Ibadah Haji Rasulullah s.a.w.
oleh
Drs. H. Irfan Anshory
IBADAH HAJI sebagai Rukun Islam yang kelima mulai diwajibkan Allah SWT pada tahun 4 Hijri (625 M). Allah menetapkan bahwa syari`at haji dari Nabi Ibrahim a.s. wajib dilaksanakan umat Islam dengan turunnya ayat Al-Qur’an: “Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Ali Imran 97). Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji diwajibkan “bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana” (manistatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial (mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah sedang dikuasai kaum musyrikin yang memusuhi kaum Muslimin di Madinah. Kondisi itu sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad s.a.w. beserta para shahabat untuk segera menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi Rasulullah s.a.w. memerintahkan para shahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim a.s. dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah s.a.w. bahwa mereka mengerjakan sa`i dengan keraguan, sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Maka turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: “Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari monumen-monumen Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui”. Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.
Pada bulan Dzulqa`dah 6 Hijri (April 628), Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi menunaikan umrah ke Makkah, lalu mengajak para shahabat untuk merealisasikan mimpi tersebut. Maka Rasulullah s.a.w. beserta sekitar 1500 shahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah. Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah s.a.w. Suhail mengusulkan kesepakatan genjatan senjata antara Makkah dan Madinah, serta kaum Muslimin harus menunda umrah (kembali ke Madinah) tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Di luar dugaan para shahabat, ternyata Rasulullah s.a.w. menyetujui usul Suhail itu! Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam, sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan pulang kembali ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah membenarkan mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu sekalian pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (tahallul merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat!"
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Dzulqa`dah 7 Hijri atau Maret 629) Rasulullah s.a.w. beserta para shahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekitar 2000 orang memasuki pelataran Ka`bah untuk melakukan thawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada jemaah beliau, “Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!”
Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memulai thawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka`bah, sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah s.a.w. mengajak para shahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah thawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba’) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada thawaf yang pertama. Selesai tujuh putaran, Rasulullah s.a.w. shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul (menghalalkan kembali larangan-larangan ihram) dengan mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Ka`bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru, sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah 'suara aneh' yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam shalat di depan Ka`bah!
Rasulullah s.a.w. dan para shahabat, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi kegiatan kaum Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tidak lama sesudah itu, tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash dan Utsman ibn Thalhah, menyusul hijrah ke Madinah dan masuk Islam. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka`bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka`bah silih berganti sampai Dinasti Sa`udi sekarang, kunci Ka`bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah s.a.w. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata, sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijri (11 Januari 630) Rasulullah s.a.w. beserta 10.000 pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Rasulullah s.a.w. memberikan amnesti massal kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi kaum Muslimin. "Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang," demikian sabda Rasulullah s.a.w. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.
Kesucian hati Rasulullah s.a.w. yang tanpa rasa dendam ini menyebabkan seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: “Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu serta memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Setelah menerima ayat ini, Rasulullah s.a.w. pada ruku` dan sujud dalam shalat mengucapkan Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli (“Maha Suci Engkau, Ya Allah Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku”).
Rasulullah s.a.w. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka`bah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada sya`riat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijri itu Rasulullah melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya, berarti Rasulullah sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijri.
Pada bulan Dzulhijjah 9 Hijri (Maret 631), Rasulullah s.a.w. mengutus shahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran sedang menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi, bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim a.s.
Pada tahun 10 Hijri (631/632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal 10 Hijri (awal tahun 632) Rasulullah s.a.w. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah s.a.w. dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tatacara) haji.
Rasulullah s.a.w. berangkat dari Madinah sesudah shalat Jum`at tanggal 25 Dzulqa`dah 10 Hijri (21 Februari 632), mengendarai unta beliau Al-Qashwa’, dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta, dan juga putri beliau Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah, tetapi Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, lalu memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).
Keesokan harinya, Sabtu 26 Dzulqa`dah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah s.a.w. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (“Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji”). Tidak ada yang berniat umrah, sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diajarkan Rasulullah s.a.w. di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada Sabtu 3 Dzulhijjah (29 Februari), mereka tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya, sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah menghiburnya, “Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci.”
Pada Ahad 4 Dzulhijjah (1 Maret) pagi, Rasulullah s.a.w. dan rombongan memasuki Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah s.a.w. memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam (‘Pintu Kedamaian’) di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Perlu diketahui bahwa yang disebut “Masjid al-Haram” saat itu adalah lapangan tempat shalat dan thawaf (secara harfiah, masjid artinya ‘tempat sujud’), sedangkan bangunan masjid baru dirintis oleh Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), lalu mengalami perluasan dari masa ke masa sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Bab as-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Bab as-Salam ‘made in Saudi’ ini dengan anggapan melaksanakan Sunnah Nabi!
Pada awal setiap putaran thawaf, jemaah haji disunnahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Ka`bah. Rasulullah s.a.w. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijri, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah tahun 8 Hijri, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijri, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara terakhir ini sangat praktis dan paling afdhal. Tetapi banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti sesama jemaah) untuk mengejar yang sunnah!
Rasulullah s.a.w. melakukan thawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, berthawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah s.a.w. cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (“Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka”). Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah s.a.w. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka`bah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah, dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Setelah selesai sa`i, Rasulullah s.a.w. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para shahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh shahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji! Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Dzulhijjah. Oleh karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) mereka harus menyediakan hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya ‘bersenang-senang’, sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para shahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi s.a.w. karena “umrah di musim haji” belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak bertahallul! Melihat keraguan para shahabat, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku membawa hadyu, sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku.” Ada juga shahabat yang penasaran bertanya, “Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?” “Tahallul untuk semuanya!” jawab Nabi.
Kemudian Rasulullah s.a.w. mengeluarkan dekrit: Dakhalati l-`umratu ila l-hajji abadan abadan (“Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya”). Artinya, sejak saat itu umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah s.a.w., para shahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu mengubah niat haji menjadi umrah, lalu bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah s.a.w. dan sebagian kecil shahabat yang terus berihram (tidak bertahallul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak hari itu, 4 Dzulhijjah 10 Hijri, mulailah diperkenalkan tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. Sesudah mengerjakan haji, Rasulullah s.a.w. tidak lagi melakukan umrah secara terpisah dan langsung kembali ke Madinah tanggal 14 Dzulhijjah.
Perlu diketahui bahwa cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah s.a.w., melainkan memang diperintahkan Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan tertahan di Hudaibiyah tahun 6 Hijri, tetapi baru pada tahun 10 Hijri Rasulullah s.a.w. berkesempatan menunaikan haji dan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (“bersenang-senang dengan umrah ke haji”) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (“bagi siapa yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram”).
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah tanggal 26 Dzulqa`dah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., di kemudian hari, “Kami keluar bersama Nabi s.a.w. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawaf dan sa`i (‘kami’ di sini adalah jemaah haji, sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah s.a.w. memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.” Keterangan Jabir ibn Abdillah r.a., shahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah s.a.w., lebih tegas lagi, “Kami bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah, sebab kami tidak mengenal umrah (lasna na`rifu l-`umrah)”. Maksud Jabir tentu tidak mengenal “umrah di musim haji”, sebab ketika rombongan berada di Dzulhulaifah ‘sistem lama’ (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196, agar umat tidak terkejut dengan ‘sistem baru’ (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah.” Di sini Rasulullah s.a.w. hanya menghimbau, dengan kalimat ‘siapa mau’ (man sya’a). Esok harinya, tanggal 4 Dzulhijjah 10 Hijri (1 Maret 632), ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan thawaf dan sa`i, barulah Rasulullah s.a.w. menginstruksikan cara Haji Tamattu` bagi mereka yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para shahabat, sampai-sampai Rasulullah s.a.w. sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para shahabat pada awalnya enggan ‘meralat’ niat haji menjadi umrah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara, sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w. untuk mengambil cara Haji Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah).
Kita teruskan cerita. Siang hari tanggal 4 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. mengajak Bilal ibn Rabah sang mu’azzin, dan cucu beliau, Usamah ibn Zaid (putra anak angkat beliau, Zaid ibn Haritsah, yang syahid pada Perang Mu’tah tahun 7 Hijri) untuk memasuki Ka`bah, disertai oleh pemegang kunci Ka`bah, Utsman ibn Thalhah. Ketika pulang dari Ka`bah dan menemui Aisyah, Rasulullah s.a.w. berkata, “Wahai Aisyah, aku tadi melakukan apa yang sebaiknya tidak kulakukan, yaitu memasuki Ka`bah. Aku takut di kemudian hari umatku yang berhaji tidak dapat masuk Ka`bah lalu mereka kecewa. Padahal sesungguhnya kita hanya diperintahkan Allah untuk mengelilinginya, dan tidak diperintahkan memasukinya.”
Pada sore hari 4 Dzulhijjah, Ali ibn Abi Thalib r.a., saudara sepupu dan menantu Nabi s.a.w. yang sejak bulan Ramadhan beliau perintahkan memimpin pasukan ke Yaman, tiba di Makkah beserta rombongannya dengan berpakaian ihram. Jika rombongan Rasul mulai berihram di Dzulhulaifah, maka rombongan Ali mulai berihram di Yalamlam. Setibanya di Makkah, Ali langsung menemui Fatimah. Ali yang belum mengetahui adanya ‘sistem baru’ jelas terkejut melihat istrinya berpakaian bebas dengan rambut terurai. “Siapakah yang menyuruhmu bertahallul, Fatimah?” tegur Ali. “Ayahanda sendiri,” jawab Fatimah, “istri-istri beliau pun semuanya diperintahkan melakukan tahallul.” Ali segera menemui Rasulullah s.a.w. untuk meminta penjelasan. Setelah Rasulullah s.a.w. menerangkan syari`at Tamattu`, Ali memohon agar diperkenankan tidak bertahallul seperti Rasulullah. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kalau begitu kehendakmu, janganlah engkau mengakhiri ihrammu.” Rasulullah lalu memberikan sebagian hewan hadyu beliau kepada Ali ibn Abi Thalib.
Menjelang maghrib, Rasulullah s.a.w. didatangi saudara sepupu beliau, Ummu Hani’ binti Abi Thalib (kakak perempuan Ali), yang menawarkan agar Rasulullah s.a.w. tinggal di rumahnya. Namun Rasulullah s.a.w. menjawab bahwa beliau ingin tetap bersama-sama dengan kebanyakan jemaah yang berdiam di tenda-tenda. Selama di Makkah Rasulullah s.a.w. dan istri-istri beliau tinggal di daerah Muhashshab.
Dari tanggal 5 sampai 7 Dzulhijjah (2-4 Maret), Rasulullah s.a.w. melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin shalat di Masjid al-Haram, melakukan thawaf sunnat, dan shalat sunnat di Hijir Isma`il. Meskipun dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma’la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram tidak boleh memasuki rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk lewat atap! Tradisi yang entah dari mana asalnya ini dilarang oleh Nabi s.a.w. berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 189.
Pada hari Kamis 8 Dzulhijjah (5 Maret), Rasulullah s.a.w. memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu` kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah thawaf dan sa`i tanggal 1 Maret mereka tidak bertahallul. Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah dan Mina sangat perlu kita cermati, sebab manasik ini merupakan ‘sistem baru’ yang berbeda dengan ‘sistem lama’ (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijri dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah s.a.w. tahun 10 Hijri.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah pagi, Rasulullah s.a.w. beserta jemaah haji pergi menuju Mina (6 km dari Makkah) untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Dzulhijjah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Dzulhijjah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah artinya ‘mempersiapkan air’). Di zaman modern sekarang, meskipun air di Mina berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah (mempersiapkan air), sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Dzulhijjah merupakan sunnah haji yang sangat dianjurkan. Paling tidak, hal itu perlu kita lakukan untuk ‘napak tilas’ perjalanan Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji.
Namun perlu dipertimbangkan bahwa sekarang pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina, agar kapasitas Mina tetap memadai dalam menampung jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akibatnya berlaku hukum ekonomi: ongkos sewa rumah di Mina semakin mahal sehingga jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8 Dzulhijjah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.
Pada hari Jum`at 9 Dzulhijjah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah s.a.w. dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah, 19 km dari Mina ke arah timur. Ketika melewati Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah s.a.w. berhenti, sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwuquf di Muzdalifah sedangkan yang berwuquf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Maka Rasulullah s.a.w. memerintahkan agar seluruh jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syari`at asli Nabi Ibrahim a.s. untuk berwuquf di Arafah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha n-nas (“Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”).
Sebelum masuk Arafah Rasulullah s.a.w. singgah di Namirah, dan ketika masuk waktu zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah. Rasulullah s.a.w. menghentikan unta beliau, Al-Qashwa’, di suatu tempat yang ketinggian. Di samping beliau berdiri Rabi`ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang, dan ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir. Kemudian Rasulullah s.a.w. memberikan khutbah yang isinya antara lain sebagai berikut:
“Wahai manusia (Ayyuha n-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wuquf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.”
“Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba’ dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba’ lagi, dan riba’ yang pertama kuhapuskan adalah riba’ dari Abbas ibn Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi`ah ibn Harits ibn Abdil-Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.”
“Wahai manusia, sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah tetapi tetap kamu perbuat. Maka waspadalah terhadap syaithan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela.”
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan lantaran taqwa.”
Di sela-sela khutbah, Rasulullah s.a.w. berulang kali bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, “Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?” Jemaah haji serempak menjawab, “Benar, telah engkau sampaikan.” Maka Rasulullah s.a.w. mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, “Allahumma, isyhad! Wahai Allah, saksikanlah!” Kemudian Rasulullah s.a.w. menutup khutbah beliau dengan bersabda, “Hendaklah kamu yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga orang yang menyampaikan akan lebih dalam penghayatannya daripada yang sekadar mendengarkan. Berlimpahlah rahmat dan berkat Allah atas kamu sekalian.”
Selesai berkhutbah Rasulullah s.a.w. turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar secara jama` dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah s.a.w. menerima wahyu Al-Ma’idah 3: Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu `alaykum ni`mati wa radhitu lakumu l-islama dina (“Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu”).
Ketika Rasulullah s.a.w. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para shahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya, “Apakah yang kau tangisi, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, “Tidak terpikir olehmu, wahai anak Khattab, wahyu itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah s.a.w. mungkin cuma sebentar lagi bersama-sama dengan kita.”
Rasulullah s.a.w. memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wuquf. “Haji itu di Arafah,” sabda beliau. “Allah mengutus para malaikat ke langit dunia untuk merekam segala permohonan anak cucu Adam yang wuquf di Arafah.” Sambil menghadap kiblat, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir dan berdoa, memohon ampun atas segala dosa, membaca ayat-ayat Qur’an dan memperbanyak talbiyah.
Setelah matahari terbenam, Rasulullah s.a.w. mengajak para jemaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah (Masy`ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min `arafatin fa dzkuru l-Laha `inda l-masy`ari l-haram (“Maka ketika kamu membanjir dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram”). Rasulullah s.a.w. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa’. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari. Maka Rasulullah s.a.w. melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. “Tenang, jangan bergegas. Hendaklah yang kuat di antaramu membantu dan mengawasi yang lemah,” demikian sabda beliau.
Sesampai di Muzdalifah, yang berjarak 14 km dari Arafah, Rasulullah s.a.w. dan rombongan menunaikan shalat maghrib dan isya secara jama` dan qasar. Rasulullah s.a.w. dan sebagian besar jemaah haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita dan anak-anak berangkat ke Mina (5 km dari Muzdalifah) sesudah tengah malam, supaya dapat melontar jumrah sebelum massa membanjir datang. Sawdah, istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah s.a.w. mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil-Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini menjadi salah seorang perawi hadits Nabi yang termasyhur.
Sesudah shalat shubuh di Muzdalifah, Rasulullah s.a.w. memimpin jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa’ adalah sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakaknya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah s.a.w. menyuruh para jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda, “Bersegeralah melewati Muhassir, sebab di lembah ini ashhabu l-fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”
Pada hari Sabtu 10 Dzulhijjah (7 Maret) pagi hari Rasulullah s.a.w. dan rombongan sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah s.a.w. menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang berada di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipapas rata dengan tanah, Jumrah Aqabah selama berabad-abad dibiarkan tetap dikelilingi setengah lingkaran. Baru pada tahun 2004, pemerintah Arab Saudi mengubah penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah menjadi lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan terhadap syaithan, meniru tindakan Nabi Ibrahim a.s. yang digoda syaithan tatkala akan menyembelih putranya, Nabi Isma`il a.s. Sesudah melontar Rasulullah s.a.w. berdoa: Allahuma j`alhu hajjan mabruran wa sa`yan masykuran wa dzanban maghfuran (“Ya Allah, jadikanlah hal ini sebagai haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni”). Kemudian Rasulullah s.a.w. menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah s.a.w. melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis, karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya Rasulullah s.a.w. pergi ke Makkah untuk melakukan thawaf mengelilingi Ka`bah. Setelah shalat zuhur beliau kembali ke Mina. Oleh karena Rasulullah s.a.w. mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Dzulhijjah itu beliau tidak melakukan sa`i di antara Safa dan Marwah. Sa`i beliau cukup satu kali pada saat masuk Makkah yang sudah mencakup sa`i haji dan umrah. Tetapi sebagian besar para shahabat melakukan sa`i tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya, karena mereka mengambil cara Haji Tamattu` sesuai perintah Rasulullah s.a.w. Inilah sa`i haji bagi para shahabat yang Tamattu`, sebab sa`i mereka pada hari pertama masuk Makkah adalah sa`i umrah saja dan belum sa`i haji.
Rasulullah s.a.w. memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta thawaf dan sa`i boleh dilakukan secara acak, tidak usah berurutan. Para jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah). Thawaf dan sa`i boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Dzulhijjah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Makkah melakukan thawaf dan sa`i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah dan menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa. If`al, la haraj,” demikianlah selalu jawaban Rasulullah s.a.w. ketika beliau ditanya oleh para shahabat mengenai urutan manasik-manasik di atas.
Apapun urutan manasik yang dipilih oleh para jemaah haji, Rasulullah s.a.w. menginstruksikan para jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah s.a.w. mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil-Muttalib, bermalam di Makkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Nabi s.a.w. untuk tidak menginap di Mina.
Pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah s.a.w. memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, anak kecil atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah s.a.w. melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkuru l-Laha ka dzikrikum aba’akum aw asyadda dzikra (“Maka ketika kamu telah menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya”).
Rasulullah s.a.w. juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Fa man ta`ajjala fi yaumaini fa la itsma `alayhi wa man ta’akhkhara fa la itsma `alayhi, li mani ttaqa (“Barangsiapa yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka taqwa”).
Jadi pada tanggal 12 Dzulhijjah sore hari jemaah haji boleh melakukan nafar awwal (‘pulang duluan’) meninggalkan Mina pulang ke Makkah. Mereka yang ingin nafar awwal harus sudah berada di luar Mina sebelum maghrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani (‘pulang rombongan kedua’), yaitu harus bermalam lagi di Mina dan melontar lagi tiga jumrah tanggal 13 Dzulhijjah, baru pulang ke Makkah. Sebagian shahabat memilih nafar awwal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah s.a.w. melakukan nafar tsani, pulang ke Makkah tanggal 13 Dzulhijjah.
Pada malam 14 Dzulhijjah, Rasulullah s.a.w. menyuruh istri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. “Inilah pengganti umrahmu yang gagal,” sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan`im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar, lalu mereka berdua melakukan thawaf dan sa`i sehingga bertahallul di Marwah. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh sebagian ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Makkah dan tidak membawa hadyu. Juga pengalaman Abdurrahman ibn Abi Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunnat di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Tetapi sebagian lagi ulama berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunnat di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para shahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakaknya). Wallahu a`lam.
Sesudah shalat shubuh hari Rabu 14 Dzulhijjah (11 Maret), Rasulullah s.a.w. dengan istri-istri beliau, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya, melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah s.a.w. tidak dapat berada lama-lama di Makkah, sebab pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabi`u l-Awwal 11 Hijri (8 Juni 632), Rasulullah s.a.w. mangkat berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali.
Demikianlah kisah ibadah haji Nabi Muhammad s.a.w. Marilah kita bersegera menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu Rukun Islam. Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji sangat banyak manfaatnya bagi kita, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hajj 28: liyasyhadu manafi`a lahum (“agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”). Rasa nikmat menunaikan ibadah haji sungguh luar biasa dan tidak dapat diuraikan dengan kata-kata, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri oleh masing-masing pribadi.
Marilah menunaikan ibadah haji.***
Penulis adalah salah seorang pembina Masjid Salman ITB, Bandung, yang cukup banyak membimbing haji dan umrah. Kumpulan tulisannya tentang haji telah diterbitkan dalam buku Bacaan Jemaah Haji, Penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung, 2007.