Friday, October 30, 2009

Makkah, Baitullah, dan Haji

Artikel pada Harian "Pikiran Rakyat"
Jum`at 30 Oktober 2009 :


MAKKAH, BAITULLAH, DAN HAJI

oleh
IRFAN ANSHORY




RUMAH ALLAH (Baitullah) di Makkah sebagai pusat pengabdian manusia kepada Allah SWT telah direncanakan oleh Allah sendiri puluhan abad sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan. Sekitar 4000 tahun yang silam, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk membawa istrinya, Hajar, dan putra mereka, Isma`il, meninggalkan Kana’an (Palestina sekarang) ke arah selatan, menuju sebuah lembah yang bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf bibir (bilabial), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah. Dalam bahasa anak-anak Ibrahim (Arab dan Ibrani), kata baka mempunyai dua arti: ‘lembah air mata’ dan ‘pohon balsam’. Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.

Apakah keistimewaan lembah Bakkah? Ternyata lembah itu merupakan lokasi Rumah Allah yang didirikan generasi pertama umat manusia dari zaman Nabi Adam a.s., sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Surat Ali Imran 96: “Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang didirikan untuk manusia benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh alam”. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah ditelantarkan, tiada manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal fondasinya saja.

Kisah Hajar dan Isma`il dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (wafat 310 H / 922 M) dalam bukunya yang termasyhur, Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk: “Ketika mendapat perintah dari Allah menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama Hajar dan Isma`il disertai malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang cuma ditumbuhi pohon akasia, balsam dan semak berduri. Baitullah saat itu tinggal dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, ‘Allah memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka.’ Ibrahim membawa Hajar dan Isma`il ke Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di sana. Lalu Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu yang suci, agar mereka tetap menegakkan shalat. Maka jadikanlah hati manusia berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur’ (Surat Ibrahim 37). Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, ‘Apakah perintah Allah yang membuatmu meninggalkan kami?’ Ibrahim menjawab, ‘Ya.’ Maka Hajar berkata, ‘Jika demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk binasa.’ Lalu Ibrahim kembali ke Kana’an, meninggalkan mereka berdua di Rumah Allah.”

Masih kutipan dari Thabari: “Isma`il menangis karena sangat kehausan. Hajar memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana tetapi tidak menemukan air. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah. Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa, lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya dapat minum. Ketika Hajar sampai di Marwah setelah tujuh kali bolak-balik, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Isma`il. Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat tempat dia berbaring. Hajar mengisikan air ke kirbat kulitnya sambil berseru, ‘Zummi, zummi’. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir purba yang artinya ‘Berkumpul, berkumpul.’ Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan bunyi air yang memancar. Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan Hajar itulah asal nama telaga Zamzam.”

Adanya sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka datanglah rombongan suku Jurhum memohon izin kepada Hajar dan Isma`il untuk menetap di sana. Lambat laun lembah Makkah itu tumbuh menjadi suatu pemukiman. Pada waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari Kana’an datang ke Makkah mengunjungi istri dan anak beliau.

Ketika Isma`il berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat, namun karena itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya. Ketika perintah Allah itu disampaikan Ibrahim kepada sang anak, Isma`il yang masih remaja itu menjawab: “Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai anak yang sabar”, sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.

Ibrahim membawa Isma`il ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina. Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah dalam Ash-Shaffat 106-107: “Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar”.

Ibrahim tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq, sebagaimana diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: “Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh”.

Kemudian turunlah perintah Allah kepada Ibrahim dan Isma`il untuk merenovasi Baitullah, dengan meninggikan fondasi yang memang sudah ada. Surat Al-Baqarah 127 memberikan informasi: “Ibrahim meningkatkan fondasi Al-Bait bersama Isma`il”. Oleh karena bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim dan Isma`il itu berbentuk ‘kubus’ (ka`bah dalam bahasa Arab), Rumah Allah yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu dikenal dengan sebutan Ka`bah.

Di depan Ka`bah, Nabi Ibrahim a.s. membuat maqam (‘tempat berdiri’) untuk shalat menghadap Allah. Allah SWT mengabadikan tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. di depan Ka`bah itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Baitullah. “Ambillah Maqam Ibrahim menjadi tempat shalat”, demikian tercantum dalam Surat Al-Baqarah 125. Sebagai catatan, istilah maqam (makam) dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut ‘kuburan’ (karena pengaruh ajaran tasawuf bahwa orang yang wafat telah mencapai maqam tertinggi), sehingga ada jemaah haji yang menyangka Maqam Ibrahim sebagai ‘kuburan Nabi Ibrahim’, padahal kuburan beliau terletak di Al-Khalil (Hebron), daerah Tepi Barat, Palestina.

Setelah Ka`bah rampung dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Istilah hajj berarti ‘berkunjung ke Rumah Allah’. Surat Al-Hajj 27 merekam firman Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.: “Panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan segala jenis kendaraan, datang dari segenap penjuru yang jauh”.

“Tunjukkanlah kepada kami tatacara haji bagi kami”, demikian permohonan Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah SWT yang tercantum dalam Surat Al-Baqarah 128. Maka Allah mengajarkan tatacara (manasik) ibadah haji kepada Nabi Ibrahim a.s. Manasik haji yang pertama adalah ihram (‘mengharamkan’ atau ‘mensucikan’), yaitu mengenakan pakaian ihram serta tidak melakukan larangan-larangan ihram. Begitu jemaah haji menginjakkan kaki di Tanah Haram (Tanah Suci), mereka harus sudah meninggalkan dan menanggalkan pakaian mereka sehari-hari dan menggantinya dengan kain ihram. Ini suatu perlambang bahwa di Rumah Allah manusia harus bersedia membebaskan diri dari segala atribut kekayaan, jabatan dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya dalam kehidupan sehari-hari. Di hadapan Sang Khaliq semua manusia tanpa kecuali, baik penguasa maupun rakyat jelata, berstatus sama yaitu Hamba Allah.

Kemudian para jemaah haji harus melakukan wuquf (‘berdiam, jambore’) di Padang Arafah, sekitar 25 km di sebelah timur Makkah. Inilah upacara geladi resik berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar pada Hari Akhirat nanti, sekaligus para jemaah haji melakukan ‘reuni’ di tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman Eden (Jannatu `Adn). Itulah sebabnya tempat wuquf itu dinamai Padang Arafah, artinya ‘Padang Pengenalan’, agar manusia mengenali kembali persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa.

Perintah wuquf di Arafah tercantum dalam Al-Baqarah 199: Afiidhuu min haitsu afaadha n-naas (“Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”). Arafah dijuluki Allah sebagai ‘tempat membanjirnya manusia’, tempat Adam dan Hawa pertama kali menurunkan generasi pertama umat manusia (Homo sapiens) yang kemudian—seperti air keluar dari sumbernya—membanjir berkembang biak menjadi lebih dari 6 miliar jiwa pada awal abad ke-21 sekarang. Jadi, kepergian jemaah haji ke Arafah pada hakikatnya adalah ‘mudik ke kampung asal nenek moyang’!

Dengan melakukan wuquf, jemaah haji diharapkan menyadari bahwa umat manusia yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat ternyata adalah saudara sedarah dan seketurunan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hujurat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li ta`aarafuu, satu akar kata dengan`arafah). Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi.”

Dengan penegasan Allah SWT ini maka segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat dalam masyarakat Islam. Agama Islam menentang habis-habisan faham rasialisme dan chauvinisme. Para penganut faham rasialisme memiliki rasa keunggulan ras dengan merendahkan ras-ras lainnya. Inilah yang dipraktekkan oleh bangsa Yahudi dan kaum Nazi, atau yang pernah diperbuat oleh orang Amerika terhadap Indian dan Negro, atau seperti pernah dilakukan orang kulit putih di Afrika Selatan dengan politik apartheidnya terhadap kulit berwarna. Yang identik dengan faham rasialisme adalah faham chauvinisme, yaitu faham kebangsaan yang sempit dan fanatik sehingga menganggap bangsanya lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain. Faham inilah yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme, penjajahan bangsa atas bangsa, serta menyeret manusia ke dalam dua kali Perang Dunia.

Adapun ajaran Islam sejak semula meniadakan dinding rasial dan jenis manusia, lalu mengembalikan manusia itu kepada asal yang satu. Semua manusia berhak untuk berhimpun di bawah perlindungan ajaran Islam tanpa memandang warna kulit dan asal-usul keturunan, bahkan juga tanpa memandang agama dan keyakinan! Islam tidak mengenal batas teritorial, sebab bumi seluruhnya kepunyaan Allah dan segala isinya disediakan Allah untuk manusia. Namun hal ini tidaklah berarti Islam menghapuskan idea kebangsaan (nasionalisme). Menurut Surat Al-Hujurat ayat 13 tadi, adanya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah kehendak Allah. Dalam ajaran Islam, faham nasionalisme dipelihara dengan makna yang baik, yaitu bersatu untuk mencapai tujuan bersama dari seluruh anggota bangsa itu, serta menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan bangsa-bangsa lain.

Selanjutnya para jemaah haji harus melakukan thawaf, yaitu mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh putaran. Inilah tarian kosmos, sebab seluruh isi alam semesta selalu dalam keadaan berthawaf. Jemaah haji meniru gerakan elektron-elektron yang berthawaf mengelilingi inti atom serta gerakan planet-planet yang berthawaf mengelilingi matahari. Alam semesta hanya eksis karena gerakan thawaf! Seluruh materi di jagat raya, dari partikel-partikel penyusun atom sampai benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Ilahi yang mengatur mereka. Dengan melakukan thawaf, diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka pun seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Ali Imran 83: “Apalagi yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepada-Nya telah Islam (tunduk-patuh) segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan.”

Sesudah melakukan thawaf, jemaah haji harus melakukan sa`i, meniru gerakan Hajar bolak-balik tujuh kali untuk mencari air antara bukit Safa dan bukit Marwah. Kata sa`i berarti ‘usaha’. Ternyata Hajar baru memperoleh anugerah air Zamzam dari Allah setelah dia melakukan sa`i (usaha) yang maksimal. Dengan melakukan sa`i, diharapkan manusia menyadari bahwa kesuksesan dan kejayaan hanya dapat diraih melalui usaha atau perjuangan maksimal, bukan dengan sekadar berdoa sambil berpangku tangan tanpa aktivitas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam An-Najm 39-40: “Bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya (maa sa`aa), dan bahwa usahanya (sa`yahuu) akan segera terlihat nyata.”

Mengapa thawaf dan sa`i harus tujuh kali? Perlu diketahui, Nabi Ibrahim a.s. berasal dari Mesopotamia, yang masyarakatnya memakai sistem bilangan dasar enam. Dari merekalah kita mewarisi pembagian lingkaran menjadi 360 derajat, satu hari menjadi 24 jam, satu derajat dan satu jam menjadi 60 menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan ‘tujuh’ sebagai bilangan yang istimewa. Itulah sebabnya satu pekan harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik haji yang disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan tujuh—sebagai perlambang hal yang maksimal—seperti tujuh putaran thawaf, tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh lontaran terhadap jumrah.

Wallahu a`lam bi sh-shawab.***


PENULIS Direktur Pendidikan “Ganesha Operation”.

Saturday, October 17, 2009

Miqat Makani Jemaah Haji Indonesia

DI MANAKAH MIQAT MAKANI
JEMAAH HAJI INDONESIA?


oleh
DRS. H. IRFAN ANSHORY





SALAH SATU MASALAH manasik atau tatacara haji yang banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan, adalah masalah miqat makani, yaitu tempat jemaah haji mulai berihram (memakai pakaian ihram dan tidak melakukan larangan ihram). Perbedaan pendapat muncul lantaran interpretasi yang beraneka ragam terhadap hadits dalam Shahih al-Bukhari, Volume ke-2, hadits No. 605, yang berbunyi sebagai berikut:

Dari Abdullah ibn Abbas r.a. yang berkata: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menetapkan miqat (waqqata) Dzulhulaifah bagi warga Madinah, Juhfah bagi warga Syam, Qarnulmanazil bagi warga Najd, dan Yalamlam bagi warga Yaman. Tempat-tempat itu (hunna) berlaku bagi warga masing-masing tempat itu (lahunna) dan bagi yang datang ke tempat-tempat itu (wa li man ataa `alaihinna) dari tempat-tempat lain (min ghairihinna), yang ingin berhaji dan berumrah. Dan orang yang berada di luar tempat-tempat itu (wa man kaana duuna dzaalika) berihram dari mana saja dia muncul (min haitsu ansyaa’), sehingga warga Makkah berihram dari Makkah.”

Sesungguhnya empat lokasi yang disebutkan Nabi Muhammad s.a.w. itu, yaitu Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil dan Yalamlam, sama sekali tidak memiliki nilai historis yang perlu diistimewakan. Tempat-tempat itu pada zaman Nabi hanyalah merupakan terminal persinggahan terakhir bagi kafilah-kafilah dari berbagai jurusan sebelum masuk Makkah, baik untuk beribadah maupun untuk sekadar berdagang. Sangatlah wajar jika Nabi Muhammad s.a.w. menetapkan empat lokasi tersebut sebagai tempat persiapan berihram, sebab ada beberapa kegiatan pra-ihram yang perlu dilakukan, yaitu mandi, membersihkan badan, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan shalat sunnah ihram. Di daerah gurun pasir yang langka air pada abad ketujuh, empat lokasi itulah yang ideal sebagai miqat makani.

Akan tetapi Nabi Muhammad s.a.w., baik dalam sabda maupun perbuatan beliau, tidaklah memutlakkan keempat lokasi itu. Dari hadits di atas jelas sekali bahwa calon haji yang tidak datang ke salah satu tempat tersebut boleh berihram dari mana saja dia muncul. Yang penting, syarat sahnya ihram harus dipenuhi, yaitu memasuki Tanah Haram dalam keadaan sudah berihram. Jika seseorang yang ingin berhaji atau berumrah menginjak Tanah Haram dengan belum berihram, maka dia harus keluar lagi ke salah satu tempat di luar Tanah Haram untuk memulai ihram.

Ketika pulang dari perang di Hunain pada bulan Syawwal 8 Hijri atau Februari 630 Masehi, Nabi Muhammad s.a.w. melakukan umrah dengan mengambil miqat atau tempat mulai berihram di Ji`ranah, tempat di luar Tanah Haram yang hanya 20 km dari Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. tidak mengambil miqat di Qarnulmanazil, meskipun Hunain, daerah kaum Hawazin, berada di wilayah Najd!

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengerjakan haji pada bulan Dzulhijjah 10 Hijri atau Maret 632 Masehi, istri beliau Aisyah r.a. kebetulan sedang haid. Maka setelah Aisyah r.a. berhenti haid, Nabi Muhammad s.a.w. menyuruhnya untuk menunaikan umrah bersama-sama adiknya Abdurrahman ibn Abi Bakar dengan mulai berihram dari Tan`im, tempat di luar Tanah Haram yang paling dekat. Sekarang, perjalanan dari Tan`im ke Ka`bah hanya 10 menit dengan mengendarai mobil.

Setelah kota Kufah dan Basrah di Iraq menerima Islam pada tahun 12 Hijri atau 634 Masehi, pada mulanya penduduk kedua kota itu yang ingin berhaji atau berumrah mengambil Qarnulmanazil sebagai tempat miqat, sebab mereka dianalogikan sebagai warga Najd. Oleh karena mereka merasa repot dengan harus berbelok ke tenggara (waktu itu transportasi dan jalan raya tidak secanggih sekarang), mereka menghadap Khalifah Umar ibn Khattab r.a. untuk meminta alternatif tempat miqat. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah ibn Umar r.a., putra Khalifah sendiri, yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari, mereka berkata: “Wahai Amirul-Mu’minin. Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menentukan Qarn sebagai miqat warga Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari rute jalan kami (jawrun `an thariiqinaa), dan jika kami ingin ke Qarn hal itu menyulitkan bagi kami (syaqqa `alainaa).” Maka Khalifah Umar r.a. yang terkenal cerdas itu memberikan solusi bijaksana: “Telitilah hadzwa-nya dari rute jalan kalian (fanzhuruu hadzwahaa min thariiqikum).”

Istilah matematika hadzwa artinya titik-titik sepusat (concentric points) atau berjarak sama jika diukur dari lokasi tertentu, seperti titik-titik pada keliling lingkaran atau seperti kita dengan bayangan di depan cermin. Oleh karena Qarnulmanazil berjarak dua marhalah (dua hari perjalanan unta) dari Makkah, maka Khalifah Umar r.a. menetapkan suatu tempat pada rute perjalanan dari Iraq, yang juga berjarak dua marhalah dari Makkah, sebagai lokasi miqat makani. Tempat itu lalu populer dengan nama Dzatu Irq (“tempat miqat orang Iraq”).


Di mana miqat makani kita?

Berdasarkan hadits-hadits serta data historis yang telah dibahas, kita dapat merumuskan jawaban terhadap masalah pokok kita: di manakah miqat makani jemaah haji Indonesia? Pertama, jika kita berkesempatan untuk mampu berada di Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat makani kita sesuai dengan hadits. Kedua, jika kita tidak mampu datang ke salah satu dari empat tempat tersebut, tempat mana saja boleh kita jadikan sebagai miqat makani, asalkan lokasinya di luar Tanah Haram dan menyediakan fasilitas untuk persiapan berihram.

Bagi jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah, miqat makani mereka sudah tentu Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji. Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi, sebab tempat itu kini bernama Bi’r (Abyar) Ali, sebagaimana nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi Jakarta. Para jemaah haji mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian ihram pada pondokan masing-masing di Madinah. Kendaraan akan mampir di Bi’r Ali (Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji menunaikan shalat sunnah ihram. Di Bi’r Ali, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”

Bagi jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka yang paling ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz, yang populer dengan singkatan KAA Airport (King Abdul Aziz Airport). Di bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat yang luas, fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia yang siap membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram. Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari berbagai negara mulai berihram di KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara dalam keadaan berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah yang hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”

KAA Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita dari tanah air sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut, melewati kota Dafinah (23 16’ N, 41 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22 14’ N, 40 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21 41’ N, 39 10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21 29’ N, 39 10’ E), dan cukup jauh dari Makkah (21 28’ N, 39 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Cancer, 1 N = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 E = 108 km (1’ = 1,80 km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah.

Jalur penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21 37’ N, 40 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5 km.


Memulai ihram di pesawat udara?

Bagaimanakah pendapat yang mengatakan bahwa jemaah haji kita harus berpakaian ihram di tempat embarkasi di Indonesia, lalu mulai berihram di pesawat udara? Pendapat tersebut sah-sah saja dan tidak ada salahnya. Tapi apa gunanya kita menyiksa diri seperti itu dengan membiarkan tubuh kita kedinginan selama 10 jam di pesawat udara. Mereka yang memulai ihram dari pesawat udara pada umumnya berdasarkan hal-hal berikut: Pertama, mereka beranggapan mengambil miqat di Qarnulmanazil. Kedua, mereka ragu dan waswas kalau-kalau jalur penerbangan melewati batas Tanah Haram. Ketiga, mereka berpendapat bahwa KAA Airport tidak sah sebagai miqat makani sebab tidak tersebut dalam hadits. Keempat, mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh para pembimbing karena memang masih awam dan baru belajar manasik ketika akan pergi haji.

Padahal, seperti telah kita bahas, pesawat udara kita tidak lewat di atas Qarnulmanazil serta sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Memulai ihram dari pesawat udara tidaklah salah, tetapi janganlah menipu diri sendiri dengan berkhayal mengambil miqat di Qarnulmanazil, apalagi sambil menyalahkan atau menganggap tidak sah yang mengambil miqat di KAA Airport. Bandara yang baru dipakai tahun 1979 ini sudah tentu tidak ada dalam hadits, sebagaimana pesawat udara, awang-awang dan langit juga tidak pernah disebutkan dalam hadits untuk menjadi tempat miqat.

Ternyata mereka yang ingin memulai ihram di pesawat udara sering bingung mengenai kapan saat yang tepat untuk itu. Ada yang mengatakan kira-kira seperempat jam sebelum landing, ada yang mengatakan kira-kira 20 menit, atau kira-kira 25 menit, dan ada juga pendapat kira-kira 30 menit sebelum pesawat mendarat di KAA Airport. Semuanya kira-kira! Dengan kecepatan rata-rata (ground speed) pesawat udara 575 mil atau 920 km per jam, selisih waktu semenit saja dapat menyebabkan perbedaan lebih dari 15 km. Sudah tentu pelaksanaan ibadah dengan metode “kira-kira” tidaklah dapat dipertanggungjawabkan baik secara diniyah maupun secara ilmiah.

Ada yang mengatakan bahwa “lokasi Qarnulmanazil akan diumumkan oleh pilot”! Dari beberapa kali penerbangan ke tanah suci, baik umrah maupun haji, saya menyimpulkan bahwa pilot pesawat udara dan kru-krunya tidak tahu apa-apa mengenai lokasi Qarnulmanazil. Pada salah satu penerbangan, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas Qarnulmanazil dan para jemaah haji yang ingin memulai ihram segera bersiap-siap. Merasa penasaran saya bertanya bagaimana cara menentukan koordinat Qarnulmanazil dari udara. Mereka mengaku tidak tahu lokasi Qarnulmanazil sebab tidak ada dalam peta, dan hanya melaksanakan instruksi pihak Garuda agar mengumumkan hal itu 30 menit sebelum mendarat. Pada penerbangan yang lain, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas miqat makani kota Nasir. Ketika saya mengomentari bahwa tidak ada tempat miqat bernama Nasir, sang petugas mengatakan bahwa menurut orang Depag Nasir adalah nama baru Qarnulmanazil. Entah ‘orang Depag’ mana yang dia maksud. Padahal, seperti telah kita hitung, jarak antara Nasir dan Qarnulmanazil (yang nama barunya As-Sayl al-Kabir) adalah 78,2 km.


Pengalaman ke Qarnulmanazil

Saya pernah mengunjungi Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir) secara tidak sengaja ketika menunaikan umrah pada bulan Januari 1997. Niat saya adalah pergi ke Ta’if, berangkat naik taksi dari Makkah melalui Aziziyah. Ketika pulang dari Ta’if, supir taksi menawari saya agar kembali ke Makkah melalui jalur utara, tentu dengan tambahan riyal. Katanya, kita dapat melihat miqat di Sayl dan melihat ustad (stadion olahraga) di Ji`ranah. Mendengar nama Sayl, saya langsung setuju sambil diam-diam menghitung sisa riyal di saku. Ternyata As-Sayl al-Kabir itu memang lokasi miqat resmi seperti Dzulhulaifah (Bi’r Ali). Di sana terdapat tugu miqat, mesjid megah tempat persiapan berihram, dan lapangan parkir yang luas.

Sekitar satu jam sebelum mencapai Sayl dari arah timur, ada lapangan terbang domestik. Kelihatannya semacam pangkalan udara militer. Menurut supir taksi, daerah itu bernama Wadi Mahram. Saya langsung berharap sambil berdoa, semoga pemerintah Arab Saudi segera meningkatkan status lapangan terbang di Wadi Mahram menjadi bandara internasional, setidak-tidaknya bandara khusus haji. Dengan demikian, jemaah haji dari arah timur yang ingin langsung ke Makkah dapat mengambil miqat makani di Qarnulmanazil sesuai dengan bunyi hadits. Tidak seperti sekarang, banyak yang mengaku berihram dari Qarnulmanazil, tetapi tidak tahu di mana dan belum pernah ke sana. Aneh tapi nyata!

Jika kita ingin mengambil miqat di Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir), kita harus naik pesawat udara yang rutenya Jakarta-Riyadh, bukan Jakarta-Jeddah, seperti pernah saya alami bersama beberapa teman pada bulan Juli 2002. Setelah mendarat di Bandara Internasional Raja Khalid, Riyadh, kita pergi ke terminal bis SAPTCO (Saudi Arabian Public Transportation Company, “DAMRI”-nya Arab Saudi) yang tidak jauh dari bandara. Kita naik bis Riyadh-Jeddah yang setiap 30 menit berangkat, tetapi jangan keterusan sampai Jeddah, melainkan turun di Ta’if atau di Halban (sebelum Ta’if dari arah timur). Dari Ta’if atau dari Halban kita menyewa taksi ke Makkah lewat Sayl. Jangan naik bis, sebab bis ke Makkah semuanya lewat Aziziyah. Di kompleks miqat As-Sayl al-Kabir, kita berwudu’ (atau mandi kalau mau), mengenakan pakaian ihram (di sana ada toko yang menjual pakaian ihram), menunaikan shalat sunnah ihram, mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah”, lalu berangkat ke Makkah. Nah, ini baru asli Qarnulmanazil, bukan ‘Qarnulmanazil khayal’ di awang-awang yang tidak jelas koordinatnya.


Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas, kita mengharapkan agar para jemaah haji Indonesia mantap dan tidak ragu-ragu dalam menetapkan miqat makani (tempat memulai ihram), yaitu Dzulhulaifah (Bi’r Ali) bagi yang ke Madinah dahulu (Gelombang Pertama), serta Bandar Udara Raja Abdul Aziz (KAA Airport) bagi yang langsung ke Makkah (Gelombang Kedua).


Wallahu a`lam bi sh-shawab.