Kalender Masehi
o l e h
IRFAN ANSHORY
DENGAN tidak terasa kita memasuki tahun 2008 Masehi, meskipun tidaklah salah jika ada yang mengatakan bahwa sekarang (1 Januari 2008) adalah tahun 1386 (Persia), 1428 (Hijriyah), 1929 (Saka), 1940 (Jawa), 1944 (Sunda), 2551 (Buddha), 2558 (Imlek), 2668 (Jepang), atau 5768 (Yahudi).
Jenis-jenis Kalender
Ada tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia. Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari), yang satu tahunnya adalah lamanya bumi mengelilingi matahari: 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik atau 365,2422 hari. Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), yang satu tahunnya adalah dua belas kali lamanya bulan mengelilingi bumi: 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari = 1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik atau 354,3672 hari. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari.
Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan kalender solar, sedangkan kalender Hijriyah, Jawa dan Sunda merupakan kalender lunar. Adapun contoh kalender lunisolar adalah kalender Imlek, Saka, Buddha, dan Yahudi. Semua kalender tidak ada yang sempurna, sebab jumlah hari dalam setahun tidak bulat. Untuk memperkecil kesalahan, harus ada tahun-tahun tertentu menurut perjanjian yang dibuat sehari lebih panjang (tahun kabisat atau leap year).
Pada kalender solar pergantian hari berlangsung tengah malam (midnight) dan awal setiap bulan (tanggal satu) tidak tergantung pada posisi bulan. Adapun pada kalender lunar dan lunisolar pergantian hari terjadi ketika matahari terbenam (sunset) dan awal setiap bulan adalah saat konjungsi (Imlek, Saka, dan Buddha) atau saat munculnya hilal (Hijriyah, Jawa, dan Yahudi).
Kalender Romawi
Kalender Masehi pada hakikatnya adalah kalender Romawi yang bermula sejak pendirian kota Roma, tujuh setengah abad sebelum Nabi Isa al-Masih a.s. dilahirkan. Ketika Romulus dan Remus mendirikan kota Roma tahun 753 SM menurut hitungan kita sekarang, mereka membuat kalender lunisolar. Awal tahun adalah awal musim semi, dan tahun pembangunan Roma ditetapkan sebagai tahun 1 AUC (ab urbi condita = “sejak kota dibangun”).
Nama-nama bulan adalah Martius (Mars, dewa perang), Aprilus (Aprilia, dewi cinta), Maius (Maya, dewi kesuburan), Junis (Juno, istri dewa Jupiter), Quintilis (bulan ke-5), Sextilis (bulan ke-6), September (bulan ke-7), October (bulan ke-8), November (bulan ke-9), December (bulan ke-10), Januari (Janus, dewa penjaga gerbang langit), dan Februari (Februalia, dewi kesucian). Masing-masing bulan 30 hari, kecuali Februari sebagai bulan terakhir hanya 24 atau 25 hari, sehingga jumlah setahun 354 atau 355 hari. Agar tahun baru tanggal 1 Martius tetap jatuh pada awal musim semi, setiap tiga tahun disisipkan bulan interkalasi, Mercedonius, setelah Februari.
Pada tahun 708 AUC (tahun 46 SM, kata kita sekarang), kalender lunisolar Romawi berubah menjadi kalender solar yang ditiru dari bangsa Mesir. Masyarakat Mesir purba menyembah dewa matahari dan kehidupan mereka sangat tergantung pada pasang dan surut Sungai Nil, sehingga mereka sejak tahun 4236 SM membuat kalender solar untuk menandai musim banjir, musim tanam dan musim panen. Penguasa Romawi saat itu, Julius Caesar, bobogohan dengan Cleopatra ratu Mesir. Untuk mengambil hati kekasihnya, Julius Caesar mengubah kalendernya menjadi kalender solar. Aneh tapi nyata: kalender berubah gara-gara cinta!
Dengan bantuan Sosigenes, seorang ahli astronomi Yunani di Iskandariah, awal tahun Romawi serta jumlah hari dalam setiap bulan disesuaikan dengan kalender Mesir. Tahun baru digeser dari Martius (Maret) menjadi Januari. Akibatnya, September yang artinya “bulan ke-7” (septem = tujuh) menjadi bulan ke-9. Nama bulan Quintilis diganti bulan Julius, diambil dari namanya sendiri. Banyaknya hari dalam sebulan: Januari 31, Februari 28 atau 29, Martius 31, Aprilus 30, Maius 31, Junis 30, Julius 31, Sextilis 31, September 30, October 31, November 30, dan December 31.
Tahun 708 AUC itu ditetapkan oleh Julius Caesar menjadi tahun 1 Julian. Oleh karena merupakan tahun transisi dari sistem lunar ke sistem solar, tahun itu ditambah 90 hari: 67 hari diletakkan antara November dan December, dan 23 hari sesudah Februari. Jadi tahun 1 Julian berjumlah 445 hari, dan sering dijuluki annus confusionis (“tahun campur-aduk”).
Kaisar Romawi berikutnya, Octavianus Augustus, ingin juga mengabadikan namanya dalam kalender. Namanya, Augustus, dipakai mengganti nama bulan Sextilis. Untunglah kaisar-kaisar selanjutnya tidak memiliki keinginan serupa, sehingga nama-nama bulan tidak lagi mengalami perubahan.
Tahun Masehi (Anno Domini)
Setelah orang-orang Romawi memeluk agama Nasrani, kalender Julian tetap digunakan, bahkan makin meluas pemakaiannya di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Pada tahun 572 Julian, seorang pejabat tinggi kepausan di Roma, Dionisius Exiguus, menetapkan perhitungan tahun Anno Domini (“Tahun Tuhan”). Berdasarkan perkiraan Dionisius bahwa Nabi Isa al-Masih a.s. lahir pada tahun 47 Julian, maka tahun 47 Julian ditetapkan sebagai tahun 1 Anno Domini (AD), dan angka tahun 572 Julian diganti dengan memundurkannya menjadi 526 AD. Jadi sejak tahun 526 berlakulah hitungan tahun Anno Domini (AD) yang berlangsung sampai sekarang. Kita di Indonesia menyebutnya tahun Masehi (M).
Kalender Masehi atau kalender Julian memakai patokan 365,25 hari (365 hari 6 jam) setahun dengan kabisat empat tahun sekali, yaitu yang angka tahunnya habis dibagi empat. Patokan ini berlebih 11 menit 14 detik (0,0078 hari) dari yang seharusnya. Akibatnya terjadi kesalahan satu hari dalam setiap 128 tahun, atau tiga hari dalam 400 tahun. Pada tahun 1582 kesalahan kalender mencapai sepuluh hari. Saat matahari melintasi khatulistiwa atau awal musim semi (vernal equinox) jatuh pada 11 Maret, padahal seharusnya 21 Maret.
Maka Paus Gregorius XIII membentuk komisi yang dipimpin Christophorus Clavius dan bertugas mengoreksi kalender berdasarkan naskah Novae Restituendi Calendarium dari Luigi Giglio (dilatinkan: Aloysius Lilius), ahli astronomi dari Universitas Perugia. Hasil revisi komisi itu disahkan Paus Gregorius XIII melalui keputusan yang berjudul Calendarium Gregorianum. Hari Santo Francis tanggal 4 Oktober 1582 merupakan hari terakhir kalender Julian. Selanjutnya angka tanggal dilompatkan sepuluh: Kamis 4 Oktober 1582 harus diikuti oleh Jum’at 15 Oktober 1582.
Untuk memperkecil kesalahan pada masa mendatang, tiga dari empat sentesimal (tahun peralihan abad) yang selalu kabisat dibuat sebagai tahun biasa. Jadi 1600 kabisat; 1700, 1800 dan 1900 tahun biasa; 2000 kabisat lagi, dan seterusnya. Sistem Gregorian ini ternyata cukup akurat, hanya berlebih 0,0003 hari per tahun. Untuk mencapai kesalahan satu hari diperlukan waktu 3333 tahun. Jadi, kalender Gregorian baru perlu dikoreksi pada awal abad ke-50!
Pada mulanya yang mengikuti keputusan Paus untuk mengubah kalender sudah tentu hanyalah negara-negara Eropa yang mayoritas Katolik. Hal ini pun menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat awam. Banyak orang yang ketakutan kalau-kalau usianya berkurang sepuluh hari, dan para pekerja menuntut upah bagi sepuluh hari yang dianggap hilang. Adapun negara-negara Protestan, Anglikan dan Ortodoks tetap memakai kalender Julian. Mereka mencurigai jangan-jangan keputusan Paus itu hanya taktik untuk mengembalikan otoritas Katolik Roma di bidang agama. Apalagi Paus Gregorius XIII sangat dibenci kaum Protestan, sebab memprakarsai pembunuhan massal orang Protestan pada Hari Santo Bartholemeus di Paris tahun 1572.
Menjelang akhir abad ke-17, tahun 1698, seorang ilmuwan Jerman yang berwibawa saat itu, Prof. Dr. Erhard Weigel, berkirim surat kepada raja-raja Eropa yang beragama Protestan agar menerima kalender Gregorian. Weigel menegaskan bahwa pemakaian kalender itu tidaklah berarti tunduk kepada Paus. Ini masalah ketepatan peredaran benda langit, kata Weigel, bukan masalah agama.
Maka pada awal abad ke-18 negara-negara Protestan menerima kalender Gregorian. Inggris negara Anglikan mengikuti pada tahun 1752, dengan menyatakan tanggal 2 September 1752 langsung disusul oleh 14 September 1752. Hal ini juga berlaku untuk seluruh jajahan Inggris, termasuk Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada sekarang) yang saat itu belum merdeka. Akibatnya, George Washington, yang nantinya menjadi presiden pertama Amerika Serikat, terpaksa mengubah tanggal lahirnya dari 11 Februari 1732 menjadi 22 Februari 1732.
Negara-negara Eropa Timur yang menganut Kristen Ortodoks baru menerima kalender Gregorian sesudah Perang Dunia Kesatu berakhir. Rusia memberlakukannya tahun 1918 dengan menyatakan bahwa 31 Januari langsung disusul 13 Februari. Hari penghapusan kekaisaran Rusia yang berlangsung tanggal 7 November 1917 (menurut kalender Gregorian) sampai sekarang masih disebut “Revolusi Oktober”, sebab hari itu di Rusia masih berlaku kalender Julian tanggal 25 Oktober. Negara Eropa terakhir yang menerima kalender Gregorian adalah Yunani tahun 1923.
Akan tetapi kalender Julian tetap digunakan oleh Gereja Ortodoks khusus untuk menentukan Hari Natal. Sampai sekarang mereka merayakan Natal pada tanggal 7 Januari (25 Desember menurut kalender Julian), dua minggu lebih lambat daripada umat Kristen lainnya.
Di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, penyebaran kalender Gregorian dilakukan oleh negara-negara Eropa yang menjajahnya. Di Indonesia sampai awal abad ke-20 kalender Hijriyah masih dipakai oleh raja-raja Nusantara. Bahkan raja Karangasem yang beragama Hindu, Ratu Agung Ngurah, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang beragama Nasrani, Otto van Rees, pada tahun 1894 masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah.
Kalender Gregorian secara resmi dipakai di seluruh Indonesia mulai tahun 1910 dengan berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap, hukum yang menyeragamkan seluruh rakyat Hindia Belanda. Maka tercapailah niat Octavianus Augustus yang ingin namanya abadi. Nama Kaisar Romawi ini senantiasa diucapkan ratusan juta orang Indonesia setiap tahun, tatkala mereka merayakan hari proklamasi kemerdekaan.
Tahun 2008?
Tahun berapakah sekarang? Tahun 2008, jika kita mengikuti perkiraan Dionisius Exiguus bahwa Nabi Isa al-Masih a.s. lahir tahun 47 Julian. Kalkulasi ini berdasarkan data Injil Lukas bahwa utusan Allah bagi Bani Israil itu memulai tugas kerasulan pada tahun ke-15 pemerintahan Kaisar Tiberius, yang bertahta dari tahun 60 Julian sampai 83 Julian (14-37 Masehi), sehingga kejadian yang diceritakan Lukas itu berlangsung tahun 75 Julian (29 Masehi). Oleh karena Lukas pun ternyata main tebak dengan mengatakan usia Nabi Isa al-Masih saat itu “kira-kira 30 tahun” (quasi annorum triginta), maka Dionisius memperkirakan beliau lahir tahun 47 Julian, yang ditetapkannya sebagai Tahun 1 Anno Domini.
Ternyata perkiraan Dionisius itu tidak tepat! Kenyataannya, baik Injil Lukas maupun Injil Matius mencatat kelahiran Isa al-Masih pada masa Raja Herodes di Palestina, yang berarti antara tahun 37 SM dan 4 SM (10 sampai 43 Julian). Lukas juga mengatakan bahwa Isa al-Masih lahir ketika gubernur Suriah Quirinius, atas perintah Kaisar Augustus (bertahta 27 SM sampai 14 Masehi), mengadakan sensus penduduk di Palestina. Sensus ini tentu berlangsung sesudah pengangkatan Quirinius tahun 6 SM (41 Julian). Dengan demikian utusan Allah yang mulia itu sangat mungkin lahir tahun 5 SM (42 Julian). Jadi, kalau kita ingin konsekuen menghitung tahun sejak lahirnya Nabi Isa al-Masih a.s., seharusnya sekarang adalah tahun 2013.***
CALENDAR IN HISTORY
(from TIME ALMANAC)
THE PURPOSE of the calendar is to reckon past or future time, to show how many days until a certain event takes place—the harvest or a religious festival—or how long since something important happened.
The earliest calendars must have been strongly influenced by the geographical location of the people who made them. In colder countries, the concept of the year was determined by the seasons, specifically by the end of winter. The solar year was closer to 365.25 days (365 d, 5 h, 48 min, 46 sec or 365.242199 d).
In warmer countries, where the seasons are less pronounced, the Moon became the basic unit for time reckoning. Most of the oldest calendars were lunar calendars, based on the time interval from one new moon to the next—a so-called lunation. The lunar year was based on the 29.5-day lunar cycle (29 d, 12 h, 44 min, 2.8 sec or 29.53059 d; 12 lunations: 354 d, 8 h, 48 min, 34 sec or 354.3672 d). But even in a warm climate there are annual events that pay no attention to the phases of the Moon. In some areas it was a rainy season; in Egypt it was the annual flooding of the Nile River.
Lunar Calendars
During antiquity the lunar calendar that best approximated a solar-year calendar was based on a 19-year period, with 7 of these 19 years having 13 months. In all, the period contained 235 months. Using the lunation value of 29.5 days, this made a total of 6,933 days, while 19 solar years added up to 6,940 days, a difference of just one week per period and about five weeks per century.
Even the 19-year period required adjustment, but it became the basis of the calendars of the ancient Chinese, Babylonians, Greeks, and Jews. This same calendar was also used by the Arabs, but Prophet Muhammad later forbade shifting from 12 months to 13 months, so that the Islamic calendar now has a lunar year of about 354 days. As a result, the months of the Islamic calendar, as well as the Islamic religious festivals, migrate through all the seasons of the year.
The Roman Calendar
When Rome emerged as a world power, the difficulties of making a calendar were well known, but the Romans complicated their lives because of their superstition that even numbers were unlucky. Hence their months were 30 days long, with the exception of February which had 25 days, added up to only 355 days. Therefore the Romans invented an extra month called Mercedonius and was added every third year.
Even with Mercedonius, the Roman calendar eventually became so far off that Julius Caesar, advised by the astronomer Sosigenes, ordered a sweeping reform: 46 B.C. was made 445 days long by imperial decree, bringing the calendar back in step with the seasons. Then the solar year (with the value of 365 days and 6 hours) was made the basis of the calendar. The months were 30 or 31 days in length, and to take care of the 6 hours, every fourth year was made a 366-day year. Moreover, Caesar decreed the year began with the first of January, not with the vernal equinox in late March.
This calendar was named the Julian calendar, after Julius Caesar, and it continues to be used by Eastern Orthodox churches for holiday calculations to this day. However, despite the correction, the Julian calendar is still 11.5 minutes longer than the actual solar year.
The Gregorian Reform
By the 16th century the Julian calendar had drifted behind the solar calendar by ten days. The immediate correction, advised by Christopher Clavius and ordered by Pope Gregory XIII, was that Thursday Oct. 4, 1582, was to be the last day of the Julian calendar. The next day would be Friday Oct. 15. For long-range accuracy, a formula suggested by Aloysius Giglio was adopted: every fourth year is a leap year unless it is a century year like 1700 or 1800. Century years can be leap years only when they are divisible by 400 (e.g., 1600 and 2000). This rule eliminates three leap years in four centuries, making the calendar sufficiently accurate. In spite of the revised leap year rule, an average calendar year is still about 26 seconds longer than the Earth's orbital period. But this discrepancy will need 3,333 years to build up to a single day.
The Gregorian reform was not adopted throughout the West immediately. Most Catholic countries quickly changed to the pope's new calendar in 1582. But Europe's Protestant princes chose to ignore the papal bull and continued with the Julian calendar. It was not until 1700 that the Protestant rulers of Germany and the Netherlands changed to the new calendar. In Great Britain (and its colonies) the shift did not take place until 1752, and in Russia a revolution was needed to introduce the Gregorian calendar in 1918.**
THE CURIOUS HISTORY OF THE CALENDAR
(from COLUMBIA ENCYCLOPEDIA)
SEPTEMBER 2, 1752, was a great day in the history of sleep. That Wednesday evening, millions of British subjects in England and the colonies went peacefully to sleep and did not wake up until twelve days later. Behind this feat of narcoleptic prowess was not some revolutionary hypnotic technique or miraculous pharmaceutical discovered in the West Indies. It was, rather, the British Calendar Act of 1752, which declared the day after Wednesday the second to be Thursday the fourteenth.
Prior to that cataleptic September evening, the official British calendar differed from that of continental Europe by eleven days—that is, September 2 in London was September 13 in Paris and Berlin. The discrepancy had sprung from Britain's continued use of the Julian calendar, which had been the official calendar of Europe since its invention by Julius Caesar (after whom it was named) in 45 BC.
Caesar's calendar, which consisted of eleven months of 30 or 31 days and a 28-day February (extended to 29 days every fourth year), was actually quite accurate: it erred from the real solar calendar by only 11½ minutes a year. After centuries, though, even a small inaccuracy like this adds up. By the sixteenth century, it had put the Julian calendar behind the solar one by 10 days.
In 1582, Pope Gregory XIII ordered the advancement of the calendar by 10 days and introduced a new corrective device to curb further error: century years such as 1700 or 1800 would no longer be counted as leap years, unless they were (like 1600 or 2000) divisible by 400. The Gregorian calendar year differs from the solar year by only 26 seconds—accurate enough for most mortals, since this only adds up to one day's difference every 3,333 years.
Despite the prudence of Pope Gregory's correction, many Protestant countries ignored the papal bull. Germany and the Netherlands agreed to adopt the Gregorian calendar in 1700; Russia only accepted it after the revolution of 1918, and Greece waited until 1923 to follow suit. And currently many Orthodox churches still follow the Julian calendar, which now lags 13 days behind the Gregorian.
Since their invention, calendars have been used to reckon time in advance, and to fix the occurrence of events like harvests or religious festivals. Ancient peoples tied their calendars to whatever recurring natural phenomena they could most easily observe. In areas with pronounced seasons, annual weather changes usually fixed the calendar; in warmer climates such as Southern Europe, Africa, and the Middle East, the moon was used to mark time.
Unfortunately, the cycles of the sun and moon do not synchronize well. A lunar year (consisting of 12 lunar cycles, or lunations, each 29½ days long) is only 354 days, 8 hours long; a solar year lasts about 365¼ days. After three years, a strict lunar calendar would have diverged from the solar calendar by 33 days, or more than one lunation. The Muslim calendar is hence the only purely lunar calendar in widespread use today. Its months have no permanent connection to the seasons. Muslim religious celebrations, such as Ramadan, may thus occur at any date of the Gregorian calendar.
The phases of the moon have nonetheless remained a popular way to divide the solar year, if only because a 365¼-day year doesn't exactly lend itself to equal subdivision. To compensate for the difference in the solar and lunar year, calendar makers introduced the practice of intercalation—the addition of extra days or months to the calendar to make it more accurate. The Hebrew calendar, consisting of twelve 29- and 30-day months, adds an intercalary month seven times every 19 years (which explains the sometimes confusing drift of Passover through April and March).
Despite its widespread use, the Gregorian calendar has a number of weaknesses. It cannot be divided into equal halves or quarters; the number of days per month is haphazard; and months or even years may begin on any day of the week. Holidays pegged to specific dates may also fall on any day of the week, and few Americans can predict when Thanksgiving will occur next year.
Since Gregory XIII, many other proposals for calendar reform have been made. In the 1840s, philosopher Auguste Comte suggested that the 365th day of each year be a holiday not assigned a day of the week. The generic "Year Day" would allow January 1 to fall on a Sunday every year. Needless to say, this clever solution was not widely embraced.
The French Revolution also saw an attempt at the introduction of a new calendar. On October 5, 1793, the revolutionary convention decreed that the year (starting on September 22, 1792—the autumnal equinox, and the day after the proclamation of the new republic) would be divided into 12 months of 30 days, named after corresponding seasonal phenomena (e.g. seed, blossom, harvest). The remaining five days of the year, called sans-culottides, were feast days. In leap years, the extra day, Revolution Day, was to be added to the end of the year. The Revolutionary calendar had no week; each month was divided into three decades, with every tenth day to be a day of rest. This straightforward calendar, however, perished with the Republic.***
1 Comments:
Asyik mbacanya, Pak.. :)
Dulu tulisan bagian dua di Pikiran Rakyat tidak jadi tayang ya Pak? :)
Baru bagian 1 kayaknya :)
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home