Thursday, February 7, 2008

Hadiah Rancage untuk Sastra Lampung

MAK DAWAH MAK DIBINGI
Kumpulan sajak Udo Z. Karzi
(lahir di Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970)
BE Press, Bandar Lampung, 2007, xii + 71 halaman


MASYARAKAT Lampung sebenarnya cukup kaya dengan karya sastra berupa adi-adi (pantun), warahan (cerita), hiwang (ratapan yang berirama), wawancan (sejarah), dan sebagainya. Meskipun kebanyakan masih berbentuk sastra lisan yang sering dilantunkan dalam upacara adat, ada beberapa yang sudah ditulis dan diterbitkan berupa buku.

Akan tetapi semua karya sastra dalam bahasa Lampung itu tergolong sastra tradisional yang sangat terikat kepada aturan bait dan rima yang ketat. Satu bait pantun tradisional Lampung (adi-adi) harus terdiri atas empat baris, satu baris harus mengandung tujuh suku kata, dan harus berstruktur a-b-a-b. Sebagai contoh, kita kutip sebuah adi-adi: bayang-bayangmu kundang / ratong di tengah bingi / minjak diguyang hiwang / niku delom hanipi (bayang-bayangmu kasih / datang di tengah malam / bangkit dibangunkan tangis / dikau dalam mimpi).

Adapun karya sastra modern dalam bahasa Lampung selama ini boleh dikatakan belum ada. Sastrawan modern yang tinggal di Lampung memang cukup banyak, tetapi umumnya menuliskan karya sastra mereka dalam bahasa Indonesia. Belum ada yang menggunakan bahasa ibu (mother language), yaitu bahasa Lampung, sebagai wahana atau medium sastra modern. Akibatnya, dunia sastra Lampung selalu dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”, jauh tertinggal dari sastra Sunda, Jawa, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern di samping tetap melestarikan sastra tradisional.

Itulah sebabnya buku kumpulan 50 sajak berbahasa Lampung dari Udo Z. Karzi (nama pena dari Zulkarnain Zubairi), yang berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam), merupakan terobosan besar yang mendobrak kebekuan dunia sastra Lampung. Sajak-sajak Udo Z. Karzi betul-betul membebaskan diri dan tidak merasa terikat dengan aturan puisi tradisional Lampung.

Mari kita simak salah satu sajak Udo yang mengalir bebas: pagi ga, kundang / aga minjak jak kedugokmu / bingi juga maseh mesurok ditinggal bulan / pedom, pedom do luwot, kundang / lagi wat masani buhanipi / tentang pattun nyanyianni surga (terlalu pagi, kasih / mau bangkit dari kantukmu / malam juga masih enggan ditinggal bulan / tidur, tidurlah lagi, kasih / masih ada masa untuk bermimpi / tentang pantun nyanyian surga).

Bukan hanya struktur sajak Udo yang modern, isi sajak-sajaknya pun menceritakan hal-hal yang kontemporer (masakini): kehidupan rakyat kecil yang terpuruk, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, sempitnya lapangan kerja, penegakan hukum yang belum memuaskan, korupsi yang merajalela, dan para politisi yang tidak memikirkan rakyat. Ada pula sajak-sajak yang merupakan komtemplasi kehidupan Udo sendiri, di samping sajak-sajak yang melukiskan jiwa resah yang ingin menggapai Sang Pencipta. Dengan kata lain, sajak-sajak Udo Z. Karzi benar-benar mencerminkan semangat zaman.

Tidak diragukan lagi, buku Udo Z. Karzi merupakan pelopor lahirnya sastra Lampung modern, sehingga sangat pantas memperoleh Hadiah Sastera “Rancagé” tahun 2008 bagi sastra Lampung untuk pertama kalinya. Diharapkan buku ini mampu merangsang para sastrawan Lampung lainnya untuk menulis karya-karya sastra dalam bahasa ibunya, bahasa Lampung.***

Irfan Anshory
Yayasan Kebudayaan "Rancage"


Beberapa puisi Udo Z. Karzi
dalam “Mak Dawah Mak Dibingi



KEHAGA

ngelagok nyak ngeliak badan tenggalan
miker! nyuba pai ngereti
api sai kukehagai dilom hurik inji?
api sai radu kuguaikon semakkung inji?

bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"

ah, liom nyak lamon cawa
mak perlu kulajukon
tepedak, radu saka hurik
makkung wat sai kuguwaikon
radu saka sekula
maseh juga makkung jadi jelma

: nyak maseh barang makkung jadi!


DAMBA

tercenung aku pandang diriku sendiri
berpikir! mencoba untuk mengerti
apa yang kukehendaki dalam hidup ini?
apa yang telah kulakukan sebelum ini?

berjuta damba melingkar dalam hati:
"jadikan hidupmu berarti
bagimu, ibu-bapakmu, temanmu
bagi siapa saja!"

ah, malu aku banyak bicara
tak perlu kulanjutkan
sadar, sudah lama hidup
belum ada yang kukerjakan
sudah lama bersekolah
masih juga belum jadi orang

: aku masih barang belum jadi



BIBAS

1
sai waktu, ruangan tiba-tiba
jadi melunik pepelegohan
tambah mepelik, aga ngejepit
nyak meliyot, minjak cungak mit langik
ngembangko rua culuk
tawakkal!

tembok-tembok kedol perda nyusul
jak sunyinni rang, tambah redik rik pelik
mak ngedok jiwa kucuba nyepok renglaya luar
kidang sunyinni radu tekebok, mak ngedok lagi
renglaya aga lucuk
ikhtiar terakhir sai-saini yaddo de mekik

2
tekejut nyak!
kuliak luwot nyakku repa sai watni
cecok di luwar tembok jama bibas
sedang keterkurungan radu saka lebon
seraduni injuk ampai miyah tiba-tiba
ngembang kemegahan dunia di hadapanku
rik sunyinni kehalok’an sai muhelau
ngajukon gairah kehurik'an sai mubalak
nangkopkon rasa betah hurik saka
ngerasakon tor, helau, rik riyang
kehaga jadi mekar delom badanku



BEBAS

1
suatu waktu, ruangan tiba-tiba
menjadi ciut perlahan-lahan
kian menyempit, hendak menjepit
aku menggeliat, bangkit menengadah ke langit
mengembangkan dua tangan
tawakkal!

tembok-tembok tebal saling menyusul
dari segala arah, kian dekat dan ketat
tanpa daya kucoba mencari jalan keluar
tapi semua sudah tertutup, tak ada lagi
jalan untuk lolos
ikhtiar terakhir satu-satunya adalah berteriak

2
aku tersentak!
kudapati kembali diriku sebagaimana adanya
berdiri di luar tembok dengan bebas
sedang keterkurungan sudah lama hilang
lalu seakan baru siuman tiba-tiba
mengembang kemegahan dunia di hadapanku
dengan segala kemungkinan yang lebih bagus
menyodorkan gairah kehidupan yang lebih besar
menghinggapkan rasa betah hidup lebih lama
menikmati rasa manis, indah dan gembira
harapan menjadi mekar dalam diriku



AJAR SEKAM BAHASA CINTA

ajar sekam cawa kasih
lain ketihaan riluk sai dituntunkon
lain unjuk kuat ngiyangko hati
lain utot culuk betatoni preman
sai mak kenal nilai kejelmaan
sai kelop delom kebiadaban

: di simpang pematang ulun nyuwah
maling manuk sambil nari-nari

ajar sekam cawa cinta
lain kekuasaan ngikok kemerdekaan
lain pi’il sai tiumbar sekadar naruhkon regani badan
mani barang inji radu saka tigadaiko
kanjak bejuta-juta abad sai radu pas waitanoh,
pullan, kahwa, lada, sanini gulai jadi beni ulun-ulun mabuk harta
lain lading rik badik mahu rah sai miwang
pas tiulohkon mit sarungni
lain pedang belumor dusa sai siap nikol
galahni sapa riya sai nyegokko kesumat

nambi jelma sai ngancam nyakku: kupagas niku kanah
rani inji nyak ngedengi ya mati kena tujah
jelma sai pendendam mak tikenal radu saka ngincarni
jemoh induh sapa lagi sai pegat sia-sia

ajar sekam cawa penyair
lain cawa sanak di renglaya sai lamon katanni
sai mak wat ngerasakon iyos pusauan culukni induk
sai mak kesipak ngedengi tor cawani bebai
sai mak biasa bebagi bangik rik sakik jama sesama
sai ingkah meredik jama buasni terminal, pasar, renglaya balak
sai mak lagi waya jama jelma bareh

: sanak sai pegat digilas kerita api
mak ngedok sai peduli

ajar sekam cawa kedamaian
lain ribut antarpekon sai meletus di ipa-ipa
pas keadilan, hukum, adat mak lagi jadi tutukan
pas kejelmaan tiganti kebinatangan rik kesitanan
lain pistol-senapang panas ambau mesiu sai ampai riya nyambar
galahni para demonstran sai nuntut atoranni drakula

: rua pasang mahasiswa pegat ditimbak tentera mahu rah!


AJARI KAMI BAHASA CINTA

ajari kami bahasa kasih
bukan kekerasan telanjang yang dipertontonkan
bukan unjuk kekuatan menggersangkan jiwa
bukan otot lengan bertato preman
yang tak kenal nilai kemanusiaan
yang tenggelam dalam kebiadaban

: di simpang pematang pencuri ayam
dibakar massa sambil menari-nari

ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan gengsi yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad yang silam ketika airtanah,
hutan, kopi, lada, palawija menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau dan badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat

kemarin seseorang mengancamku: kutusuk kau nanti
hari ini aku mendengar ia mati tertikam
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
besok entah siapa lagi yang mati sia-sia

ajari kami bahasa penyair
bukan bahasa anak jalanan yang penuh luka
yang tak pernah merasakan sejuknya belaian tangan ibu
yang tak sempat mendengar manisnya tutur kata wanita
yang tak biasa berbagi bahagia dan duka dengan sesama
yang hanya akrab dengan kebuasan terminal, pasar, jalan raya,
yang tak lagi ramah bagi orang lain

: seorang bocah mati digilas kereta api
tak ada yang peduli

ajari kami bahasa kedamaian
bukan keributan antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi ikutan
ketika kemanusiaan berganti kebinatangan dan kesetanan
bukan pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demonstran yang menuntut undang-undang drakula

: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara haus darah!


KIK CAWA MAK TIREGAI LAGI

kik cawa mak tiregai lagi
seribu guru seribu kiyai seribu pakar seribu penyimbang
mak kuk ngedok reti api-api
sejuta mahasiswa sejuta petani sejuta buruh sejuta ulun
mak kuk ngedok daya api-api
rua ratus juta jelma sai musakik
mak kuk dapok cawa api-api

kik cawa mak tiregai lagi
aga api analisisni cendekiawan
aga api kritikni mahasiswa
aga api tawaini ulama
aga api pidatoni pemimpin
aga api gegunikni muli
aga api

kik cawa mak tiregai lagi
api gunani nyak cawa
kidang pema retini mati

maka, kik cawa mak tiregai lagi
nyak aga ngupok
midak
ngutuk
nyak aga nyerocos injuk burung
ticabut bulu gundangni
raduni, nyak aga betasbih
betahmid
betahlil
betakbir

atawa, kik cawa mak tiregai lagi
nyak aga nagankon diriku riya sai lowangan


BILA KATA TAK DIHARGAI LAGI

bila kata tak dihargai lagi
seribu guru, seribu kyai, seribu pakar, seribu pemimpin
tak kan berarti apa-apa
sejuta mahasiswa, sejuta petani, sejuta buruh, sejuta massa
tak kan punya daya apa-apa
dua ratus juta rakyat yang menderita
tak kan dapat bersuara apa-apa

bila kata tak dihargai lagi
untuk apa analisis cendekiawan
untuk apa kritik mahasiswa
untuk apa nasehat ulama
untuk apa pidato pemimpin
untuk apa rayuan sang dara
untuk apa

bila kata tak dihargai lagi
untuk apa aku bicara
tapi diam berarti mati

maka, bila kata tak dihargai lagi
aku akan mengumpat
memaki
mengutuk
aku akan nyerocos seperti burung
dicabut bulu ekornya
lalu, aku akan bertasbih
bertahmid
bertahlil
bertakbir

atau, bila kata tak dihargai lagi
aku akan membiarkan diriku saja yang gila


LAWOKKU TANNO NYEGOK KESUMAT

dang niku bewarah lagi kebanian tuyuk turingku ngarungi samudera
di labuhan jukung nyak mak ngeliak lagi nelayan nyepok iwa
umbakni keliwat ganas. badai sekali inji rasani nyecam nihan
tuhuk segok di kekutni lawok. batu karang sai bela
diakuk reklamasi mak dapok ngelindungini lagi

nyak terok langui. kidang ulun-ulun ngehalang nyakku
: lawok lagi singut. cuaca lagi murak

dang niku bewarah lagi tuyuk turingku jelma lawok
di pesisir barat jukung-jukung mak belayar
mani, pelawok-pelawok unjak gering segaga kuasa di darat
atawa, medomi lonte delom ngisonni bingi

nyak terok ngelapahi pantai. kidang nyak tenggalanan
: lawok lagi butong. nyak lagi pusing

dang niku harap lagi nyak ngedengi iwa duyung
atawa ratu lawok. mani nyak ingkah ngeliak pullan bakau
lebon dikanik antu lawok. umang-umang, halipu, rik tahi
di sekekejungni pantai jadi saksi serakahni jelma
nyak mak lagi ngeliak lawokku biru. iwa rik jukuk lawok
radu saka mit barong jama lebonni panorama di bah wai

nyak terok nyelami kekutni lawok. kidang mak lagi dapok
: lawokku tanno nyegok kesemat


LAUTKU KINI MENYIMPAN KESUMAT

jangan kauceritakan lagi keberanian nenek moyangku mengarungi samudera
di labuhan jukung aku tak melihat lagi nelayan mencari ikan
gelombangnya kelewat ganas. badai kali ini terasa begitu mencekam
tuhuk bersembunyi di dasar lautan. batu karang yang habis
dijarah reklamasi tak mampu melindunginya lagi

aku ingin berenang. tapi orang-orang melarangku
: laut sedang marah. cuaca lagi buruk

jangan kaudongengkan lagi nenek moyangku orang pelaut
di pesisir barat perahu-perahu sudah tak berlayar
sebab, pelaut-pelaut lebih suka berebut kuasa di darat
atau, meniduri pelacur dalam dinginnya malam

aku ingin menyusuri pantai. tapi aku sendirian
: laut sedang murka. aku sedang pusing

jangan kauharapkan lagi aku mendengar ikan duyung
atau ratu samudera. sebab aku hanya melihat hutan bakau
hilang dimakan hantu laut. umang-umang, keong, dan tinja
di sepanjang pantai menjadi saksi keserakahan manusia.
aku tak lagi melihat lautku biru. ikan dan rumput laut
sudah lama pergi bersama sirna panorama bawah air

aku ingin menyelami dasar laut. tapi tak lagi bisa
: lautku kini menyimpan kesumat


KICIK TERAI

senginno nangon terai, minan
kidang lain terai sai medomkon ati
ram buya ga ngicik sememanjang masa
mak kebunyi mak ngedok titik temu
pikerkon riya hal watni terai
pas terai ratong ulun hiruk
bejam-jam nunggu

terai yaddo de rencaka sai tisusun delom ati
atawa malah titulis delom agendani jelma-jelma rituk
sesekali terai bewarah tattang jelma-jelma romantis
sai petungga kundang kidang mak dapok api-api
selain ngitung-ngitung tiakni wai sai gugor
jak hatok ngenai kaleng urak di kudanni lamban

terai kedok becong senginno, minan
kidang hati ram mak miyos ulehni
ya nyatani mak dapok miyahkon hati neram
apui telanjor tebalak
mak hak dacok padom
ulehni terai sememanjang tahun sekalipun

radu do taru pai nyalahkon terai
terai nangon mak kuk ngerti sai neram rasakon
terai mak pandai jama keharaga neram
terai muneh mak kuk paham api sai ram pikerkon
radu taru pai nyesoli terai
ram ingkah ingok terai radu ngeni ram reti
jadi, mak ngedok alasan menyuwoh jama terai

senginno nangon terai, minan
kedok nihan
kidang neram tetop mak ngerti
api terai maseh nyegokkon sai resia
badan basoh kidang kurasa panas sai nyengik


TENTANG HUJAN

semalam memang hujan, tante
tapi bukan hujan yang menidurkan hati
kita terlampau lelah berbincang sepanjang masa
tanpa suara tanpa titik temu
pikirkan saja tentang eksistensi hujan
ketika hujan datang orang-orang sibuk
berjam-jam menunggu

hujan adalah rencana yang tersusun dalam hati
atau malah tertulis dalam agenda orang-orang sibuk
sesekali hujan berkisah tentang orang-orang romantis
yang bertemu kekasih tapi tak bisa berbuat apa-apa
selain menghitung-hitung rintik air yang jatuh
dari atap mengenai kaleng butut di belakang rumah

hujan lebat sekali semalam, tante
tapi hati kita tak sejuk karenanya
dia nyatanya tak bisa membangunkan hati kita
api terlanjur membesar
tak kan padam
oleh hujan sepanjang tahun sekalipun

sudahlah berhenti dulu menyalahkan hujan
hujan memang tak kan mengerti tentang perasaan kita
hujan tak kan tahu dengan obsesi kita
hujan juga tak kan paham apa yang kita pikirkan
sudahlah berhentilah menyesali hujan
kita hanya ingat hujan telah memberi kita arti
jadi, tak ada alasan membenci hujan

semalam memang hujan, tante
lebat sekali
tapi kita tetap tak mengerti
apakah hujan masih merahasiakan sesuatu
badan kuyup tapi yang kurasa panas menyengat



MAK DAWAH MAK DIBINGI

mak dawah mak dibingi
kuran maseh riya ngewarahkon
banjer kukuk tupan
bencana di lamon rang

-- musim tambah panas, kidang kekala terai

bakas sai mekik-mekik
cak lading cutik lagi nembus tenai
nyak tekesima
tehejong
ah, nyatani sai jahat nyebar
delom setiap detakni sai hurik

nyusori negarabatin sai bingi
bingi mak seangi sai tipikerkon
bingi nyegokkon resiani tenggalan
kidang bingi jujor ngakui risok sareh
cutik sungsai nyembul jak kebelah bingi
lampu keliwat ridap nyusori kelomni

mak dawah mak dibingi
nyak resah
neram ingkah nunggu lanjutanni hurik
neram nyatani ingkah ngejalani
induh api sai bakal tejadi

ngebelah angini negara batin
redio maseh ngedendangkon
: mak dawah mak dibingi


TAK SIANG TAK MALAM

tak siang tak malam
koran masih saja menuturkan
banjir gempa topan
bencana di banyak tempat

-- musim tambah panas, tapi kadang hujan

seorang lelaki berteriak-teriak
belati hampir menembus perut
aku terkesima
terduduk
ah, ternyata kejahatan menyebar
dalam setiap detak kehidupan

menelusuri negarabatin suatu malam
malam tak sesunyi yang terpikirkan
malam menyembunyikan rahasianya sendiri
tapi malam jujur mengakui sering resah
sedikit kegelisahan menyembul dari sisi malam
lampu terlampau remang menelusuri gelapnya

tak siang tak malam
aku gelisah
kita hanya menunggu kelanjutan hidup
kita nyatanya hanya menjalani
entah apa yang bakal terjadi

membelah kesunyian negarabatin
radio masih mendendangkan
: tak siang tak malam***

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home