Asal-Usul Kehidupan
oleh
IRFAN ANSHORY
Dia mengeluarkan makhluk hidup dari benda mati dan mengeluarkan benda mati dari makhluk hidup. Itulah Allah! Mengapa kamu berpaling?
(Al-Qur’an, Surat Al-An`am 95)
BARANGKALI aspek yang paling menarik dari evolusi kehidupan di muka bumi adalah bahwa hal itu terjadi relatif cepat. Berbagai metode isotop radioaktif dalam menghitung usia batu-batu meteorit semuanya memberikan hasil yang sama: 4,6 miliar tahun. Oleh karena matahari, planet, asteroid, meteorit, komet dan benda langit lainnya dalam tatasurya terbentuk dari awan debu primordial yang sama pada waktu yang sama, maka 4,6 miliar tahun juga merupakan usia bumi kita. Batuan sedimen tertua di muka bumi yang diketahui adalah deposit Fig Tree dan Onverwacht di Afrika Selatan, masing-masing berusia 3,6 dan 3,8 miliar tahun. Kedua deposit itu mengandung mikrofosil yang menyerupai bakteri. Jadi, kehidupan purba telah muncul di planet kita hanya lebih-kurang satu miliar tahun setelah pembentukannya.
Dua kali lebih lama waktu yang diperlukan sebelum munculnya eukaryota (makhluk hidup yang selnya memiliki inti) dan makhluk hidup yang multiselular (bersel banyak). Proses-proses yang disebut terakhir ini mudah dipahami, sebab bukti-bukti fosil banyak terdapat. Adapun satu miliar halaman awal dalam buku sejarah bumi hampir hilang sama sekali. Kita harus menulis ulang tentang itu dari informasi pada halaman-halaman berikutnya dan kita harus beralih dari biologi ke ilmu kimia. Artikel ini akan menguraikan rekonstruksi tentang evolusi kehidupan selama semiliar tahun pertama yang hilang itu.
Bagaimanakah kehidupan muncul di bumi? Seperti apakah wujud planet ini ketika proses itu bermula? Satu hal yang jelas: udara belum mengandung gas oksigen, sebab gas oksigen di udara sekarang ini merupakan hasil fotosintesis makhluk hidup yang berklorofil. Material-material organik yang harus terakumulasi sebagai bahan baku makhluk hidup tidak mungkin stabil dan segera mengalami pelapukan atau pembusukan dalam udara yang beroksigen. Kita yang sehari-hari menghirup oksigen dari udara cenderung lupa bahwa oksigen adalah gas beracun dan korosif, sehingga manusia dan makhluk hidup yang lain harus dilindungi oleh berbagai mekanisme kimiawi dalam tubuh mereka. Kebanyakan makhluk hidup ‘membakar’ makanan mereka dengan oksigen, sebab proses ini menghasilkan jauh lebih banyak energi daripada proses fermentasi anaerobik (tanpa oksigen) yang sederhana. Enzim-enzim seperti katalase, peroksidase dan superoksida-dismutase harus tersedia untuk melindungi makhluk hidup pengguna oksigen dari efek-efek samping yang berbahaya. Bakteri-bakteri anaerobik tidak mempunyai sistem perlindungan semacam ini, sehingga bagi mereka gas oksigen tidaklah berguna, bahkan justru mematikan.
John Burdon Sanderson Haldane (1892-1964) dari Inggris merupakan ilmuwan pertama yang mengemukakan bahwa suatu reducing atmosphere (udara tanpa oksigen) adalah keniscayaan bagi evolusi terbentuknya makhluk hidup. Ketika di udara belum ada gas oksigen, tentu belum ada juga lapisan ozon (molekul oksigen beratom tiga) di bagian atas atmosfer yang membendung radiasi ultraviolet dari matahari seperti sekarang ini. Radiasi ultraviolet yang menghujani permukaan bumi menyediakan energi untuk sintesis senyawa-senyawa organik dari molekul-molekul anorganik. Oleh karena di udara tidak ada gas oksigen yang dapat merusak mereka, senyawa-senyawa organik itu terakumulasi di samudera dengan aman sentosa sampai akhirnya, dalam kata-kata Haldane sendiri, “the primitive oceans reached the consistency of hot dilute soup.”
Pemikiran Haldane dipublikasikan dalam majalah ilmiah Rationalist Annual tahun 1929, tetapi tidak ada ilmuwan lain yang menghiraukannya. Harold Clayton Urey (1893-1981) dari Amerika Serikat tahun 1953 menghidupkan kembali tesis Haldane. Urey dan mahasiswanya yang bernama Stanley Lloyd Miller (lahir 1930) melakukan eksperimen di Universitas Chicago untuk meneliti apakah energi yang tersedia tatkala bumi masih ‘bayi’ memungkinkan sintesis senyawa-senyawa organik dari gas-gas pada udara purba. Mereka berdua membuktikan bahwa bunga api listrik, simulasi laboratorium untuk kilat alamiah, dalam campuran hidrogen (H2), metana (CH4), amonia (NH3) dan air (H2O) ternyata menghasilkan senyawa-senyawa aldehida (RCHO), asam-asam karboksilat (RCOOH) dan asam-asam amino (RCHNH2COOH). Eksperimen-eksperimen itu, dan bermulanya eksplorasi ruang angkasa tahun 1960-an, membangkitkan kembali minat para ilmuwan terhadap asal-mula kehidupan serta kemungkinan eksistensi kehidupan di luar bumi.
Kita membagi masalah evolusi terbentuknya makhluk hidup dalam lima tahap: (1) pembentukan planet bumi, dengan gas-gas di udara yang merupakan bahan baku untuk kehidupan; (2) sintesis monomer-monomer (molekul-molekul dasar) seperti asam-asam amino, gula ribosa dan basa-basa organik; (3) penggabungan monomer-monomer tersebut menjadi rantai-rantai polimer seperti protein dan asam nukleat; (4) pemencilan tetesan-tetesan sup Haldane (droplets of Haldane soup) yang memiliki identitas dan sistem kimianya sendiri; (5) pengembangan sistem regenerasi yang memastikan sel-sel turunan memiliki kapabilitas kimiawi dan metabolisme dari sel-sel induk. Ringkasnya, masalah tersebut meliputi bahan baku, monomer, polimer, isolasi dan reproduksi.
***
ALAM SEMESTA secara keseluruhan tersusun atas hidrogen (92,8 persen) dan helium (7,1 persen), dengan sedikit sekali oksigen, karbon, nitrogen dan seluruh unsur-unsur lain. Dua fakta penting patut dicatat: kelimpahan suatu unsur umumnya berkurang dengan meningkatnya nomor atom (jumlah proton dalam inti atom), dan unsur yang bernomor atom genap umumnya lebih berlimpah daripada unsur tetangganya yang bernomor atom ganjil. Hal ini menunjukkan bahwa unsur yang lebih berat disintesis dari unsur yang lebih ringan, dan sintesis ini umumnya melibatkan penangkapan partikel alfa (inti helium) yang memiliki dua proton. Unsur-unsur yang bernomor atom genap lebih berlimpah karena terletak pada arus utama (mainstream) sintesis, dan unsur-unsur yang bernomor atom ganjil kurang berlimpah sebab mereka tersintesis oleh reaksi-reaksi sampingan.
Besi dalam darah kita, kalsium dalam tulang dan gigi kita, serta oksigen yang memenuhi paru-paru setiap kali kita bernafas—pokoknya semua unsur selain hidrogen dan helium tercipta dalam bintang-bintang dan dihamburkan ke ruang angkasa ketika bintang-bintang itu menjadi ‘tua’ dan akhirnya musnah karena kehabisan bahan bakar hidrogen. Begitulah nasib matahari kita nanti sebagai salah satu bintang kecil di jagad raya! Tidaklah terlalu salah kalau ada manusia yang mengaku ‘keturunan langit’, sebab semua unsur penyusun tubuh kita memang dibuat di sana sebelum tatasurya kita muncul. Seperti kata ilmuwan-penulis Carl Sagan (1934-1996), “We are stardust made flesh and were literally made in heaven!”
Matahari dan planet-planet tatasurya terbentuk dari awan gas dan partikel debu puing-puing bintang purba yang menjadi rapat akibat rotasi. Sebagian besar awan gas itu membentuk ‘calon matahari’ atau inti yang terkonsentrasi di pusat, dan awan-awan yang lebih kecil pada jarak yang bervariasi dari pusat menjadi titik-titik agregasi untuk pembentukan planet-planet. Planet-planet luar yang besar—Jupiter, Saturnus, Uranus and Neptunus—merupakan sampel dari komposisi awan asli yang membentuk tatasurya. Mereka tersusun dari hidrogen, helium, metana, amonia dan air. Planet-planet dalam yang kecil—Merkurius, Venus, Bumi dan Mars—lebih kaya dengan unsur-unsur berat dan miskin dengan gas-gas seperti helium dan neon, yang mudah melepaskan diri dari tarikan gravitasi planet-planet tersebut.
Kombinasi gravitasi yang rendah dan suhu yang tinggi menyebabkan hilangnya sebagian besar gas-gas dari bumi ke ruang angkasa segera setelah planet kita terbentuk. Untunglah oksigen segera terperangkap dalam bentuk mineral-mineral silikat yang tidak menguap, sehingga oksigen merupakan unsur penyusun kulit bumi yang paling berlimpah. Pada mulanya bumi kita sangat panas dan kering kerontang, tetapi benturan komet-komet segera menyuplai bumi dengan benda yang paling berharga, yaitu air. Permukaan bumi awalnya terlalu panas bagi air untuk berwujud cairan, tetapi lama-kelamaan suhu menurun sehingga uap air dapat berkondensasi membentuk samudera-samudera purba. Berbagai proses dalam kulit bumi seperti vulkanisme dan penguraian mineral-mineral menyebabkan pembebasan gas-gas yang membentuk atmosfer purba: nitrogen, hidrogen, uap air, metana, karbon dioksida, amonia, dan hidrogen sulfida.
***
PEMBENTUKAN MONOMER-MONOMER (molekul-molekul dasar) dari gas-gas di udara purba tidaklah diperdebatkan lagi oleh para ilmuwan, sebab reaksi-reaksinya dapat disimulasi di laboratorium. Stanley Miller membuat atmosfer buatan yang tersusun dari gas-gas hidrogen, metana, amonia dan air. Gas-gas ini disirkulasikan melalui bunga api listrik dan kemajuan proses dipantau dengan mengambil sampel dari wadah untuk dianalisis. Ternyata zat-zat hasil reaksi mencakup beberapa asam amino dan molekul-molekul lain yang merupakan penyusun makhluk hidup. Berbagai variasi eksperimen telah dicoba oleh para ilmuwan, seperti substitusi karbon dioksida untuk metana, nitrogen untuk amonia, dan radiasi ultraviolet untuk bunga api listrik. Semua eksperimen membuktikan bahwa asam-asam amino yang dimiliki makhluk hidup sekarang ini disintesis dari gas-gas pada udara purba.
Mari kita ikuti tahap-tahap sintesis beberapa asam amino oleh bunga api listrik atau radiasi ultraviolet. Dengan mengikuti muncul dan hilangnya zat-zat selama eksperimen, Miller mengamati bahwa konsentrasi amonia segera berkurang dan atom-atom nitrogennya muncul kembali dalam wujud hidrogen sianida (HCN) dan sianogen (C2N2). Konsentrasi metana dan air juga berkurang lalu muncul senyawa-senyawa aldehida (RCHO). Kemudian asam amino disintesis dari aldehida melalui mekanisme yang dikenal oleh para ahli kimia sebagai ‘sintesis Strecker’.
Aldehida mula-mula mengikat amonia dan melepaskan air untuk membentuk imina (RCH=NH); imina lalu mengikat hidrogen sianida membentuk aminonitril (RCHNO2CN). Asam-asam amino (RCHNH2COOH) kemudian dibentuk dari hidrolisis aminonitril, dengan penambahan dua molekul air dan pelepasan amonia. Pada zaman bumi purba, aminonitril disintesis di udara lalu terlarut dan dihidrolisis di samudera. Asam-asam hidroksi juga terbentuk oleh sintesis Strecker. Formaldehida (HCHO) diubah menjadi asam glikolat (HCHOHCOOH) dan glisin (HCHNH2COOH); asetaldehida (CH3CHO) diubah menjadi asam laktat (CH3CHOHCOOH) dan alanin (CH3CHNH2COOH). Serin (CH2OHCHNH2COOH) disintesis dengan kondensasi dua molekul formaldehida diikuti oleh sintesis Strecker. Jalur-jalur reaksi untuk sintesis 20 jenis asam amino dalam protein makhluk hidup telah diketahui dengan jelas oleh para ilmuwan.
Ada dua hal yang menarik untuk direnungkan. Simulasi laboratorium tidak hanya menghasilkan asam-asam amino yang dikandung protein makhluk hidup, melainkan juga asam-asam amino yang tidak terdapat. Sebagai contoh, eksperimen Miller mensintesis tiga isomer asam amino dengan rumus C3H7NO2: alanin, beta-alanin dan sarkosin. Tetapi kenyataannya cuma alanin yang terdapat dalam protein makhluk hidup. Dari tiga isomer asam amino dengan rumus C5H11NO2: valin, isovalin dan norvalin, hanya valin yang muncul dalam protein sekarang. Tujuh isomer asam amino dengan rumus C4H9NO2 terbentuk pada eksperimen, tetapi tidak satu pun terpilih sebagai penyusun protein. Pertanyaan yang menggoda: mengapa yang terpilih oleh kode genetika sebagai penyusun protein cuma 20 jenis asam amino yang sekarang, dan bukan asam-asam amino yang lain? Mungkinkah dahulu pernah ada alternatif yang lain, dengan kode genetika yang memberikan set asam-asam amino yang berbeda, lalu kemudian musnah tanpa jejak karena kalah berkompetisi dengan set asam-asam amino yang kini unggul? Inilah salah satu takdir Sang Pencipta yang agaknya di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
Hal lain yang menarik adalah bahwa simulasi laboratorium menghasilkan jumlah yang sama dari dua bentuk molekul asam amino yang‘optis-aktif’: molekul-molekul yang memutar cahaya terpolarisasi dalam arah berbeda dan selalu muncul dalam dua konfigurasi yang merupakan bayangan cermin antara satu sama lain. Masing-masing molekul ditandai dengan awalan D atau L, singkatan dari dextro (kanan) dan levo (kiri), yang menunjukkan arah rotasi dari cahaya terpolarisasi. Kenyataannya, seluruh makhluk hidup sekarang ini hanya memakai asam-asam L-amino, dan tidak pernah menggunakan asam-asam D-amino sebagai penyusun protein. Jadi jika pada tubuh seseorang ditemukan asam amino dalam bentuk D, orang itu patut dicurigai sebagai makhluk dari angkasa luar! Sekali lagi, pemilihan asam-asam amino bentuk L merupakan grand design dari Sang Pencipta yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Untuk sintesis asam-asam nukleat, kita harus mempunyai monomer-monomer dua macam gula (ribosa untuk RNA dan deoksiribosa untuk DNA), fosfat dan dua macam basa organik (purin dan pirimidin). Gula ribosa disintesis di udara purba melalui beberapa tahap, tetapi reaksi totalnya sangat sederhana: lima molekul formaldehida (HCHO) bergabung untuk membentuk satu molekul ribosa (C5H10O5).
Di antara basa-basa organik, adenin (salah satu turunan purin) paling siap untuk disintesis di udara purba. Lima molekul hidrogen sianida (HCN) bergabung membentuk adenin (C5H5N5). Mula-mula empat molekul HCN membentuk diaminomaleonitril (CNNH2C=CNH2CN), zat antara untuk membentuk basa-basa organik yang lain, kemudian zat ini menambah satu HCN lagi menjadi adenin. Pada jalur reaksi yang berbeda, diaminomaleonitril mengalami hidrolisis, lalu dengan sianogen membentuk guanin, turunan purin lainnya. Para ilmuwan juga telah memahami sintesis basa-basa organik turunan pirimidin: urasil, timin (metil urasil) dan sitosin.
Ketika adenin bergabung dengan ribosa, hasilnya adalah adenosin. Dengan penambahan tiga gugus fosfat, terbentuklah adenosin trifosfat (ATP), molekul yang berfungsi sebagai ‘mata uang’ dalam pertukaran energi pada seluruh makhluk hidup. ATP merupakan molekul pembawa energi yang efisien sebab reaksi hidrolisisnya menjadi adenosin difosfat (ADP) dan gugus fosfat akan membebaskan energi yang sangat besar. Menarik juga untuk direnungkan bahwa basa organik yang ditakdirkan Allah sebagai penyimpan energi adalah adenin. Mengapa bukan guanin, misalnya, yang bergabung dengan ribosa di udara purba dahulu, sehingga molekul penyimpan energi adalah guanosin trifosfat (GTP)?
***
BAGAIMANAKAH POLIMER-POLIMER (molekul-molekul besar) terbentuk untuk pertama kalinya? Kita harus mampu memahami betapa suatu reaksi kimia yang memerlukan energi dan melepaskan air justru harus terjadi di lingkungan samudera! Setiap penggabungan monomer-monomer untuk memperpanjang rantai polimer selalu disertai pelepasan komponen air (H dan OH) dari ujung-ujung monomer yang bergabung. Oleh karena reaksi itu reversibel, lingkungan air akan mendorong reaksi ke kiri, lebih mengarah kepada hidrolisis daripada polimerisasi. Lebih jauh lagi, reaksi ke kiri membebaskan energi sehingga bersifat spontan, sedangkan reaksi polimerisasi justru memerlukan energi dan harus didorong ‘mendaki’ ke kanan. Ada dua cara untuk mendorong reaksi polimerisasi yang dikehendaki: memperbesar konsentrasi monomer-monomer atau memasangkan (coupling) reaksi itu dengan reaksi lain yang membebaskan energi sehingga reaksi akan terdorong ke arah kanan.
Energi untuk mendorong reaksi-reaksi polimerisasi dalam tubuh makhluk hidup sekarang disediakan oleh molekul-molekul ATP. Pemasangan reaksi polimerisasi dengan reaksi yang membebaskan energi dilaksanakan oleh enzim-enzim. Pada samudera purba, sebelum enzim ada, senyawa polifosfat (polimer fosfat yang rantainya panjang) ternyata berperan dalam evolusi kehidupan, sebab hidrolisis polifosfat menjadi fosfat-fosfat akan membebaskan sejumlah besar energi. ATP sekarang pada hakikatnya adalah polifosfat kecil dengan ‘label’ adenin supaya dapat dikenali oleh enzim-enzim.
Glikolisis (fermentasi anaerobik) merupakan cara paling tua dan paling universal untuk memperoleh energi yang kita jumpai pada kehidupan sekarang. Fungsinya adalah untuk memecah glukosa atau molekul sejenis dan menyimpan energi dalam bentuk ATP. Cara glikolisis pertama kali mungkin muncul sebagai respons atas makin terbatasnya polifosfat di alam, tatkala populasi organisme primitif makin berkembang melampaui ketersediaan polifosfat.
Agar reaksi polimerisasi berlangsung, konsentrasi monomer-monomer harus diperbesar. Di pantai-pantai samudera purba, mekanisme ini melibatkan penyerapan molekul-molekul pada permukaan mineral tanah lempung (clay). Tanah lempung tersusun dari lembaran-lembaran silikat bermuatan negatif yang diikat oleh ion-ion aluminium bermuatan positif, dengan lapisan-lapisan molekul air di antara lembaran-lembaran tersebut. Lapisan air ini memungkinkan molekul-molekul monomer untuk berdifusi ke dalam tanah lempung. Muatan-muatan positif dan negatif pada tanah lempung bukan hanya mengikat monomer-monomer yang datang, melainkan juga berfungsi sebagai katalis bagi reaksi polimerisasi dari monomer-monomer tersebut.
Dengan mekanisme di atas, asam-asam amino sebagai monomer-monomer mampu berikatan satu sama lain, sambung-menyambung menjadi suatu polimer yang kita sebut protein. Protein-protein purba yang baru terbentuk ini berakumulasi dalam tanah lempung selama bereon-eon dan akhirnya lambat laun lepas melumer lagi ke dalam larutan samudera, siap untuk mengalami reaksi lebih lanjut.
Polimerisasi pembentukan asam-asam nukleat lebih rumit dari pembentukan protein. Setiap molekul ribosa memiliki empat gugus hidroksil (-OH) yang dapat terlibat dalam pengikatan basa purin atau pirimidin serta dengan gugus fosfat yang menjembatani. Ikatan yang paling mudah terbentuk secara kimiawi adalah antara 5`-hidroksil pada suatu ribosa dengan 2`-hidroksil pada ribosa berikutnya. Tetapi kenyataannya semua asam nukleat (DNA dan RNA) sekarang memiliki ikatan 5`-3`, bukan 5`-2`!
Ikatan 5`-3` ternyata memiliki keunggulan signifikan terhadap ikatan 5`-2` untuk terpilih sebagai penyimpan informasi genetika, meskipun kurang favorit dari segi reaksi kimia. Di laboratorium para ilmuwan telah mencoba mengkonstruksi DNA dengan ikatan 5`-2`, tetapi ternyata tidak stabil dibandingkan dengan ikatan 5`-3`. Cara untuk menjamin agar ikatan 5`-2` tidak terbentuk adalah menghilangkan gugus 2`-hidroksi, dan inilah yang membuat DNA berbeda dengan RNA! Dengan demikian, ditinjau dari alasan kimiawi, besar kemungkinan DNA lebih tua atau lebih dahulu terbentuk dari RNA, dan RNA baru muncul setelah berkembangnya enzim-enzim yang mencegah hubungan terhadap gugus 2`-hidroksil.
***
SUATU MAKHLUK HIDUP harus mengisolasi diri dari lingkungannya dengan semacam bidang permukaan yang menjadi batas luar dari tubuhnya. Segregasi materi dalam larutan menjadi tetesan-tetesan (droplets) telah dipelajari oleh Alexander Ivanovich Oparin (1894-1980) dari Rusia. Dia meneliti kecenderungan suatu polimer dalam larutan untuk memisah secara spontan dalam wujud koaservat, yaitu tetesan-tetesan koloidal yang kaya akan polimer dan tersuspensi dalam lingkungan air.
Oparin menemukan bahwa ketika dia menambahkan enzim fosforilase, enzim itu akan terkonsentrasi dalam tetesan-tetesan koaservat. Jika glukosa-1-fosfat ditambahkan ke dalam medium air, zat itu segera berdifusi ke dalam tetesan dan mengalami polimerisasi menjadi amilum dengan bantuan enzim sebagai katalis. Energi untuk polimerisasi datang dari ikatan fosfat pada glukosa-1-fosfat. Senyawa fosfat anorganik dibebaskan kembali ke luar tetesan sebagai hasil buangan.
Jika tetesan-tetesan koaservat tumbuh terlalu besar, mereka cenderung membelah secara spontan menjadi tetesan-tetesan baru, yang juga ikut tumbuh apabila menerima enzim fosforilase serta ‘makanan’ glukosa-1-fosfat. Jika enzim fosforilase dan enzim amilase sama-sama ditambahkan, kedua enzim ini terakumulasi dalam tetesan-tetesan. Glukosa-1-fosfat berdifusi ke dalam tetesan dan dipolimerisasikan menjadi amilum oleh fosforilase, kemudian amilase menguraikan amilum tersebut menjadi maltosa dan glukosa. Tetesan-tetesan itu terus berkembang dan membuahkan tetesan-tetesan baru selama ‘makanan’ ditambahkan secara kontinyu.
Kita dapat membayangkan bahwa sebelum sel-sel hidup muncul samudera purba dipenuhi oleh ‘tetesan-tetesan’ yang memiliki sifat-sifat kimia tertentu. Lambat laun dalam masa bereon-eon terjadilah suatu seleksi kimiawi yang memunculkan apa yang disebut Oparin dengan protobion, yaitu tetesan-tetesan yang berkemampuan mengambil molekul-molekul dan energi dari lingkungan mereka dan mengubahnya menjadi senyawa-senyawa yang menjamin kelestarian. Hal yang belum tersedia pada protobion adalah sistem reproduksi yang memungkinkan tetesan-tetesan baru mewarisi kemampuan biokimia yang sama dengan tetesan-tetesan induknya.
***
ENZIM yang pertama kali eksis mungkin sekali adalah rantai polimer itu sendiri. Beberapa reaksi polimerisasi memang cenderung bersifat autokatalitik: polimer yang dihasilkan akan mendorong terbentuknya polimer yang sama secara lebih banyak lagi. Asam nukleat pada mulanya bertindak sebagai ‘protoenzim’ sekaligus wadah (template) bagi polimerisasi rantai protein, lalu protein yang terbentuk bertindak sebagai kulit (skin) pelindung bagi koaservat asam nukleat. Jadi interaksi yang kooperatif antara protein dan asam nukleat telah berlangsung sejak asal mula kehidupan. Protein memainkan peranan struktural dan proteksi, sedangkan asam nukleat memainkan peranan katalis dan pengarah.
Kerjasama antara protein dan asam nukleat ini lambat laun menghasilkan suatu mekanisme transkripsi (penyalinan) dan translasi (penerjemahan) genetika yang memungkinkan suatu protobion mampu mewariskan kemampuan biokimianya kepada keturunannya. Dan lahirlah untuk pertama kalinya suatu sel hidup yang memiliki kemampuan reproduksi. Pesan-pesan genetika ini pada gilirannya dapat mengalami perubahan akibat akumulasi kesalahan dalam penyalinan dan penerjemahan serta hasil mutasi langsung oleh radiasi dan zat-zat kimiawi pada lingkungan, sehingga suatu sel bukan hanya mampu melestarikan jenisnya melalui cara reproduksi, tetapi juga dapat berubah menjadi sel jenis lain dengan pesan genetika yang berbeda.
***
TAHAP-TAHAP yang telah kita uraikan mungkin dapat menjelaskan munculnya makhluk hidup yang pertama di muka bumi. Mereka adalah organisme bersel tunggal yang memiliki perlengkapan genetika komplit tetapi masih tergantung kepada molekul kaya-energi yang terbentuk oleh radiasi ultraviolet. Makhluk-makhluk hidup yang pertama ini sepenuhnya adalah konsumen zat-zat organik, dan bukan produsen. Sudah tentu lama-kelamaan persediaan makanan di alam lingkungan makin menipis, sehingga lambat laun akhirnya tercipta proses fotosintesis, yang memungkinkan makhluk-makhluk hidup tertentu mampu menangkap energi sinar matahari untuk membuat molekul-molekul kaya-energi. Organisme yang melakukan fotosintesis kini bertindak sebagai produsen zat-zat organik, bukan hanya sebagai konsumen.
Fotosintesis yang mula-mula tercipta menggunakan hidrogen sulfida (H2S) sebagai sumber atom hidrogen untuk mereduksi gas karbon dioksida yang berlimpah di udara purba. Proses ini sampai sekarang masih dilakukan oleh beberapa jenis bakteri. Pada saat bumi masih muda, hidrogen sulfida cukup banyak tersedia untuk bertindak sebagai zat reduktor yang ‘siap pakai’. Akan tetapi air (H2O) jauh lebih berlimpah, sehingga banyak organisme yang beralih menggunakan air sebagai sumber atom hidrogen dalam proses fotosintesis. Mereka berhasil menangkap energi sinar matahari untuk memecahkan molekul air dan atom hidrogennya dipakai untuk mereduksi karbon dioksida menjadi glukosa. Atom oksigen dari air dibuang ke udara dalam bentuk molekul gas oksigen (O2) sebagai hasil sampingan.
Sebelum ada proses fotosintesis, oksigen selalu terikat dalam bentuk senyawa, terutama dalam wujud senyawa air dan mineral-mineral pada kulit bumi. Sekali gas oksigen muncul sebagai unsur bebas, gas pendatang baru ini mengubah udara planet bumi dan memusnahkan kondisi yang memungkinkan terbentuknya kehidupan dari bahan-bahan organik yang tidak hidup. Dengan kehadiran oksigen bebas (O2), baik sebagai gas di udara maupun terlarut dalam air, bahan-bahan organik akan cepat rusak atau terurai melalui proses oksidasi.
Di sini uraian kita sampai kepada cyanobacteria, yang fosil nenek moyangnya terdapat pada sedimen di Afrika dengan usia sekurang-kurangnya 3,6 miliar tahun. Dua miliar tahun berikutnya berlangsung perubahan besar pada udara planet bumi: dari reducing atmosphere yang tidak mengandung gas oksigen menjadi oxydizing atmosphere di mana satu dari lima molekul di udara adalah gas oksigen. Salah satu konsekuensinya adalah terbentuknya lapisan ozon (O3) di bagian atas atmosfer yang secara drastis membendung radiasi ultraviolet ke permukaan bumi. Hal ini menyebabkan berakhirnya sintesis zat-zat organik melalui proses non-biologis. Selesailah sudah tahap evolusi kimiawi dalam pembentukan makhluk hidup. Pola kehidupan yang bersumber pada energi matahari muncul secara permanen di planet bumi, dan makin banyak makhluk hidup yang memanfaatkan gas oksigen untuk memperoleh energi melalui proses respirasi yang lebih efisien. Selanjutnya, evolusi kimiawi segera diambil alih dan diteruskan oleh evolusi biologi.
Allah menurunkan air dari langit, maka hiduplah dengan itu bumi sesudah matinya. Sungguh, pada hal itu terdapat ayat-ayat bagi mereka yang mendengarkan (Al-Qur’an, Surat An-Nahl 65). Tiada satu pun organisme di bumi melainkan Allah yang menanggung rezekinya. Dia mengetahui lingkungan dan konservasinya. Semuanya tercantum dalam Kitab yang nyata (Al-Qur’an, Surat Hud 6).***