariib.
PENULIS adalah Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat 1981-1985; Ketua PP Pemuda Muhammadiyah 1985-1989; Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat 1990-1995; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat serta anggota Tanwir PP Muhammadiyah 1995-2000. Tahun 1999-2004 berkiprah di bidang politik sebagai anggota DPRD Jawa Barat dari PAN, dan sekarang kembali lagi aktif di Muhammadiyah sebagai anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Barat dan anggota Majelis Pembinaan Kader PDM Kota Bandung.
1 Comments:
Informasi yang sangat mahal dan berkualitas semoga bermanfaat bagi umat. Jazakumullah ustadz..
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home